Ideologi: Sebuah Prolegomen

Saya baca beberapa literatur, semua sepakat: ideologi tak pernah mati meski wadah dan orang yang memperjuangkannya telah tiada. Bahkan ketika wadah atau orang pengusungnya diberangus, ideologi akan jadi penanda kesetiaan yang tak lekang dikalahkan oleh senjata dan kebengisan. Ia hanya perlu waktu untuk menanti masa tepat “menghidupkan”. Ideologi akan ada karena ia sekumpulan nilai yang diyakini untuk membawa kebajikan, terserah kita memandangnya bagaimana.

Saya hargai beberapa orang yang membusung dada, mengelus misai sembari meminum kopi tersenyum sinis, “Fobia ke komunis kok dipelihara, wong partainya sudah di liang lahad! Di negeri asalnya sudah karam!”

Ia lupa, ideologi tidak abadi dengan wadah itu-itu saja, apalagi yang sudah dilarang. Ideologi bisa bermimikri untuk mencapai kepentingan yang dihajat dengan sistem nilai lamanya. Kalaupun sekarang mesti ada revisi, itu tak lebih untuk mencapai tujuan asas. Orang-orang yang menilai sinis lemahnya ideologi “usang” tampaknya hanya berpijak dari soal wadah ini belaka. Tidak sampai ke dinamika pikiran dan tindakan manusianya. Sudah tentu ini pemahaman ideologi yang reduksionis.

Kesilapan kedua, ideologi sering dikhaskan hanya sebagai identitas satu pihak yang mengusung. Padahal, mimikri ideologi artinya, sistem nilai yang diyakini dapat saja dipakai oleh orang bukan rahim asal ideologi ini. Ia “dipinjam” karena ada kebergunaan. Di sinilah ideologi pun menular, mewabah, tanpa harus mendaku lebih dulu sebagai pemilik sah penganut ideologi tersebut. Sistem nilai itu dipinjam, dipergunakan untuk memperjuangkan kepentingan, karena memang paling memungkinkan dan efektif meraih kuasa yang dibidik. Seseorang bisa saja tampak agamis, tapi demi kekuasaan maka ia meminjam cara-cara hingga sistem nilai komunis tanpa ragu dan tanpa harus menjadi pengikut komunis. Ia fitnahi dan singkirkan ulama; ia halalkan segala cara meneror mengintimidasi lawan politik sekalipun dengan fitnah. Semua didesain rapi lewat mesin propaganda media yang dibajui demokrasi sebagai kamuflase.

Di sinilah, imbauan dan seruan bangkitnya ideologi akan lebih tepat bila diarahkan kepada “waspada bangkitnya cara-cara berpikir, metode beraksi, paradigma meneror, yang meminjam-meniru tanpa malu-malu ideologi yang pernah dilarang negara”. Dan di sini pula kita paham di lain masa ada kalanya liberalisme perekonomian diseturuti karena ada “nilai manfaat” meski kita kutuk keras-keras asas (nilai) liberalismenya. Jadi, jangan terpaku pada wadah atau perlembagaan, yang memang bisa sewaktu-waktu berubah seiring angin politik dan respons publik.

Demikianlah yang terjadi di tanah air kita, menganggap isu kebangkitan partai komunis sebagai hal berlebihan, mungkin ada benarnya. Tapi ini tidak presisi, cenderung mengabaikan kenyataan, serta meluputkan terminologi dan praksis ideologi. Kepercayaan diri untuk tidak turut “membesarkan” fobia adalah pilihan, tinggal bagaimana menyiapkan diri dengan kacamata jeli dan mau menapaki jejak yang objektif di lapangan. Isi kepala untuk meremehkan mestinya tak boleh ada; sama halnya tak baik terlampau mencurigai kalau tiada fakta akurat.

Demikian, jadi kalau si anu di Ibu Kota memakai cara-cara gaya partai anu yang terlarang, itu logis saja, karena begitulah paling efektif memukul lawan-lawannya. Apakah memakai cara partai terlarang anu itu otomatis ia pengikutnya? Belum tentu. Apakah ia juga pengikut isme terlarang itu? Belum mesti jua. Yang pasti, ia pakai cara-caranya para politisi partai terlarang itu ketika berkuasa. Ini sudah aksioma tak boleh didebat, kecuali Anda memiliki fakta berkebalikan dan isi kepala yang senantiasa mengabsahkan cara-cara dimaksud. Di titik inilah ideologi pasti selalu dan mesti berselaras dengan apa yang disebut worldview. []

Yusuf Maulana

0 Response to "Ideologi: Sebuah Prolegomen"

Post a Comment