Masa Depan Perguruan Tinggi Indonesia
Thursday, February 23, 2017
Add Comment
Di pertemuan Forum Rektor Indonesia, awal Februari tahun ini, saat Bapak Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengumumkan bahwa baru saja beliau menandatangani Peraturan Menteri No. 20 Tahun 2017 mengenai kewajiban publikasi, saya menggerakkan tangan untuk bertepuk. Menyambut dengan suka cita penetapan aturan hukum untuk mewajibkan dosen menulis untuk publikasi.Ternyata, tepuk tangan saya hanya bersama-sama dengan tidak lebih dari lima orang. Saya yang awalnya senang sangat, dalam beberapa detik tertegun. Sekadar bertanya "pengumuman menteri sepi sambutan?". Ternyata tidak sepi. Setelah beberapa hari usai perhelatan itu, justru protes, surat terbuka, dan diskusi dilaksanakan untuk merespon peraturan tersebut. Catatan ini, bukan tentang permen itu.
Membandingkan dengan negara tetangga?
Sekadar menengok ke capaian negara tetangga, bisa saja. Menyebutkan Malaysia, Thailand, dan Singapura sebagai pembanding, sah-sah saja. Namun demikian, dalam banyak atmosfer akademik dan infrastruktur akademik yang dimiliki negara tetangga, tidak serumit praktik dan tata kelola pendidikan tinggi Indonesia. Seorang dosen Indonesia, ketika harus melakukan perjalanan dinas, mesti mengurusi boarding pass dan administrasi lainnya. Tenaga tercurah untuk itu, belum lagi setelah pulang ke kantor harus menuliskan laporan yang melengkapi surat tugas. Semuanya itu, tidak menjadi bagian dari sumbangan publikasi. Sehingga sebelum sampai pada kesempatan menulis publikasi, sudah kehabisan energi di fase awal.
Sehingga membandingkan dengan negara tetangga dalam hal jumlah publikasi, untuk saat ini, tidaklah sepadan. Mereka membangun atmosfer akademik dengan sasaran yang memang ditumpukan kepada riset dan bukan administrasi belaka. Jika ini tidak diatasi, maka harapan menyamai prestasi mereka, akan sia-sia belaka.
Apa yang harus dilakukan?
Menuju kepada semua harapan-harapan untuk mengembangkan perguruan tinggi kita, tentu tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab kementerian semata. Semua rakyat Indonesia bertanggungjawab untuk itu. Pertama, orientasi setiap perguruan tinggi harus memiliki tumpuan pada riset dan publikasi. Walaupun itu masih di tahap pengajaran dan pembelajaran, tetapi hasil dari keduanya harus dipublikasikan. Sehingga tautan antara pendidikan dan pengajaran terintegrasi dengan publikasi.
Ini bisa saja berarti bahwa dharma perguruan tinggi yang keempat dan tidak tertulis adalah publikasi. Apapun yang dilaksanakan dalam tiga dharma yang lain, tetap saja harus dipublikasikan. Begitu juga, publikasi menjadi awal dari semua kegiatan yang ada. Sehingga lingkaran malaikat ini akan menjadi kultur tersendiri di lingkungan perguruan tinggi.
Kedua, kendala akses jurnal bereputasi. Disamping mahal, juga berkaitan dengan sarana. Salah satu pilihan yang memungkinkan adalah setiap kota atau kabupaten membangun perpustakaan daerah yang melanggan kepada database jurnal yang bereputasi. Paling tidak, menyediakan sarana dan akses yang cepat, sebab Perpustakaan Nasional RI sudah berlangganan ratusan jurnal. Hanya saja tidak dapat diakses oleh semua warga akademik, diantara masalahnya adalah akses internet yang tidak memadai.
Maka, keberadaan Telkom sebagai penyediaan keperluan komunikasi. Saat ini Telkom sudah menyediakan layanan Speedy, hanya saja di beberapa lokasi berubah menjadi Slowly. Sudah saatnya Telkom diberi mandat khusus untuk membantu high speed akses internet di semua pelosok negeri. Bersama-sama dengan pemerintah daerah, Telkom ditugaskan untuk menyediakan perpustakaan digital. Sehingga semua sekolah dan perguruan tinggi di wilayah tersebut dapat mengakses kebutuhan dasar dalam hal referensi. Sekaligus menjadi jawaban kekurangan dana setiap perguruan tinggi akan akses kepada referensi. Tidak hanya universitas, tetapi murid dan siswa juga memiliki akses pada perpustakaan digital sejak dini. Sehingga kemampuan mereka sudah terasah sejak dini. Pada saatnya, mereka sudah bisa mengemban tugas akademik untuk ikut menyumbang pada publikasi.
Terakhir, guru dan dosen Indonesia selama ini tidaklah menjadikan uang dan gaji sebagai tujuan utama. Sehingga mengancam mereka untuk mencabut tunjangan sertifikasi dengan dalih tidak melakukan publikasi sebuah hal yang perlu dipetimbangkan.
Publikasi merupakan fardhu ain. Walaupun demikian perlu dilakukan secara berjamaah. Publikasi bukanlah fardhu kifayah dimana jika sudah dilaksanakan oleh dosen yang lain, maka gugurlah kewajiban dosen yang lain. Sebaliknya, setiap dosen punya tugas yang sama untuk menunaikan kewajiban publikasi yang sama.
Berkaitan dengan soal uang sebagai sarana dalam membantu riset, sesungguhnya bukanlah masalah utama. Hanya saja, kadang-kadang alokasi pendanaan di perguruan tinggi lebih diutamakan kepada seremonial yang tidak menyumbang pada publikasi. Betapa wisuda, penyambutan mahasiswa baru, pertemuan dengan petinggi kementerian, diantara aktivitas yang kadang lebih dialokasikan dengan dana khusus berbanding dengan pelatihan dan penguatan kemampuan untuk menulis dosen-dosen.
Padahal, tanpa kemampuan menulis, publikasi tidak akan pernah didapatkan. Demikian pula keterampilan berbahasa, mesti dilatihkan secara berkelanjutan. Mulai dari kemampuan kosakata sampai pada keterampilan menulis akademik. Tidak bisa diharapkan hanya dalam hitungan bulan. Begitu juga dalam hitungan beberapa tahun.
Saya mengetikkan catatan ini usai berkunjung ke Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Nahdhatul Ulama Al-Hikmah di Mojokerto. Sebelumnya bersama-sama dengan warga Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Tulung Agung. Di kedua perguruan tinggi tersebut, saya menyerap betapa dosen-dosen sesungguhnya memiliki semangat, prakarsa, dan kemauan.
Hanya saja, pelatihan dan kesempatan untuk mengasah keterampilan mereka tidak tersedia secara leluasa. Sehingga mereka melakukan prakarsa dan inisiatif yang jauh dari dukungan kementerian. Kalau saja mereka dibantu, maka niscaya bonus publikasi yang selalu digaungkan, dengan mudah akan didapatkan.
Maka saya berpendapat bahwa masa depan perguruan tinggi kita justru bisa berharap pada NU dan Muhammadiyah. Keduanya, diantara organisasi kemasyarakatan Islam lainnya yang berjuang dalam ranah pendidikan tinggi, dengan bersama-sama komponen bangsa lainnya telah menggerakkan dosen dan warga perguruan tinggi tidak bersandar pada pendanaan pemerintah. Sehingga perguruan tinggi mestinya diberikan kesempatan untuk memperkuat kemampuan mereka, sebelum dituntut sampai pada hitungan jumlah publikasi.
Pagi ini usai acara keluarga, saya bergegas ke Yogyakarta. Universitas Ahmad Dahlan menyelenggarakan International Conference on Islamic Studies bersama-sama dengan Universiti Malaya dan Universiti Islam Antarbangsa Malaysia. Lagi-lagi, forum seperti ini sepi dari kehadiran dan keberadaan kementerian. Sekali lagi, dosen dan warga perguruan tinggi tidak memerlukan ancaman dan penghargaan. Kita lebih butuh pada pendampingan dan panduan untuk menuju pada kualitas dan kuantitas publikasi.
Tidak semua juga perguruan tinggi harus dituntut dengan kewajiban publikasi. Dalam beberapa kondisi, perguruan tinggi kita perlu berorientasi pada masyarakat. Keperluan masyarakat menjadi dasar dalam pelaksanaan perguruan tinggi. Sebuah sekolah tinggi di Wamena, Papua, tidaklah perlu dibebani untuk mencapai tahap pada publikasi dengan index Scopus atau Thomson. Jangankan akses pada database Scopus, sarana koneksi internet saja bermasalah. Sebelum berbicara soal publikasi, perlu diawali dengan penyediaan sarana untuk membantu mewujudkan publikasi.
Masa depan perguruan tinggi kita tetap akan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. NU dan Muhammadiyah sudah hadir, bahkan sebelum Indonesia diproklamirkan. Pada keduanya, harapan kita dapat diletakkan. Belum lagi organisasi lainnya seperti Yapis di Papua, Persis di Jawa Barat, Perti di Sumatera Barat, Alwasliyah di Sumatera Utara, DDI dan As'adiyah di Sulawesi Selatan, dan juga Alkhaerat di Sulawesi Tengah. Jika ditambah dengan kemampuan birokrasi untuk mengelolanya, maka Indonesia akan menjadi kebanggaan dunia Islam.
Yogyakarta, 22 Februari 2017
Ismail Suardi Wekke
STAIN Sorong, Papua Barat
Membandingkan dengan negara tetangga?
Sekadar menengok ke capaian negara tetangga, bisa saja. Menyebutkan Malaysia, Thailand, dan Singapura sebagai pembanding, sah-sah saja. Namun demikian, dalam banyak atmosfer akademik dan infrastruktur akademik yang dimiliki negara tetangga, tidak serumit praktik dan tata kelola pendidikan tinggi Indonesia. Seorang dosen Indonesia, ketika harus melakukan perjalanan dinas, mesti mengurusi boarding pass dan administrasi lainnya. Tenaga tercurah untuk itu, belum lagi setelah pulang ke kantor harus menuliskan laporan yang melengkapi surat tugas. Semuanya itu, tidak menjadi bagian dari sumbangan publikasi. Sehingga sebelum sampai pada kesempatan menulis publikasi, sudah kehabisan energi di fase awal.
Sehingga membandingkan dengan negara tetangga dalam hal jumlah publikasi, untuk saat ini, tidaklah sepadan. Mereka membangun atmosfer akademik dengan sasaran yang memang ditumpukan kepada riset dan bukan administrasi belaka. Jika ini tidak diatasi, maka harapan menyamai prestasi mereka, akan sia-sia belaka.
Apa yang harus dilakukan?
Menuju kepada semua harapan-harapan untuk mengembangkan perguruan tinggi kita, tentu tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab kementerian semata. Semua rakyat Indonesia bertanggungjawab untuk itu. Pertama, orientasi setiap perguruan tinggi harus memiliki tumpuan pada riset dan publikasi. Walaupun itu masih di tahap pengajaran dan pembelajaran, tetapi hasil dari keduanya harus dipublikasikan. Sehingga tautan antara pendidikan dan pengajaran terintegrasi dengan publikasi.
Ini bisa saja berarti bahwa dharma perguruan tinggi yang keempat dan tidak tertulis adalah publikasi. Apapun yang dilaksanakan dalam tiga dharma yang lain, tetap saja harus dipublikasikan. Begitu juga, publikasi menjadi awal dari semua kegiatan yang ada. Sehingga lingkaran malaikat ini akan menjadi kultur tersendiri di lingkungan perguruan tinggi.
Kedua, kendala akses jurnal bereputasi. Disamping mahal, juga berkaitan dengan sarana. Salah satu pilihan yang memungkinkan adalah setiap kota atau kabupaten membangun perpustakaan daerah yang melanggan kepada database jurnal yang bereputasi. Paling tidak, menyediakan sarana dan akses yang cepat, sebab Perpustakaan Nasional RI sudah berlangganan ratusan jurnal. Hanya saja tidak dapat diakses oleh semua warga akademik, diantara masalahnya adalah akses internet yang tidak memadai.
Maka, keberadaan Telkom sebagai penyediaan keperluan komunikasi. Saat ini Telkom sudah menyediakan layanan Speedy, hanya saja di beberapa lokasi berubah menjadi Slowly. Sudah saatnya Telkom diberi mandat khusus untuk membantu high speed akses internet di semua pelosok negeri. Bersama-sama dengan pemerintah daerah, Telkom ditugaskan untuk menyediakan perpustakaan digital. Sehingga semua sekolah dan perguruan tinggi di wilayah tersebut dapat mengakses kebutuhan dasar dalam hal referensi. Sekaligus menjadi jawaban kekurangan dana setiap perguruan tinggi akan akses kepada referensi. Tidak hanya universitas, tetapi murid dan siswa juga memiliki akses pada perpustakaan digital sejak dini. Sehingga kemampuan mereka sudah terasah sejak dini. Pada saatnya, mereka sudah bisa mengemban tugas akademik untuk ikut menyumbang pada publikasi.
Terakhir, guru dan dosen Indonesia selama ini tidaklah menjadikan uang dan gaji sebagai tujuan utama. Sehingga mengancam mereka untuk mencabut tunjangan sertifikasi dengan dalih tidak melakukan publikasi sebuah hal yang perlu dipetimbangkan.
Publikasi merupakan fardhu ain. Walaupun demikian perlu dilakukan secara berjamaah. Publikasi bukanlah fardhu kifayah dimana jika sudah dilaksanakan oleh dosen yang lain, maka gugurlah kewajiban dosen yang lain. Sebaliknya, setiap dosen punya tugas yang sama untuk menunaikan kewajiban publikasi yang sama.
Berkaitan dengan soal uang sebagai sarana dalam membantu riset, sesungguhnya bukanlah masalah utama. Hanya saja, kadang-kadang alokasi pendanaan di perguruan tinggi lebih diutamakan kepada seremonial yang tidak menyumbang pada publikasi. Betapa wisuda, penyambutan mahasiswa baru, pertemuan dengan petinggi kementerian, diantara aktivitas yang kadang lebih dialokasikan dengan dana khusus berbanding dengan pelatihan dan penguatan kemampuan untuk menulis dosen-dosen.
Padahal, tanpa kemampuan menulis, publikasi tidak akan pernah didapatkan. Demikian pula keterampilan berbahasa, mesti dilatihkan secara berkelanjutan. Mulai dari kemampuan kosakata sampai pada keterampilan menulis akademik. Tidak bisa diharapkan hanya dalam hitungan bulan. Begitu juga dalam hitungan beberapa tahun.
Saya mengetikkan catatan ini usai berkunjung ke Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Nahdhatul Ulama Al-Hikmah di Mojokerto. Sebelumnya bersama-sama dengan warga Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Tulung Agung. Di kedua perguruan tinggi tersebut, saya menyerap betapa dosen-dosen sesungguhnya memiliki semangat, prakarsa, dan kemauan.
Hanya saja, pelatihan dan kesempatan untuk mengasah keterampilan mereka tidak tersedia secara leluasa. Sehingga mereka melakukan prakarsa dan inisiatif yang jauh dari dukungan kementerian. Kalau saja mereka dibantu, maka niscaya bonus publikasi yang selalu digaungkan, dengan mudah akan didapatkan.
Maka saya berpendapat bahwa masa depan perguruan tinggi kita justru bisa berharap pada NU dan Muhammadiyah. Keduanya, diantara organisasi kemasyarakatan Islam lainnya yang berjuang dalam ranah pendidikan tinggi, dengan bersama-sama komponen bangsa lainnya telah menggerakkan dosen dan warga perguruan tinggi tidak bersandar pada pendanaan pemerintah. Sehingga perguruan tinggi mestinya diberikan kesempatan untuk memperkuat kemampuan mereka, sebelum dituntut sampai pada hitungan jumlah publikasi.
Pagi ini usai acara keluarga, saya bergegas ke Yogyakarta. Universitas Ahmad Dahlan menyelenggarakan International Conference on Islamic Studies bersama-sama dengan Universiti Malaya dan Universiti Islam Antarbangsa Malaysia. Lagi-lagi, forum seperti ini sepi dari kehadiran dan keberadaan kementerian. Sekali lagi, dosen dan warga perguruan tinggi tidak memerlukan ancaman dan penghargaan. Kita lebih butuh pada pendampingan dan panduan untuk menuju pada kualitas dan kuantitas publikasi.
Tidak semua juga perguruan tinggi harus dituntut dengan kewajiban publikasi. Dalam beberapa kondisi, perguruan tinggi kita perlu berorientasi pada masyarakat. Keperluan masyarakat menjadi dasar dalam pelaksanaan perguruan tinggi. Sebuah sekolah tinggi di Wamena, Papua, tidaklah perlu dibebani untuk mencapai tahap pada publikasi dengan index Scopus atau Thomson. Jangankan akses pada database Scopus, sarana koneksi internet saja bermasalah. Sebelum berbicara soal publikasi, perlu diawali dengan penyediaan sarana untuk membantu mewujudkan publikasi.
Masa depan perguruan tinggi kita tetap akan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. NU dan Muhammadiyah sudah hadir, bahkan sebelum Indonesia diproklamirkan. Pada keduanya, harapan kita dapat diletakkan. Belum lagi organisasi lainnya seperti Yapis di Papua, Persis di Jawa Barat, Perti di Sumatera Barat, Alwasliyah di Sumatera Utara, DDI dan As'adiyah di Sulawesi Selatan, dan juga Alkhaerat di Sulawesi Tengah. Jika ditambah dengan kemampuan birokrasi untuk mengelolanya, maka Indonesia akan menjadi kebanggaan dunia Islam.
Yogyakarta, 22 Februari 2017
Ismail Suardi Wekke
STAIN Sorong, Papua Barat
0 Response to "Masa Depan Perguruan Tinggi Indonesia"
Post a Comment