Islam dan Kepemimpianan-Catatan Maiyah 1
Wednesday, February 22, 2017
Add Comment
Bagi saya, Maiyah telah menjadi tempat menyegarkan pikiran dan menemukan pencerahan. Dan juga bagi banyak orang lain yang berbondong-bondong datang ke Majelis Maiyah, Kenduri Cinta di Jakarta, Mocopat Syafaat di Jogja, Padhang Mbulan di Jombang, Bangbang Wetan di Surabaya dan di kota-kota lainnya. Mereka yang datang tidak semua orang-orang yang secara fisik terlihat soleh seperti berbaju koko atau berjenggot. Mulai dari yang tampak seperti qori’ hingga yang korak ada semua tumpah ruah menyatu dalam Majelis Maiyah. Dan hal itu salah satu yang membuat saya terpukau. Dengan konten yang sangat Islami nan filosofis namun bisa sangat diterima oleh semua kalangan.
Maiyah kemarin (17/2) di Jogja yakni Mocopat Syafaat bagi saya sama dengan pertama kali saya mengikuti Maiyah, selalu berkesan di hati dan membuat saya tidak hanya merespon “Wow” saja, tapi juga “Aha!”. Mocopat Syafaat kali ini banyak mengomentari kondisi kekinian republik ini terutama terkait ribut-ribut kekuasaan. Dan diantara tujuan Maiyah, seperti kata Cak Nun adalah tempat belajar dan berlatih seimbang berpikir. Maka dalam Mocopat Syafaat kali ini, Cak Nun bersama Kyai Muzammil berusaha menjaga keseimbangan pemahaman terkait kepemimpinan dalam Islam.
Hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa Islam melarang umatnya untuk mengajukan diri sendiri sebagai pemimpin. Rasulullah SAW berkali-kali menekankan agar seseorang tidak meminta sebuah kepemimpinan. Berikut saya kutip beberapa hadits dari Rasulullah SAW
Namun yang terjadi hari ini justru sebaliknya dimana kepemimpinan dan kekuasaan menjadi rebutan dan menjadi penyebab konflik dan pemecahbelah. Sejak massa pasca Khulafaur Rasyidin hingga kini kekuasaan menjadi ajang perebutan yang memicu pertikaian. Lantas bagaimana pemimpin ditentukan menurut Islam?
Ijtihad penentuan kepemimpinan pasca wafatnya Rasulullah, disebutkan oleh Kyai Muzammil disandarkan pada jaminan Rasulullah terhadap 10 sahabat yang dijamin masuk surga. Artinya ketika sudah ada jaminan masuk surga, segala kehidupannya terjamin kelurusannya.
Pemilihan Abu Bakar menggantikan Rasulullah SAW karena diajukan oleh Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah karena melihat kedekatan Abu Bakar dengan Rasulullah SAW dan kerap diminta menggantikan Imam Shalat oleh Rasulullah SAW. Ketika Abu Bakar wafat, ia langsung berwasiat agar Umar bin Khattab menggantikannya. Hal itu dilakukan Abu Bakar karena melihat banyak wahyu yang turun karena peristiwa yang berkaitan dengan Umar bin Khattab. Lalu ketika menjelang akhir hayat Umar bin Khattab, ia membentuk semacam majelis syura’ untuk menentukan siapa pemimpinnya yang terdiri dari 6+1 orang. Keenam orang itu adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Saad bin Abi Waqqash yang tidak lain adalah 6 dari 10 Sahabat yang dijamin masuk surga yang masih hidup. Sementara 1 orang lagi adalah putra Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar yang mewakili suaranya namun tidak memiliki hak untuk dipilih.Kemudian setelah Utsman wafat, pemilian Ali pun dimusyawarahkan oleh 3 dari 10 Shahabat yang dijamin masuk surga yang tersisa. Dan musyawarah tersebut pun akhirnya menentukan Ali sebagai Khalifah.
Singkatnya, pemilihan pemimpin yang diteladankan oleh para Shahabat adalah dengan ijtihad karena mereka melihat tanda dan isyarat bahwa Allah meridhoi calon pemimpin tersebut. Mereka memiliki kemampuan untuk “mendengar” suara Tuhan lalu kemudian ia menjadi suara rakyat. Hal ini berbeda dengan logika hari ini yang terjadi justeru suara rakyat dianggap sebagai suara Tuhan.
Maka catatan pertama soal pemilihan pemimpin yaitu, secara umum Islam “tidak mengajarkan” bagaimana menjadi pemimpin bagi banyak orang. Namun mengajarkan kepada setiap umatnya bagaimana mengetahui dan memilih pemimpin yang benar, menangkap isyarat dari Allah bahwa seseorang bisa didaulat menjadi pemimpin. Dan kemampuan ini diasah seiring dengan kualitas Iman dan kedekatan seseorang dengan Tuhan-Nya. Persoalannya kini adalah umat kehilangan kemampuan untuk memilih. Bahkan untuk memilih makanan yang baik bagi dirinya saja kesulitan dan tak mampu. Apalagi memilih pemimpin yang akan menentukan bagaimana kehidupannya.
Kedua, modernitas di satu sisi justru merusak dan memutarbalikkan logika manusia. Dan terkait penentuan pemimpin, era pramodern banyak melihat siapa yang dipilih sebagai pemimpin dengan ukuran kualitatif. Bagaimana kualitas diri akan menentukan kelayakan seseorang menjadi pemimpin. Namun kini di era modern yang menjadi ukuran adalah aspek kuantitatif, dimana ukuran terpenting adalah banyaknya yang memilih bukan kualitas orang yang dipilih. Maka tak heran siapapun dan bagaimanapun kualitasnya, dimanipulasi sedapat mungkin agar banyak orang tertarik dan memilihnya.
Sementara itu, problematika kekuasaan mungkin tak jauh dari aspek korupsi, kolusi dan nepotisme. Dan era pramodern banyak menggambarkan hal itu dimana politik dinasti yang terjadi. Namun di era modern justru kerusakan yang terjadi lebih luas, dimana praktek KKN dan manipulasi menjangkau hampir setiap orang. Semakin banyak orang yang berpotensi melakukan keburukan
Ketiga, terkait penentuan pemimpin di era modern cara mengantisipasi pemutarbalikan logika yang menjadi sumber kerusakan ini adalah berusaha sedapat mungkin meneladani para Shahabat. Namun karena keterbatasan kualitas diri dan iman kita, maka tolok ukurnya adalah pemimpin harus mampu mewujudkan masyarakat yang madani. Masyarakat Madani oleh Cak Nun disebutkan sebagai masyarakat yang saling percaya dan aman satu sama lain. Maka setidaknya meski pemimpin ditentukan oleh suara terbanyak, pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang mengayomi, yang membuat tiap orang merasa aman satu sama lain.
Selain ketiga catatan soal kepemimpinan tersebut, Cak Nun juga menekankan bahwa watak umat Islam Indonesia pada dasarnya ramah sejak dahulu. Namun yang terjadi yang tampak adalah wajah marah umat Islam hal ini bukanlah karena umat Islam rasis atau karena memang kasar. Logikanya adalah mereka yang ditindas akan selalu bertindak radikal. Artinya umat Islam Indonesia kini telah mencapai batas kesabarannya, sehingga sering melakukan hal-hal yang dianggap “kasar”. Hal ini sama dengan seseorang yang terinjak kakinya, atau bahkan terinjak-injak berkali-kali pasti akan berteriak.
Menutup catatan saya, Kyai Muzammil bercerita melakukan sowan kepada dua Kyai. Satu di barat dan satu di timur, Kyai di Barat menyatakan bahwa ia siap berperang, karena segala sistem telah dipegang oleh “penindas” dan perjuangan konstitusional hanya akan sia-sia. Sementara Kyai di Timur menyatakan belum pernah setakut ini melihat kondisi bangsa ini, dalam kondisi seperti ini harus teramat berhati-hati agar umat dan bangsa ini tidak jatuh ke jurang kehancuran.
*NB : Catatan ini sangat mungkin 100% tidak sama dengan ucapan dan maksud dari Cak Nun dan Kyai Muzammil. Proses pencatatan, penangkapan dan penulisan sangat bisa mendistorsi ucapan dan maksud dari Cak nun dan Kyai Muzammil. Selain itu untuk menangkap maksud Cak Nun sangat tidak mungkin hanya dengan memaknai kutipan, harus duduk dan menyimak secara utuh. Saya hanya berusaha menyampaikan apa yang saya tangkap.
Ahmad Jilul Qurani Farid
Maiyah kemarin (17/2) di Jogja yakni Mocopat Syafaat bagi saya sama dengan pertama kali saya mengikuti Maiyah, selalu berkesan di hati dan membuat saya tidak hanya merespon “Wow” saja, tapi juga “Aha!”. Mocopat Syafaat kali ini banyak mengomentari kondisi kekinian republik ini terutama terkait ribut-ribut kekuasaan. Dan diantara tujuan Maiyah, seperti kata Cak Nun adalah tempat belajar dan berlatih seimbang berpikir. Maka dalam Mocopat Syafaat kali ini, Cak Nun bersama Kyai Muzammil berusaha menjaga keseimbangan pemahaman terkait kepemimpinan dalam Islam.
Hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa Islam melarang umatnya untuk mengajukan diri sendiri sebagai pemimpin. Rasulullah SAW berkali-kali menekankan agar seseorang tidak meminta sebuah kepemimpinan. Berikut saya kutip beberapa hadits dari Rasulullah SAW
Di antaranya adalah hadits Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan engkau meminta kepemimpinan. Sebab, jika engkau diberi kepemimpinan karena memintanya, sungguh akan diserahkan kepadamu (yakni Allah ‘azza wa jalla tidak akan menolongmu). Namun, jika engkau diberi bukan karena memintanya, engkau akan ditolong (oleh Allah ‘azza wa jalla) untuk mengembannya.” (Muttafaqun‘alaihi)
Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dua orang dari kabilah Asy’ari. Salah satunya di sebelah kananku dan yang lain di sebelah kiriku. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersiwak, keduanya meminta jabatan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Abu Musa,” atau beliau berkata, “Wahai Abdullah bin Qais.” Aku menjawab, “Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, keduanya tidak memberitahuku tentang apa yang ada pada dirinya. Aku tidak menyangka kalau keduanya meminta pekerjaan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَا نَسْتَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ
“Kami tidak meyerahkan jabatan kami kepada orang yang memintanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam riwayat al-Bukhari rahimahullah, dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, “Aku menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dua orang lelaki dari kaumku, salah satunya berkata, ‘Angkatlah kami menjadi pemimpin, wahai Rasulullah.’ Yang lainnya juga mengucapkan hal yang sama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا لَا نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
‘Sesungguhnya kami tidak menyerahkan hal ini kepada orang yang memintanya dan yang sangat berharap mendapatkannya’.” (HR. al-Bukhari, no. 6730)
Diriwayatkan pula oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Sesungguhnya kalian berkeinginan kuat untuk mendapatkan kepemimpinan, dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat kelak, nikmat di dunia, namun sengsara di akhirat.” (HR. al-Bukhari, no. 6729)
Namun yang terjadi hari ini justru sebaliknya dimana kepemimpinan dan kekuasaan menjadi rebutan dan menjadi penyebab konflik dan pemecahbelah. Sejak massa pasca Khulafaur Rasyidin hingga kini kekuasaan menjadi ajang perebutan yang memicu pertikaian. Lantas bagaimana pemimpin ditentukan menurut Islam?
Ijtihad penentuan kepemimpinan pasca wafatnya Rasulullah, disebutkan oleh Kyai Muzammil disandarkan pada jaminan Rasulullah terhadap 10 sahabat yang dijamin masuk surga. Artinya ketika sudah ada jaminan masuk surga, segala kehidupannya terjamin kelurusannya.
Pemilihan Abu Bakar menggantikan Rasulullah SAW karena diajukan oleh Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah karena melihat kedekatan Abu Bakar dengan Rasulullah SAW dan kerap diminta menggantikan Imam Shalat oleh Rasulullah SAW. Ketika Abu Bakar wafat, ia langsung berwasiat agar Umar bin Khattab menggantikannya. Hal itu dilakukan Abu Bakar karena melihat banyak wahyu yang turun karena peristiwa yang berkaitan dengan Umar bin Khattab. Lalu ketika menjelang akhir hayat Umar bin Khattab, ia membentuk semacam majelis syura’ untuk menentukan siapa pemimpinnya yang terdiri dari 6+1 orang. Keenam orang itu adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Saad bin Abi Waqqash yang tidak lain adalah 6 dari 10 Sahabat yang dijamin masuk surga yang masih hidup. Sementara 1 orang lagi adalah putra Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar yang mewakili suaranya namun tidak memiliki hak untuk dipilih.Kemudian setelah Utsman wafat, pemilian Ali pun dimusyawarahkan oleh 3 dari 10 Shahabat yang dijamin masuk surga yang tersisa. Dan musyawarah tersebut pun akhirnya menentukan Ali sebagai Khalifah.
Singkatnya, pemilihan pemimpin yang diteladankan oleh para Shahabat adalah dengan ijtihad karena mereka melihat tanda dan isyarat bahwa Allah meridhoi calon pemimpin tersebut. Mereka memiliki kemampuan untuk “mendengar” suara Tuhan lalu kemudian ia menjadi suara rakyat. Hal ini berbeda dengan logika hari ini yang terjadi justeru suara rakyat dianggap sebagai suara Tuhan.
Maka catatan pertama soal pemilihan pemimpin yaitu, secara umum Islam “tidak mengajarkan” bagaimana menjadi pemimpin bagi banyak orang. Namun mengajarkan kepada setiap umatnya bagaimana mengetahui dan memilih pemimpin yang benar, menangkap isyarat dari Allah bahwa seseorang bisa didaulat menjadi pemimpin. Dan kemampuan ini diasah seiring dengan kualitas Iman dan kedekatan seseorang dengan Tuhan-Nya. Persoalannya kini adalah umat kehilangan kemampuan untuk memilih. Bahkan untuk memilih makanan yang baik bagi dirinya saja kesulitan dan tak mampu. Apalagi memilih pemimpin yang akan menentukan bagaimana kehidupannya.
Kedua, modernitas di satu sisi justru merusak dan memutarbalikkan logika manusia. Dan terkait penentuan pemimpin, era pramodern banyak melihat siapa yang dipilih sebagai pemimpin dengan ukuran kualitatif. Bagaimana kualitas diri akan menentukan kelayakan seseorang menjadi pemimpin. Namun kini di era modern yang menjadi ukuran adalah aspek kuantitatif, dimana ukuran terpenting adalah banyaknya yang memilih bukan kualitas orang yang dipilih. Maka tak heran siapapun dan bagaimanapun kualitasnya, dimanipulasi sedapat mungkin agar banyak orang tertarik dan memilihnya.
Sementara itu, problematika kekuasaan mungkin tak jauh dari aspek korupsi, kolusi dan nepotisme. Dan era pramodern banyak menggambarkan hal itu dimana politik dinasti yang terjadi. Namun di era modern justru kerusakan yang terjadi lebih luas, dimana praktek KKN dan manipulasi menjangkau hampir setiap orang. Semakin banyak orang yang berpotensi melakukan keburukan
Ketiga, terkait penentuan pemimpin di era modern cara mengantisipasi pemutarbalikan logika yang menjadi sumber kerusakan ini adalah berusaha sedapat mungkin meneladani para Shahabat. Namun karena keterbatasan kualitas diri dan iman kita, maka tolok ukurnya adalah pemimpin harus mampu mewujudkan masyarakat yang madani. Masyarakat Madani oleh Cak Nun disebutkan sebagai masyarakat yang saling percaya dan aman satu sama lain. Maka setidaknya meski pemimpin ditentukan oleh suara terbanyak, pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang mengayomi, yang membuat tiap orang merasa aman satu sama lain.
Selain ketiga catatan soal kepemimpinan tersebut, Cak Nun juga menekankan bahwa watak umat Islam Indonesia pada dasarnya ramah sejak dahulu. Namun yang terjadi yang tampak adalah wajah marah umat Islam hal ini bukanlah karena umat Islam rasis atau karena memang kasar. Logikanya adalah mereka yang ditindas akan selalu bertindak radikal. Artinya umat Islam Indonesia kini telah mencapai batas kesabarannya, sehingga sering melakukan hal-hal yang dianggap “kasar”. Hal ini sama dengan seseorang yang terinjak kakinya, atau bahkan terinjak-injak berkali-kali pasti akan berteriak.
Menutup catatan saya, Kyai Muzammil bercerita melakukan sowan kepada dua Kyai. Satu di barat dan satu di timur, Kyai di Barat menyatakan bahwa ia siap berperang, karena segala sistem telah dipegang oleh “penindas” dan perjuangan konstitusional hanya akan sia-sia. Sementara Kyai di Timur menyatakan belum pernah setakut ini melihat kondisi bangsa ini, dalam kondisi seperti ini harus teramat berhati-hati agar umat dan bangsa ini tidak jatuh ke jurang kehancuran.
*NB : Catatan ini sangat mungkin 100% tidak sama dengan ucapan dan maksud dari Cak Nun dan Kyai Muzammil. Proses pencatatan, penangkapan dan penulisan sangat bisa mendistorsi ucapan dan maksud dari Cak nun dan Kyai Muzammil. Selain itu untuk menangkap maksud Cak Nun sangat tidak mungkin hanya dengan memaknai kutipan, harus duduk dan menyimak secara utuh. Saya hanya berusaha menyampaikan apa yang saya tangkap.
Ahmad Jilul Qurani Farid
0 Response to "Islam dan Kepemimpianan-Catatan Maiyah 1"
Post a Comment