Jabatan, Antara Amanah dan Pragmatisme

Tulisan ini muncul karena ketertarikan penulis membaca sebuah postingan amanat dari Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifudin ketika melantik para pejabat di lingkungan Kementerian Agama RI. Dan kemudian amanat tersebut di share kembali oleh seorang Pimpinan di lembaga tempat Penulis bekerja pada media sosial Whats app (WA). Inti dari amanat tersebut adalah peringatan untuk tidak melakukan praktik jual beli jabatan. Atau dengan kata lain tidak dibenarkan melakukan transaksi dalam upaya memperoleh sebuah jabatan. Kenapa? Karena jabatan adalah amanah (kepercayaan) yang diberikan kepada seseorang dengan dasar pertimbangan kualifikasi dan persyaratan tertentu yang telah ditentukan. Kalau jabatan dilakukan dengan cara transaksi, maka jabatan itu akan menghinakan dirinya sendiri, lanjut amanat tersebut.

Tidak bisa dipungkiri jabatan selalu menjadi daya tarik sepanjang masa. Entah sudah berapa episode sejarah yang meninggalkan tragedi disebabkan ambisi jabatan (kekuasaan). Semua terekam dalam sejarah. Mulai dari masayarakat purba sampai masyarakat modern selalu menginginkan jabatan. Hal ini disebabkan pandangan mereka tentang jabatan dianggap sesuatu yang prestisius.

Kalau mau jujur, memang tidak ada yang menarik pernyataan tersebut kalau kita melihatnya pada tataran yang normatif. Pernyataan tersebut terkesan seperti sebagai lips service semata, sebagai sebuah frase yang memang harus disampaikan dalam setiap moment pelantikan pejabat. Tapi dia akan menjadi sebuah bahasan yang menjadi menarik untuk diperbincangkan kembali manakala kita korelasikan pada realitas yang nampak saat ini. Betapa jabatan menjadi sebuah ajang bancakan danprestise. Jabatan dijadikan salah satu indikator status sosial seseorang, bahkan jabatan dianggap sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dan dicapai sebagai sebuah manifestasi nyata atas kemampuan dan kualifikasi yang dimiliki seseorang. Okelah, menurut penulis kalau argumentasi jabatan adalah bagian dari sebuah ajang pembuktian kemampuan seseorang. Yang menjadi lacurnya adalah pembuktian kemampuan tersebut ternyata secara implisit mengandung makna dan pandangan sebagai prestise dan status sosial seseorang, disini letak cilakanya. Karena kalau ini dijadikan indikator seseorang menduduki sebuah jabatan, maka tidak akan salah pernyataan di atas, bahwa jabatan menjadi salah satu media bagi seseorang untuk “melacurkan” dirinya, menghalalkan segala cara sebagai ikhtiar untuk memperoleh jabatan dimaksud. Jabatan dipandang sebagai sebuah Pragmatisme yang diinterpretasikan sebagai suatu upaya mencapai penghargaan danpenghormatan serta prestisius, ketimbang sebagai amanah dan tanggungjawab.

Amanah dan Pragmatisme Jabatan

Kita harus pula jujur untuk mengakui bahwa transaksi jabatan saat ini bukan lagi menjadi sebuah rahasia pribadi seseorang, dia sudah menjadi rahasia umum. Nilai dan angka rupiah yang muncul terhadap konsekuensi disandangnya jabatan pun bervariasi. Tarif untuk Eselon I, II, III, bahkan eselon IV sangat bervariatif, karea ini juga bergantung pada Satuan Perangkat Kerja (SPK) yang disasar. Berdasarkan hasil survey Komisi Aparatur Sipil Negara menyebutkan total transaksi jual beli jabatan di Indonesia tahun 2016, mencapai Rp 36,7 triliun. Angka itu bisa jadi di bawah angka sebenarnya.(Kompasiana, 24 Januari 2017). Sebuah angka dan nilai yang prestisius. Tertangkap tangannya (OTT) Bupati Klaten Sri Hartini terkait dengan dugaan penerimaan uang dalam kongkalikong pengaturan pengisian jabatan baru di Pemkab Klatensemakin memperkuat hipotesis dan membukakan mata kita bahwa nilai sebuah jabatan memiliki harga yang tidak murah. Semakin tinggi jabatan (baca: eselon) dan SKP yang akan diduduki, maka menjadi keniscayaan akan semakin mahal pula harganya. Pertanyaannya: Perlukah kita menangis dan menyesali terjadinya tindakan ini? Jawabannya tidak, karena penulis sangat meyakini sampai kapanpun transaksi jabatan tidak akan pernah bisa berhenti dan dihentikan memalui cara atau format apapun. Jabatan adalah syurga dunia bagi kaum rasionalitas yang menjadikannya sebagai alat ukur kesuksesan duniawi. Kaum rasionalitas menganggap jabatan bukanlah proses yang dimanfaatkan untuk kemaslahatan. Mereka lebih condong memegang kekuasaan adalah bagian dari upaya mencapai tujuan personal. Nilai-nilai yang terkandung dalam kata amanah tergerus dan terkalahkan oleh nilai-nilai kuantitas yang terkandung dalam sebuah rupiah.

Preposisi penulis di atas, memunculkan pertanyaan: Sudah sesulit itukah mencari manusia yang amanah dimuka bumi ini untuk memegang sebuah jabatan? Pertanyaan ini memang agak rumit untuk dijawab. Karena orang-orang yang amanah adalah orang-orang yang memiliki keterkaitan dengan idealisme dan religiusitas yang tinggi. Pada tataran dan konsep ini, biasanya manusia dengan tingkat ketinggian seperti ini menurut penulis, bukan tidak ingin memegang sebuah kepercayaan (amanah) dari sebuah jabatan. Tapi lebih disebabkan karena faktor psikologis berupa kekhawatiran terhadap ketika mereka memegang jabatan tersebut. Karena jabatan juga menyangkut sistem, dan biasanya orang yang masuk ke dalam sebuah sistem memiliki tendensi untuk ikut hanyut dan larut dalam sistem tersebut.  Kekuatan sistem ditambah dengan kegamanganinilah yang pada akhirnya mereduksi nilai-nilai amanah dan idealisme yang dimiliki menjadi nilai-nilai pragmatis dalam menjalankan jabatan. Paradigma ini akhirnya membawa amanah dan idealisme pada sebuah kesesatan (falacy) yang lebih membabi buta ketimbang kesesatan(falacy) yang dilakukan oleh kaum rasionalitas dalam memegang jabatan. Mereka lupa dengan amanah dan idealisme besar yang dimilikinya. Dengan kata lain, sekuat apapun nilai amanah dan idealisme dibangun dan dipertahankan, pada akhirnya akan muncul juga pemikiran bahwa jabatan adalah sebagai sesuatu yang substansial, bukan sebagai alat pengubah menuju sebuah kondisi yang lebih bermanfaat dan berkemajuan.

Adakah konsep amanah dalam memegang jabatan yang tidak berakhir pada pragmatis? Pertanyaan ini tentu harus dimunculkan untuk menjawab subyektivitas dan kekecewaan penulis terhadap tergerusnya nilai-nilai amanah dalam tataran empirisme sebuah jabatan. Menurut penulis, kita tidak perlu khawatir tentang stock manusia yang amanah dalam menduduki sebuah jabatan. Akan tetapi yang terpenting untuk kita sikapi adalah bagaimana nilai-nilai amanah tersebut tetap terjaga dan terawat sempurna dalam kondisi apapun dan dimanapun, termasuk dalam konteks dan perspektif jabatan sekalipun. Sungguh banyak sekali disediakan  jalan untuk mendapatkan kebahagiaan. Jabatan adalah sarana untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Namun jabatan hanya sarana, bukan tujuan. Sebab itu, barang siapa yang telah mendapatkan sarana tersebut dan tidak mempergunakannya untuk mencapai tujuan, maka kebahagiaan tidak akan diperoleh.

Dalam versi amanah, jabatan dipandang sebagai sebuah gerakan idealisme dalam upaya melakukan pengabdian, bukan untuk mencari popularitas, menumpuk kekayaan serta menikmati berbagai fasilitas gratis, mulai dari rumah dinas, mobil dinas dan lain sebagainya. Jabatan dalam versi ini diorientasikan pada membangun konsep yang hanya tertuju pada bagaimana terciptanya kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba yang lain dengan jabatan yang dimilikinya tersebut. Dalam halamanah jabatan, kebanyakan mereka dari perspektif kelompok ini meyakini bahwa jabatan bukanlahsesuatu yang harus diminta-minta atau dengan mengemis-ngemis apalagi dikejar dengan segala cara tanpa mempedulikan prinsip-prinsip agama. Sebab jabatan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalammenjalankan tanggung jawab melayani rakyat, apapun bentuk dan besar rakyat tersebut.Melihat cara pandang dan pola pikir di atas, tidak berlebihan bila penulis mengatakan bahwa jabatan dalam versi amanah, hanya dapat terwujud, jika personality yang memegang jabatan tersebut memiliki tingkat pengamalan dan pengalaman religiusitas yang mapan dan stabil.

Melalui sejarah kita mengetahui dan melihat betapa ambisi jabatan telah menenggelamkan Fir’aun dengan kesombongannya, yang pada puncaknya memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan. Ada pula Hitler yang gila kekuasaan dan menghalalkan genoside terhadap orang yang berada di luar rasnya. Namun, jika kita bertanya kepada mereka untuk apa berambisi kepada kekuasaan?Mereka menjawab itu semua untuk kebahagiaan. Dengan menduduki jabatan tersebut mereka eksis dan bisa menunjukkan aktualisasi dirinya.Selain itu, kekuasaan bagi mereka adalah alat untuk menguasai orang lain. Sarana untuk mengumpulkan kekayaan. Namun, pada akhirnya sejarah pula yang membuktikan bahwa mereka tersiksa dalam kekalutan. Saat kekuasaan mereka berakhir.

“Term”Amanah Dan Pragmatisme dalam Jabatan

Singkat cerita, ada sebuah dikhotomi yang nyata antara jabatan dalam versi amanah dan jabatan dalam versi pragmatisme. Amanah dan pragmatisme adalah dua terminologi mental dan cara pandang yang abstrak. Tak mudah dibaca karena bukan tulisan . Pun tidak gampang dilihat karena tidak berwujud. Tetapi keduanya dapat dimaknai dan didefinisikan dari tindakan dan perbuatan sehari-hari seseorang.Karena sebanyak apapun narasi dan huruf yang penulis tuliskan, tetap saja penulis memiliki keyakinan tidak akan mampu membunuh totalitas pragmatisme dimaksud. Dan juga sebaliknya, sebanyak dan sepanjang apapun narasi serta tulisan yang penulis buat, belum tentu mampu menggapai harapan tentang impian yang indah akan hadirnya sosok-sosok manusia yang amanah dan idealis dalam menduduki jabatan. Akan tetapi paling tidak, melalui tulisan ini kita sadar bahwa ada sebuah warning dan bahaya besar yang muncul akibat dari lalainya seseorang memegang amanah.

Butuh Ghirah (fanatisme) besar dan kebersamaan dalam mencapai semuanya ini. Tidak bisa hanya muncul dari satu atau sekelompok orang semata. Transaksi jabatan harus dilihat tidak saja terjadinya pertukaran nilai rupah terhadap jabatan itu sendiri. Akan tetapi transaksi jabatan juga bisa melahirkan bargaining yang berkelanjutan antara orang-orang yang memiliki kepentingan, pragmatisme pada kelas pejabat bisa saja berupa uang, barang dan kebijakan. Pragmatisme dan amanah adalah dua sisi yang sangat berbeda dan bertolak belakang. Sekali lagi, dalam term jabatan, amanah dan pragmatisme adalah dua terminologi mental dan cara pandang yang abstrak. Tak mudah dibaca karena bukan tulisan. Pun tidak gampang dilihat karena tidak berwujud. Tetapi dapat di maknai dan didefinisikan dari tindakan dan perbuatan sehari-hari seseorang. Sejak seseorang (pejabat publik) dilantik dan mengucap janji (serapah) di hadapan publik, maka komitmen dan konsistensinya dalam arena memperjuangkan kepentingan publik tidak boleh tergerus dan tergeser sejengkal pun, sampai usai masa pengabdiannya secara formil. Bukankah kita sering berdo’a : ”Dan diantara mereka ada yang berdoa Ya Tuhan Kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa nereka.” (Al-Baqarah: 201). Siapapun tahu bahwa do’a ini adalah do’a sapu jagat yang berlaku secara general, termasuk ketika seseorang memegang jabatan.

Haruskah kita kaum terdidik yang di claim sebagai kaum elit, kaum akademisi dan memiliki nilai-nilai idealisme, ikut menenggelamkan nilai-nilai amanah tersebut dalam menduduki sebuah kekuasaan atau jabatan? Dan melanggengkan nilai-nilai pragmatisme ? Kalau pilihan kedua yang terjadi, maka jabatan adalahmedia membangun kekuatan patronitas sebagai sarana yang kelak justru “menggadaikan” pengaruhnya untuk mencari keuntungan secara pribadi.

Buyung Syukron (Dosen IAIN Metro)

0 Response to "Jabatan, Antara Amanah dan Pragmatisme"

Post a Comment