Setan Identitas

Sebenarnya saya ingin ikut-ikut bikin status soal kisruh orang-orang Jakarta, yang belakangan menyeret-nyeret NU. Tapi, sebelum itu terjadi, saya tersadar, saya ini siapa? Lha, meskipun lahir dari keluarga nahdliyin, seumur hidup belum pernah jadi anggota NU. Jangankan menjadi santri di pesantren, mengaji di madrasah pun cuma sampai alif-ba-ta plus bonus tentang kisah-kisah nabi dari guru-guru ngaji saya yang notabene tetangga sendiri.

Sayangnya, saya juga bukan warga Muhammadiyah, terlebih FPI, HTI, Persis, FUI, atau organisasi keagamaan apapun. Saya tak pernah mengenal identitas keislaman saya sendiri. Oleh karena itu, setiap kali ada orang bertanya, “kamu ini NU, Muhammadiyah, atau apa?” saya selalu punya jawaban tunggal, “embuh.”

Bertahun-tahun saya tak ambil pusing dengan identitas “keislaman embuh” saya. Hingga akhirnya, ramainya perdebatan terkait Pilkada DKI dua hari terakhir mulai mengusik ketenangan identitas itu. Khususnya, ketika tiba-tiba ada kelompok-kelompok yang selama ini sinis terhadap NU dan ulama-ulamanya yang dianggap liberal dan penuh bid’ah, tiba-tiba ramai-ramai membela ulama NU.

Lalu, para Ahokers yang katanya liberal dan sekuler itu, di media sosial tiba-tiba dua hari terakhir juga berlomba-lomba menunjukkan diri bisa mesra dengan kalangan NU. Sikap orang-orang NU sendiri bermacam-macam, ada yang ikut-ikutan emosi dan berteriak membela ulama, ada yang memilih bersikap sinis terhadap aksi bela ulama orang-orang yang sebelumnya memusuhi ulama-ulama NU itu. Sebagian warga Muhammadiyah juga tak kalah hebohnya untuk maju meneriakkan bela ulama.

Perdebatan dalam pertautan antar identitas yang mbulet itu tiba-tiba mengulik tanya di benak saya: lha, terus kalau teriakannya berbasis identitas keislaman masing-masing, saya harus berteriak sebagai siapa? Tiba-tiba saya merasa kesepian. Identitas keislaman embuh ini ternyata menempatkan orang-orang seperti saya menjadi tak memiliki arah, pijakan, dan alasan apapun di tengah situasi sosial politik yang membuat tiap orang berpesta dan gandrung dalam identitas masing-masing.

Sejenak kemudian saya terpancing untuk mulai menggali-gali, kira-kira kalau harus beridentitas, identitas politik yang paling pas bagi saya apa?

Lalu, terbersit identitas kejawaan saya. Ya, saya orang Jawa. Secara keturunan mungkin ini identitas yang tak terpatahkan. Tapi, ketika menyebut identitas kesukuan semacam ini, saya selalu ingat kisah-kisah nelangsa sekaligus lucu terkait hal tersebut. Tak terhitung berapa kali “kejawaan” saya diragukan.

Waktu kecil, teman-teman kerap memanggil saya “singkek” ataupun “cino”. Gara-garanya, kulit saya yang lebih putih daripada anak-anak yang lain, serta mata saya yang agak sipit.

Suatu kali, pada saat meliput tentang sejarah masuknya kaum Tionghoa di Lasem, Rembang, saya mendapat pengalaman lucu. Saya meliput berdua dengan teman saya sesama wartawan Kompas, namanya Anthony Lee. Dari namanya, tentu kalian sudah tahu teman saya ini berdarah Tionghoa. Namun, ketika bertamu dan wawancara dengan sejumlah warga di Pecinan Lasem, justru saya yang dipanggil “Koh”, sementara Lee dipanggil “Mas”. Mungkin karena kulit saya yang sedikit lebih terang dari Lee. Kami berdua hanya bisa tertawa geli setiap kali panggilan itu diucapkan narasumber, tanpa mengklarifikasi. Sejak itu Lee memanggil saya “Koh Han”, dan saya memanggilnya “Mas Lee” atau “Tuan Lee”.

Terkait identitas biologis ini, pengalaman lebih menggelikan terjadi waktu saya berada di Sumatera. Kala itu saya bersama teman saya Faiq meliput tentang kehidupan petani sayur-mayur di Brastagi, Sumatera Utara. Wawancaralah kami dengan seorang ibu-ibu petani, yang sedang duduk di tepi ladang sayuran sambil menyirih.

“Panggil saja ibu Silvi, Silvi Simanungkalit,” begitu beliau menyebutkan namanya. Sebenarnya Silvi bukan nama Si Ibu, tapi nama anak perempuan pertamanya.

“Jangan pakai nama asli, malu ibu, Nak..ha..ha..ha,” terang si ibu.

Banyak ibu-ibu Batak yang enggan menyebutkan nama aslinya. Alasan yang sering saya dengar kerap sama, malu.

Setelah basa-basi sejenak, kami pun mulai wawancara. Tapi, sebelum wawancara berjalan lebih jauh, Si Ibu menyela, “pakai bahasa Batak aja, Nak. Lebih enak Ibu ngomongnya.”

Saya menjawab, “Saya tidak bisa bahasa Batak, Bu.” Beliau melanjutkan, “Ah, macam mana, orang Batak tak bisa bahasa kita,” Saya dan teman saya tak bisa menahan tawa mendengar ucapan si Ibu.

Lalu saya menjawab lagi, “Saya kan bukan orang Batak, Bu.” Tapi, beliau tak menyerah, “Ih, Ibu tak percaya, wajah kau mirip Si Sinambela itu.”

Karena saya belum bisa berhenti tertawa, Faiq lalu mencoba menjelaskan kepada si Ibu dengan setengah bercanda, “Teman saya ini memang orang Batak, Bu, tapi lama tinggal di Jakarta. Jadi, lupa bahasa Batak.” Si Ibu menjawab, “belajar lagilah, Nak.”

Tinggal selama tiga tahun di Aceh, “kontroversi” asal usul ini sudah menjadi hal biasa. Sejumlah teman dan kolega saya di Banda Aceh pada awalnya selalu mengira saya orang Takengon, Gayo. Lucunya, ketika saya di Takengon, sejumlah orang mengira saya orang Padang atau Palembang. Bahkan, ada yang mengira saya orang Cina. Tanpa sebuah klarifikasi, sangat jarang yang mengira saya orang Jawa.

Urusan label ideologis juga tak kalah mbuletnya. Hanya karena saya pernah bekerja di sebuah grup media nasional yang kapitalis nan sekuler, lalu pernah ikut mburuh di lembaga donor asing neolib, saya pernah dicap liberal ngehek oleh teman-teman kiri. Lucunya, teman kantor saya pernah mengira saya ini komunis, hanya karena melihat tumpukan sejumlah buku berbau kiri di meja kerja saya.

Terakhir, di tengah panasnya Pilkada DKI, beberapa orang menyebut saya PKI hanya karena saya mengritik sepak terjang FPI. Konyolnya, gara-gara mengritik Ahok, beberapa Ahokers menuduh saya sebagai pendukungnya Anies Baswedan.

Itulah Indonesia. Betapa rumitnya hidup tanpa harus ada label identitas. []

Mohamad Burhanudin

1 Response to "Setan Identitas"

  1. Dr. H. Achmad Romsan,SH, MH.,LL.MFebruary 3, 2017 at 2:10 PM

    Mas, pengalaman mas itu juga terjadi pada saya. Dikantor kadang saya di panggil meneer (mister), tapi juga dipanggil koko. Itu terjadi dikantor pemerintahan. Tapi itu Indonesia yg multi etnis dan culture.

    ReplyDelete