Ternyata yang Dibakar Bukan Musholla tetapi Gardu
Saturday, February 18, 2017
Add Comment
Bangunan sederhana ini lah yang malam lalu dibakar oleh segerombolan orang anti perjuangan petani Rembang Tolak Semen Indonesia yang sudah dimenangkan di MA. Api dendam kesumat dan kebencian itu sebelum melumat Musholla dan tenda perjuangan, tentu terlebih dahulu telah melumat akal sehat dan kemanusiaan pelakunya. Nah disinilah baiknya kita menguji kewarasan kita bersama. Sebab urusan penyelidikan kewarasan bukan hanya urusan Kant saja. Atau urusan Nabi Muhammad saja. Tapi urusan kita semua.
Saya tidak akan komentar pada soal apakah ini menistakan agama atau tidak. Atau kenapa yang ramai-ramai suka ribut bela Ulama, bela Islam, kenapa tidak menyerukan bela hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya rakyat yang terus diinjak-injak.
Saya akan diam soal itu. Perdebatan kita sejak awal sudah bisa dipastikan buntu. Anda tahu. Abad 21 di Indonesia tak jauh-jauh beda dengan zaman Skolastik. Untuk zaman seperti itu sy tdk terlalu yakin dengan perdebatan. Bisa jadi, zaman semacam itu perlu dijawab melalui eksperimen politik semacam Garibaldi atau Cromwell. Ketidakwarasan ditumpas setumpasnya. Dicongkel hingga akar-akarnya. Ya, itupun akan segera dijawab oleh kebajikan hidup ala Goenawan Mohamad: "lho, itukan namanya hasratmu sebagai objek ingin menjadi subjek. Lho, itukan namanya Angkara murka. Apakah situ ingin mencipta Padang Kurusetra di Republik ini?"
Pasti akan dibilang begitu. Pasti 100 persen. Lho kok begitu? Apa yang tidak di republik ini? Hasan Hanafi saja. Anda tahu kan Hanafi yang nulis berjilid-jilid itu? Dibawa ke Indonesia tak lain adalah untuk dihauli pemikirannya? Jadi perayaan atas pemikiran Hanafi di Indonesia dengan bikin FGD, klub baca, bahkan simposium, itu ya dalam rangka menghauli pemikirannya. Apa yang lainnya tidak? Hampir semuanya. Tiap elan Progresif sebuah pemikiran di Indonesia akan dilumerkan, digerogoti, dan diamputasi kaki-kakinya menjadi sekedar percakapan manja ala intelek-intelek galau yang takut dengan kebisingan sejarahnya. Ia butuh pegangan hidup, Ia butuh suatu hinterwelt, suatu ketenangan intelektual yang aduhai, yang menggiurkan bak anggur kebenaran yang entah. Yang selalu luput dari jangkauan.
Sehingga, apa akibatnya? Yang Progresif itu menjadi pincang, yang akhirnya kepincangan itu akan disimpulkan: inilah hasil akhir ukiran dialektis dan tegangan antara Jawa dan Barat, inilah kehebatan kita mendialogkan segalanya. Bukankah kita sudah mendialogkan semuanya. Jauh sebelum rasio komunikatif dicanangkan, kita adalah mbahnya per-dialog-an. Apa yang belum kita dialog-kan, coba hitung, coba kalkulasi? Perempuan-perempuan yang disilet vaginanya, yang dibakar jembutnya setelah diperkosa, yang diiris klitorisnya, yang dibelah buah dadanya, kayak tahun 65, di Aceh, di Papua, atau tahun 98, semua sudah kita dialogkan. Mereka sudah menerima kedurjanaan itu sebagai ladang amal dan ujian kebijaksanaan hidup mereka. Hore... Inilah kawan, wajah kebajikan kita yang paling agung, paling subtil dan paling purba. Bayangkan, ayo banyangkan! Terus bayangkan! Betapa agungnya kita!. Karena apa? Hanya melalui keikhlasannya menerima kedurjanaan itulah para perempuan korban itu dapat melipatgandakan amal baiknya kelak di sorga.
Jika Yunani punya demokrasi, maka kita punya dialog. Karena disitulah kebajikan dan kebenaran bersemayam. Dialog adalah koenjti! Harga mati! Dialog atau tidak sama sekali! Bahkan hanya di republik ini "jutaan manusia kecil (baca:rakyat) dimatekkan dibilang fiksi. Sekarang kalian kubur saja cerita itu, ayo dialog, karena apa? "Orang yang besar ampunannya besar derajatnya"
Atas semua ketidakwarasan di republik ini, yang seringkali diselimuti alasan-alasan teologis yang memuakkan dan bikin kepala makin bebal. Kritik akan dengan mudah disimpulkan sebagai anti A, anti B, eksponen A, eksponen B. Bahkan anda harus siap-siap dibilang anti agama meskipun sebenarnya anda shalat dan puasa. Karena bela Ulama=Bela Islam. Bela politik B=Bela Islam, bahkan bela Allah.
Baik, saya akan menghentikan komentar seputar kebajikan purba itu. (Tapi, repotnya, apa yang mau saya sampaikan juga masih terkait dengan kebajikan purba itu). Juga tak akan meladeni perdebatan yang mandeg seperti, "bukankah semen itu dibutuhkan rakyat? Lha kepalamu pecah, emang kalian bangun rumah ndak pake semen? Emang kalian kabeh, ndak suka dengan pembangunan? Anti NKRI? Wahai aktivis lingkungan, jangan romantiklah? Semua aktivitas ekonomi di muka bumi ini semuanya merusak kok. Seupil apapun itu. Jangankan aktivitas ekonomi, yang hasilnya juga kalian nikmati. Kalian nyuci sempak, peci, kutang pake deterjen, atau bangun pondasi rumah, apakah pada dirinya tidak merusak? Emang situ ndak pake telpon genggam waktu godain cewek? Bla... Bla... Bla...?" Pertanyaan-pertanyaan belum Akil baligh macam ini cukup menjadi tugasnya orang saleh macam Iqra Anugrah, Muhtar Habibi, atau yang agak brutal macam Andre Barahamin untuk menjawabnya. Eh, Jangan ding. Andre kan kafir. Kalau saya sendiri sudah ndak level jawab yang begituan. Maqam saya urusan yang ghaib-ghaib saja. Yang invisible, yang dunia seberang. Seperti meramal, apakah pemuda semacam Muhammad Azka Fahriza memang ditakdirkan ada jodohnya? Jangan-jangan jodohnya memang tidak pernah diciptakan di dunia ini. Bisa jadi kan? Kan Allah maha kuasa. Termasuk kuasa untuk tidak membikin pasangan seseorang. Ndak percaya, situ meragukan kekuassaan Allah? Jangan macem-macem ente. Bisa saya sate ente semua.
Tapi jujur, kritik macam itu cocoknya untuk mereka yang belum tahu, bahwa jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya sudah ada jauh sebelum penis mereka disunat dan belajar ngaceng. Jangan dikira saya guyon. Ini serius.
Jadi begini. Biar ndak mbulet. Wakapolres Rembang, bilang Musholla itu gardu. Ya hanya gardu. Saya sebagai santri jujur mangkel. Tahu mangkel? Jengkel! Wakapolres, tugas panjenengan itu mencari data dan fakta dari sebuah peristiwa. Bukan bikin novel?. Sudahlah bapak nggak bakal bisa nandingi mas Eka atau Gabito. Atau mau nandingi cerpennya Azka. Panjenengan lebih baik kembali ke khittahnya Polri. Musholla itu dulu dibangun dan diresmikan para kiai dengan istighosah dan sholawat Nabi bukan dengan Ndangdutan. Apa panjenengan mau bilang kalo para sesepuh, para kiai, santri kumpul kesitu sedang meresmikan gardu. Tentu tidak kan?
Ada yang komen. Halaaah cuman gubuk kayu ajak kok! Matamu picek! Kanjeng Sunan Walisongo dulu menyebarkan Islam juga dari gubuk seperti itu. Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari mendidik para kiai Ulama Nusantara juga dari gubuk semacam itu. Kalian pikir Islam dulu disebarkan lewat hotel dan WAG kayak model sekarang?
Itu yang menyembul di belakang bangunan kayu itu pengimaman atau tempat pemuda-pemudi main gitar?
Monggo pak Wakapolres. Njenengan usut. Jangan semuanya hendak dilumerkan. Itu juga tugasnya intelektuil pak, bukan tugas polisi. Itu tugasnya kaum pembuat FGD seperti saya ini pak? Apa iya, penjengan ndak tahu pak, kan punya Intel banyak? Apa ini hendak kita dialogkan juga pak? Apa boleh tidaknya pabrik Semen didirikan diatas pegunungan Karts perlu didialogkan juga pak? Ah, saya manut penjenengan sajalah pak. Saya takut dibilang pengikut GM pendendam nanti pak? Ngapunten lho pak nggeh? Damai di bumi damai di langit pak?[]
Roy Murtadho
Saya tidak akan komentar pada soal apakah ini menistakan agama atau tidak. Atau kenapa yang ramai-ramai suka ribut bela Ulama, bela Islam, kenapa tidak menyerukan bela hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya rakyat yang terus diinjak-injak.
Saya akan diam soal itu. Perdebatan kita sejak awal sudah bisa dipastikan buntu. Anda tahu. Abad 21 di Indonesia tak jauh-jauh beda dengan zaman Skolastik. Untuk zaman seperti itu sy tdk terlalu yakin dengan perdebatan. Bisa jadi, zaman semacam itu perlu dijawab melalui eksperimen politik semacam Garibaldi atau Cromwell. Ketidakwarasan ditumpas setumpasnya. Dicongkel hingga akar-akarnya. Ya, itupun akan segera dijawab oleh kebajikan hidup ala Goenawan Mohamad: "lho, itukan namanya hasratmu sebagai objek ingin menjadi subjek. Lho, itukan namanya Angkara murka. Apakah situ ingin mencipta Padang Kurusetra di Republik ini?"
Pasti akan dibilang begitu. Pasti 100 persen. Lho kok begitu? Apa yang tidak di republik ini? Hasan Hanafi saja. Anda tahu kan Hanafi yang nulis berjilid-jilid itu? Dibawa ke Indonesia tak lain adalah untuk dihauli pemikirannya? Jadi perayaan atas pemikiran Hanafi di Indonesia dengan bikin FGD, klub baca, bahkan simposium, itu ya dalam rangka menghauli pemikirannya. Apa yang lainnya tidak? Hampir semuanya. Tiap elan Progresif sebuah pemikiran di Indonesia akan dilumerkan, digerogoti, dan diamputasi kaki-kakinya menjadi sekedar percakapan manja ala intelek-intelek galau yang takut dengan kebisingan sejarahnya. Ia butuh pegangan hidup, Ia butuh suatu hinterwelt, suatu ketenangan intelektual yang aduhai, yang menggiurkan bak anggur kebenaran yang entah. Yang selalu luput dari jangkauan.
Sehingga, apa akibatnya? Yang Progresif itu menjadi pincang, yang akhirnya kepincangan itu akan disimpulkan: inilah hasil akhir ukiran dialektis dan tegangan antara Jawa dan Barat, inilah kehebatan kita mendialogkan segalanya. Bukankah kita sudah mendialogkan semuanya. Jauh sebelum rasio komunikatif dicanangkan, kita adalah mbahnya per-dialog-an. Apa yang belum kita dialog-kan, coba hitung, coba kalkulasi? Perempuan-perempuan yang disilet vaginanya, yang dibakar jembutnya setelah diperkosa, yang diiris klitorisnya, yang dibelah buah dadanya, kayak tahun 65, di Aceh, di Papua, atau tahun 98, semua sudah kita dialogkan. Mereka sudah menerima kedurjanaan itu sebagai ladang amal dan ujian kebijaksanaan hidup mereka. Hore... Inilah kawan, wajah kebajikan kita yang paling agung, paling subtil dan paling purba. Bayangkan, ayo banyangkan! Terus bayangkan! Betapa agungnya kita!. Karena apa? Hanya melalui keikhlasannya menerima kedurjanaan itulah para perempuan korban itu dapat melipatgandakan amal baiknya kelak di sorga.
Jika Yunani punya demokrasi, maka kita punya dialog. Karena disitulah kebajikan dan kebenaran bersemayam. Dialog adalah koenjti! Harga mati! Dialog atau tidak sama sekali! Bahkan hanya di republik ini "jutaan manusia kecil (baca:rakyat) dimatekkan dibilang fiksi. Sekarang kalian kubur saja cerita itu, ayo dialog, karena apa? "Orang yang besar ampunannya besar derajatnya"
Atas semua ketidakwarasan di republik ini, yang seringkali diselimuti alasan-alasan teologis yang memuakkan dan bikin kepala makin bebal. Kritik akan dengan mudah disimpulkan sebagai anti A, anti B, eksponen A, eksponen B. Bahkan anda harus siap-siap dibilang anti agama meskipun sebenarnya anda shalat dan puasa. Karena bela Ulama=Bela Islam. Bela politik B=Bela Islam, bahkan bela Allah.
Baik, saya akan menghentikan komentar seputar kebajikan purba itu. (Tapi, repotnya, apa yang mau saya sampaikan juga masih terkait dengan kebajikan purba itu). Juga tak akan meladeni perdebatan yang mandeg seperti, "bukankah semen itu dibutuhkan rakyat? Lha kepalamu pecah, emang kalian bangun rumah ndak pake semen? Emang kalian kabeh, ndak suka dengan pembangunan? Anti NKRI? Wahai aktivis lingkungan, jangan romantiklah? Semua aktivitas ekonomi di muka bumi ini semuanya merusak kok. Seupil apapun itu. Jangankan aktivitas ekonomi, yang hasilnya juga kalian nikmati. Kalian nyuci sempak, peci, kutang pake deterjen, atau bangun pondasi rumah, apakah pada dirinya tidak merusak? Emang situ ndak pake telpon genggam waktu godain cewek? Bla... Bla... Bla...?" Pertanyaan-pertanyaan belum Akil baligh macam ini cukup menjadi tugasnya orang saleh macam Iqra Anugrah, Muhtar Habibi, atau yang agak brutal macam Andre Barahamin untuk menjawabnya. Eh, Jangan ding. Andre kan kafir. Kalau saya sendiri sudah ndak level jawab yang begituan. Maqam saya urusan yang ghaib-ghaib saja. Yang invisible, yang dunia seberang. Seperti meramal, apakah pemuda semacam Muhammad Azka Fahriza memang ditakdirkan ada jodohnya? Jangan-jangan jodohnya memang tidak pernah diciptakan di dunia ini. Bisa jadi kan? Kan Allah maha kuasa. Termasuk kuasa untuk tidak membikin pasangan seseorang. Ndak percaya, situ meragukan kekuassaan Allah? Jangan macem-macem ente. Bisa saya sate ente semua.
Tapi jujur, kritik macam itu cocoknya untuk mereka yang belum tahu, bahwa jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya sudah ada jauh sebelum penis mereka disunat dan belajar ngaceng. Jangan dikira saya guyon. Ini serius.
Jadi begini. Biar ndak mbulet. Wakapolres Rembang, bilang Musholla itu gardu. Ya hanya gardu. Saya sebagai santri jujur mangkel. Tahu mangkel? Jengkel! Wakapolres, tugas panjenengan itu mencari data dan fakta dari sebuah peristiwa. Bukan bikin novel?. Sudahlah bapak nggak bakal bisa nandingi mas Eka atau Gabito. Atau mau nandingi cerpennya Azka. Panjenengan lebih baik kembali ke khittahnya Polri. Musholla itu dulu dibangun dan diresmikan para kiai dengan istighosah dan sholawat Nabi bukan dengan Ndangdutan. Apa panjenengan mau bilang kalo para sesepuh, para kiai, santri kumpul kesitu sedang meresmikan gardu. Tentu tidak kan?
Ada yang komen. Halaaah cuman gubuk kayu ajak kok! Matamu picek! Kanjeng Sunan Walisongo dulu menyebarkan Islam juga dari gubuk seperti itu. Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari mendidik para kiai Ulama Nusantara juga dari gubuk semacam itu. Kalian pikir Islam dulu disebarkan lewat hotel dan WAG kayak model sekarang?
Itu yang menyembul di belakang bangunan kayu itu pengimaman atau tempat pemuda-pemudi main gitar?
Monggo pak Wakapolres. Njenengan usut. Jangan semuanya hendak dilumerkan. Itu juga tugasnya intelektuil pak, bukan tugas polisi. Itu tugasnya kaum pembuat FGD seperti saya ini pak? Apa iya, penjengan ndak tahu pak, kan punya Intel banyak? Apa ini hendak kita dialogkan juga pak? Apa boleh tidaknya pabrik Semen didirikan diatas pegunungan Karts perlu didialogkan juga pak? Ah, saya manut penjenengan sajalah pak. Saya takut dibilang pengikut GM pendendam nanti pak? Ngapunten lho pak nggeh? Damai di bumi damai di langit pak?[]
Roy Murtadho
0 Response to "Ternyata yang Dibakar Bukan Musholla tetapi Gardu"
Post a Comment