Demokrasi Kebencian

Dalam demokrasi di mana orang hanya mau mendengar kebenaran versinya atau kelompoknya sendiri seperti sekarang ini, maka debat kandidat sesungguhnya hanyalah aksesoris panggung politik. Sementara, di medsos, debat kandidat tak lebih sebagai bahan katarsis pelepasan sementara energi benci antar pendukung.

Ini seperti halnya adu mulut antara pendukung Real Madrid dan Barca tiap kali el classico usai digelar. Orang-orang yang memperdebatkan debat tak akan mempengaruhi hasil pertandingan, kecuali sekadar menuntaskan kegundahannya atas situasi pertandingan dengan bahasa-bahasa pemihakan total.

Sementara, di TPS, orang-orang tak peduli seberapa menawan argumen-argumen perdebatan yang pernah berlangsung. Pun tak banyak yang peduli seberapa anggunnya program-program yang dijanjikan. Sebagian besar akan memilih berdasarkan kemana arus kegundahan primordialismenya mengalir. Primordialisme, sesuatu yang tabu dibicarakan dan diangkat dalam perdebatan resmi, tetapi sesungguhnya bersemayam nyata di benak begitu banyak orang. Manusiawi.

Primordialisme ini bisa berdasarkan suku atau etnisitas, agama, kalangan atau kelompok pertemanan, ataupun primordialisme yang lahir dari sikap yang terlanjur sangat membenci terhadap pihak tertentu yang kemudian menuntunnya untuk berpihak penuh kepada pihak yang lain.

Dalam alam pikir primordial, hanya ada dua dunia, "kita dan mereka". Dalam pertautan yang antagonis dan dipenuhi manuver dan gesekan panas, regangan antara dunia "kita dan mereka" bisa melebar bertahun-tahun cahaya dalam bentuk kebencian. Pada situasi seperti itu, memilih berdasarkan akar ataupun basis identitas primordial, baik basis agama, etnis, pertemanan, pergaulan, ataupun primordialisme atas nama kebencian dan pemujaan, menjadi sandaran nyaman. Oleh karena itu, dengan kondisi ini, mencipta dan menyebar kebencian ataupun ketakutan menjadi lebih manjur dan strategis secara politis daripada membabar kritik dan program dengan seperangkat argumen yang rasional.

Namun, politik kebencian ini juga bagai pedang bermata dua. Selain manjur untuk menusuk lawan, juga rawan menusuk diri sendiri. Sebab, kebencian tak terjadi di ruang hampa. Dia saling membentuk. Setiap ujaran ataupun pertunjukan sikap kebencian, akan membangun dan memperkuat kebencian pihak yang lain. Artinya, basis dukungan kelompok lain juga boleh jadi akan meningkat karena kubu seberang dianggap terlalu beraroma pekat kebencian. Pun sebaliknya.

Kenyataannya, dalam pilkada kali ini, semua pihak sama-sama brutalnya dalam menghunus pedang kebencian. Jadi, siapapun nanti yang akan menang dalam Pilkada DKI, kelompok yang kalah tak berhak mempermasalahkan apapun alasannya. Sebab, mereka turut berkontribusi membesarkan lawannya dengan seperangkat kebencian yang mereka gunakan selama proses pilkada.

Sementara yang menang jangan berpikir bahwa mereka sudah meraih segala-galanya. Kebencian selalu meninggalkan residu. Siapapun yang nanti berkuasa di Jakarta, perlawanan tak akan pernah usai. Kritikan, nyinyiran, goncangan, hingga fitnah akan terus mengalir. Karena memang begitulah demokrasi kebencian berdialektika dan bekerja. Pemilu 2014 telah memberikan pelajaran berharga akan hal tersebut dalam tiga tahun terakhir. Pun begitu dengan Pemilu di Amerika Serikat.

Maka, sepenggal kalimat dari lagu berjudul "Breakdown" ini mungkin pas untuk dicamkan oleh para kandidat Cagub DKI dan pendukungnya, "Just because you're winning, don't mean you're the lucky ones..."[]

Mohamad Burhanudin

0 Response to "Demokrasi Kebencian"

Post a Comment