SBY

Akhir masa jabatan SBY yang pertama dan awal masa jabatannya yang kedua sebagai presiden, diwarnai hadirnya dua media sosial yang kelak akan jadi yang terbesar, Facebook dan Twitter. Pada saat yang bersamaan, secara berturut-turut muncul kasus-kasus politik hukum yang begitu heboh dan kontroversial, yang uniknya, semuanya menempatkan SBY sebagai sosok sentral dalam kasus-kasus tersebut.

Setidaknya ada enam kasus besar yang banyak diperbincangkan di medsos kala itu: kasus Anggoro-Anggodo yang menyebut nama RI 1, Kasus Antasari Azhar dan segala dugaan rekayasanya, kasus Bank Century, kasus Cicak Buaya-Markus-Susno Duaji, kasus Gayus Tambunan, dan kisruh korupsi Partai Demokrat.

Rentetan kasus yang saat itu muncul diduga sebagai harga yang harus ditebus SBY untuk mengamankan kekuasaan, membangun daya tawar dengan lawan politik, sekaligus menyingkirkan lawan politik potensial. Hasilnya, enam kasus tersebut berakhir secara kontroversial. Sejumlah orang dikorbankan. Penyelesaian dihibridasi dengan menyasar bukan pada orang-orang pengambil keputusan utama. Semuanya, bahkan, masih menggantung hingga rezim baru berkuasa.

Politik bagi-bagi kursi dan bagi-bagi kuasa, membuat kasus-kasus itu tak mampu menggoyang stabilitas kekuasaan politik SBY. Semuanya terdampar di lembaga hukum yang telah terkooptasi secara politik. Badai kritik publik di media sosial atas beragam kontroversi tersebut hanya menjadi angin lalu. Dan, SBY dan keluarganya pun gagah sentosa mengakhir masa jabatannya tanpa tersentuh.

Sekian lama berkuasa, rupanya membuat SBY tak punya cukup kesabaran untuk segera menggamitnya ulang. Ambisi membumbung begitu tinggi. Anak tertuanya dicalonkan dengan mengerahkan segenap sumber daya politik yang dimiliki. Di tengah arus dan suasana politik yang sesungguhnya sedang berpusar pada titik saling berkonsolidasi dan tawar menawar antar kekuatan dan elite, SBY mengambil jalan yang berbeda, melawan arus: konfrontatif.

Ego dan gengsi politiknya yang tinggi sebagai bekas orang nomor satu di Indonesia selama 10 tahun, membuatnya terlampau percaya diri. Alhasil, tanpa kekuasan konstitusional, tanpa otoritas atas penegak hukum dan militer, serta dengan popularitas yang sebagian telah berlalu, segala manuvernya justru membuatnya tereksklusi. Kesepian. Terpinggirkan, bahkan menjadi bulan-bulanan. Sayangnya, situasi tersebut tak cukup membuatnya berendah hati untuk membangun kompromi yang wajar. Gengsi dan ilusi sebagai bekas penguasa membuatnya tetap melawan, bahkan dengan cara yang sangat melankolik.

Kini, bahkan, barisan korban-korban masa lalu SBY itu menuntut balas. Sakit hati para korban politik itu bertemu dengan kekuasaan politik masa kini yang tengah berkepentingan mengeksklusi SBY. Tuntutan hukum balik yang pelik sebagai harga atas kekuasaannya di masa lalu menunggunya. Meski sebenarnya jalan hukum itu pasti akan panjang dan berpotensi mencipta begitu banyak kemungkinan, termasuk kompromi politik.

Di media sosial, SBY meratap, ada ketidakadilan yang sedang diarahkan kepadanya dan terhadap ambisi politik dirinya yang kini diemban putra pertamanya, Agus. Di media sosial ini pula, dulu, 6-8 tahun silam, kritik dan harapan publik agar SBY berlaku adil dan transparan atas kasus-kasus hukum yang kontroversial, hanya dijadikan angin lalu dan suara-suara tak berguna olehnya.

Kekuasaan politik tak pernah gratis. Kestabilannya selalu menyembunyikan sisi suram, yakni adanya orang-orang atau kelompok yang dijadikan tumbal, yang digantung di buritan agar lambung kapal tidak goyang.

Kini, tanpa kekuasaan atas kapal, kelompok dan pihak yang digantung itu menghunuskan pedang dendam kepada SBY. SBY lupa, dendam dan eksklusi politik adalah sejarah politik kita. Bahkan jauh sebelum Facebook dan Twitter ada. Dua istana maya tempat SBY membagikan gulananya.

Namun, logika dendam dan eksklusi politik ini, tak menutup kemungkinan, akan berlaku untuk penguasa berikutnya. Dari balik ratapan melankoliknya di medsos, cepat atau lambat, SBY pasti sangat "memahami" soal itu...[]

Mohamad Burhanudin 

 

0 Response to "SBY"

Post a Comment