Potret Perselingkuhan Agama dan Politik

“Fenomena perselingkuhan Agama dan Politik sebaiknya dimaknai sebagi sebuah relasi integralistik, simbiosis maupun sekularistik. Masing-masing harus dipandang sebagai bentuk yang saling melengkapi. Menghadapi perkembangan modernitas, perselingkuhan Agama dan Politikharus diartikulasikan sebagai upaya untuk selalu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dari berbagai aspeknya.”

Sudah banyak mungkin yang membahas tema atau judul di atas. Akan tetapi entah karena seksinya tema atau judul tersebut atau dikarenakan pula semakin panasnya suhu politik dan semakin meninggi tensinya sehingga membuat Judul atau tema di atas tetap menjadi bahasan yang up to date untuk terus disajikan ke permukaan dan menjadi “konsumsi” sehari-hari masyarakat kita selain nasi, terigu dan jagung. Gelombang berupa resonansi panas tersebut semakin menjadi ketika sakralitas dan kesucian agama yang bersifat samawi ikut ditarik dan didorong-dorong bermain di ranah politik. Tulisan ini sejujurnya memang dibuat dua hari menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 15 Februari 2017. Tidak kurang dari 101 daerah yang terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota akan menyelenggarakan hajat/pesta demokrasi dimaksud. Dan kontestasi tersebut diikuti tidak kurang dari 153 pasang calon. Akan tetapi tulisan ini tidak akan membahas tentang proses tentang kontestasi politik dimaksud. Tulisan lebih memfokuskan pada alur dan dampak yang begitu luar biasa sebagai imbas yang muncul dari kontestasi dimaksud. Pertanyaannya : mengapa menjadi luar biasa? Menjadi luar biasa dikarenakan dalam sejarah demokrasi kita selama ini, mungkin baru saat ini suhu dan resonansi panas politik secara transparan melibatkan agama di dalamnya.

Preposisi Perselingkuhan Agama dan Politik

Fenomena yang penulis kemukakan di atas bukan tanpa argumentasi yang rasional. Bahkan bukan saja rasional, tetapi bukti empirik akan begitu “vulgarnya” agama dibawa ke dalam putaran politik jelas terpampang di depan mata kita semua. Demonstrasi 411, demontrasi 212, dan terakhir demonstrasi 112, memperlihatkan secara nyata kepada kita semuanya betapa agama secara transparan dibawa ke ranah politik. Sangat terkesan agama seperti barang murah yang tidak memiliki kesucian dan harus senantiasa dijaga kesuciannya. Simbol-simbol dan atribut-atribut keagamaan yang diusung pada saat kegiatan tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa agama sudah masuk dalam situasi yang “emergency”. Ditambah lagi gerakan tersebut mengatasnamakan gerakan yang berbau-bau agama. GNPF-MUI dan Gerakan Bela Ulama, adalah nama dan simbol dibalik gerakan dimaksud. Belum lagi hadirnya tokoh-tokoh dan ulama-ulama besar yang turut mengawal sekaligus berorasi pada gerakan-gerakan dimaksud. Inilah illustrasi nyata yang semakin mempertegas keyakinan penulis, mengapa agama sudah ditarik untuk ikut bermain dalam domain politik. Kemudian pertanyaan yang akan mucul adalah: “dimana aspek politiknya?”. Sebenarnya pertanyaan ini tidak perlu untuk dideskripsikan. Mengapa? Karena semua kita tahu kronologis munculnya gerakan tersebut dimulai dari mana dan berakhir kepada apa dan siapa? Ya, apapun nama gerakan tersebut, yang pasti kita semua tahu akan seperti apa dan kepada siapa skenario tersebut bermuara. Singkatnya, gerakan tersebut rentan disusupi kepentingan dan aktor politik.

Melihat fenomena dan dinamika gerakan di atas, miris memang. Pada satu sisi, kita semua tentu sepakat bahwa melibatkan agama dalam kegiatan politik terbuka adalah tidak sehat, namun di sisi lain hal itu akan terus terjadi dan menjadi sebuah keniscayaan, karena memang akan banyak kaum-kaum yang tidak terdidik yang bisa diyakinkan dengan ayat-ayat kitab suci. Inilah yang penulis maksud dengan “perselingkuhan” tersebut. Dengan konotasi dan makna lain, kalau agama dan politik sudah berkolaborasi, maka mencegah “perselingkuhan” agama dan politik adalah menjadi sebuah pekerjaan yang sia sia dan hampa belaka. Perselingkuhan yang lebih hebat akan terjadi ketika politisi-politisi berjuang untuk memenangkan suatu perebutan kekuasaan. Walaupun perlu diakui juga bahwa pertentangan antar politisi dengan melibatkan agama tidak selamanya akan melibatkan agama yang berbeda.

Untuk mempertegas apa yang penulis kemukakan di atas, mungkin tidak salah kalau penulis menanalogikan Agama dan politik sebagai jenis kelamin. Maka agama adalah perempuan dan politik adalah laki laki. Analogi ini menjadi real karena sikap yang hadir nyata di depan kita, bagaimana politik kerap "memperkosa" agama dengan tujuan kepuasan atau kemenangan dalam sebuah pertarungan. Realitas ini semakin menjadi ketika eksistensi dan kesempurnaan agama yang seharusnya menjadi sumber segala aspek dan dimensi kehidupan manusia, justru diserahkan keberadaannya berdasarkan keputusan keputusan politik. Konsekwensi yang muncul tentu saja pada akhirnya mengarah kepada hadirnya politikus-politikus berbasis keagamaan yang bernaung dalam wadah organisasi organisasi keagamaan dan partai politik berbasis agama. Kehadiran mereka dipandang sebagai manifestasi nyata yang menjadikan agama menjadi basis perjuangannya.

Sebenarnya perselingkuhan antara agama dan politik saat ini menurut Kuntowijoyo menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi agama dan politik itu sendiri. Cibiran teori pedas yang pernah ditulis dan dipublikasikan oleh Kuntowijoyo, bahwa: agama  berdimensi banyak, sementara politik dalam frame demokrasi berdimensi tunggal yaitu dimensi rasionalitas. (Kuntowijoyo, “Agama Berdimensi Banyak, Politik Berdimensi Tunggal”, 1999). Ketika akan menjadikan agama sebagai alat politik, maka yang terjadi adalah reduksi besar-besaran atas makna agama itu sendiri, Kondisi dan situasi ini tentu saja akan memunculkan penafsiran dan kekhawatiran baru terhadap eksistensi agama. Pertanyaannya: penafisran dan kekhawatiran seperti apa yang akan muncul? Kajian atas jawaban pertanyaan ini tentu saja simpel, bahwa urusan politik adalah perkara yang rasional, sementara agama adalah urusan yang berorientasi dan kembali kepada wahyu. Dalam perspektif ini, Kuntowijoyo melihat perlunya keterlibatan seluruh ummat untuk berada pada garis terdepan dalam pembentukan politik agama yang rasional, sebab bila tidak, kekhawatiran yang muncul adalah manusia pada akhirnya hanya akan menjadi penumpang dan bukan menjadi pengemudi.

Ekspektasi Perselingkuhan Agama dan Politik

Perselingkuhan agama dan politik menjadi issue yang akan tetap menarik untuk selalu dibahas sampai kapan pun. Ada faktor lain yang menurut asumsi penulis menjadi sebab perselingkuhan tersebut terjadi, yaitu implementasi agama yang disfungsi. Menurut penulis, agama saat inisering digunakan sebagai alat  pendekatan yang bersifat konfrontatif. Hal tersebut akhirnya menimbulkan gejolak antarkelompok yang memiliki kepentingan dan agenda politik tertentu.Seharusnya, agama dipraktikkan dengan pendekatan yang promotif. Artinya, agama sebagai alat untuk menjaga kondusifitas politik. Dalam konteks ini, maka kemungkinan buruk yang terjadi adalah menjadikan agama sebagai komoditas politik. Perselingkuhan agama dan politik hanya mungkin diminimalisir dengan cara mempertegas posisi agama dan posisi politik. Term/Konsep berfikir yang dibangun adalah, ada pembedaan yang jelas yang  dilakukan agama. Pembedaan antara agama di satu sisi dengan politik dan persoalan-persoalan keduniaan di sisi lain. Di sinilah antara agama dan politik harus dipersepsikan bukan merupakan al-faṣl atau “pemisahan”, tetapi lebih pada al-tamyiz atau “pembedaan” yang berdampingan. Pemikiran penulis di atas, didasarkan pada pandangan yang dikemukan Bahtiar Effendy, bahwa agama tidak dan jangan diorientasikan untuk menentukan sebuah spesifikasi sistem politik tertentu bagi kaum tertentu yang beragama. (Bahtiar Effendy, Islam dan Negara).

Atau kalau pun perselingkuhan itu harus tetap terjadi, maka ada ekspektasi besar yang penulis dan kita semua harapkan, yaitu terjadinya perselingkuhan antara agama dan politik yang positif. Jika agama harus ditarik dalam bingkai politik, maka kita akan sepakat kalau perselingkuhan diantara keduanya dalam upaya menemukan sebuah tujuan besar yang harus dicapai oleh para ummat beragama. Dalam Perspektif Islam misalnya, tujuan besar tersebut yaitu: ri’asah syu’un al ummah (mewujudkan kesejahteraan umat). Dengan berpolitik, tentunya kita ikut serta dalam proses mewujudkan kesejahteraan umat. Dan mewujudkan kesejahteraan umatakan sempurna bila diakhiri dan dijalani melalui sektor politik. Itu mengapa Hasan Al Banna selalu menekankan kepada umat muslim bahwa tidak sempurna Islam seseorang, jika tidak menerima politik sebagai bagian dari kehidupannya. Politik adalah pintu akhir dan utama dalam proses 4 pilar dakwah di dunia yaitu, kaderisasi, sosial, akademik, dan politik.

Kalaupun ekpektasi perselingkuhan positif di atas sulit untuk dicapai, minimal  yang harus dperisiapkan menurut penulis adalah, pagar-pagar yang bisa membatasinya. Biarlah perselingkuhan itu tetap terjadi karena memang “dia” terpaksa dan dipaksa untuk terjadi. Yang terpenting perselingkuhan antara keduanya  harus bisa dilokalisir didalam wilayah masing-masing agama. Mungkin, selama laki laki dan perempuan masih sering berselingkuh, maka politik dan agama pasti akan berselingkuh juga.

Simpulan

Kesimpulan dari catatan singkat ini adalah Perselingkuhan agama dan politik merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, ibarat suami-istri atau antara aku dan kamu yang harus memperkuat satu sama lainnya (yasuddu ba’duhum ba’dhan). Di samping ilustrasi tersebut, perselingkuhan diantara keduanya juga diibaratkan dua sisi mata uang yang saling melekat satu sama lain. Dari sisi ideologis misalnya, agama dan politik merupakan dua wajah yang sifatnya sangat fundamental dalam konteks interaksi sosial umat manusia, sehingga hal ini menjadi bahan diskusi dan perdebatan di kalangan pakar politik dan agama. Begitu juga beberapa teori tentang agama dan politik telah dipaparkan oleh para ilmuwan sepanjang sejarah, karena kajiannya yang menarik sehingga teori tersebut semakin berkembang sampai saat ini. Bahkan di beberapa perguruan tinggi, disiplin ilmu politik dan agama seringkali dipadukan sehingga dengannya diharapkan adanya kombinasi yang harmonis tanpa harus memahami keduanya secara terpisah.[]

Buyung Syukron (Dosen IAIN Metro)

0 Response to "Potret Perselingkuhan Agama dan Politik"

Post a Comment