Bimabala

Waktu melintasi kota dengan jàlan-jalannya yang macet, aku bertemu dengan Bimabala. Ia dulu teman kelasku sewaktu di sekolah menengah. Kami beda kelas. Ia di kelas Bahasa, sedang Aku di kelas IPA. Tapi kami sering berjumpa di warung belakang sekolah ketika sama-sama membolos. Sudah sekian tahun Kami tak pernah jumpa.

Waktu itu aku sedang mencari rumah ibadah. Menelisik dari himpitan gedung-gedung pencakar langit, mal dan gudang-gudang mobil dan motor.

"Mau ke mana kau?" Aku menanya Bimabala.

"Aku mau berperang," jawabnya. Di tangannya kulihat sebuah gada besar, martil dan selembar kain bendera. Wajahnya merah dan beringas.

"Kau belum pensiun juga dari kegiatan tawuran," aku menanggapinya setengah bertanya setengah mengejek.

"Kali ini Aku punya alasan dan tujuan yang lebih mulia. Ini bukan tawuran. Ini perang." Ia menjawab tegas dan tampak tak menerima pernyataanku.

Aku tersenyum. "Baiklah," Aku mengiyakannya. Tapi sekaligus mencoba membujuknya. Kota sekarang sedang terbakar oleh hawa panas kebencian dan permusuhan. Tapi tidak jelas siapa melawan siapa. Tak terang tentang perkara APA. Yang nyata Bimabala menjadi bagian dari kobaran apinya.

"Aku sedang mencari rumah Tuhan, bisakah kau menunjukkan Dan mengantarkanku ke tempat itu?"

Bimabala terdiam. Ia jelas sedang tergesa. Medan tempur sedang menantikannya. Tapi mungkin mendengar nama Tuhan hatinya meleleh. "Aku juga tidak tahu, tapi mari kutemani untuk mencarinya."

Kami kemudian berjalan bersama mencari rumah ibadah. Memblasuk dari satu jalan ke jalan lain. Dari satu kampung ke kampung lain. Di bawah bulan yang temaram dan bau busuk sungai penuh sampah.

Kami tiba di sebuah rumah ibadah yang besar dan megah. Langit-langit atapnya tinggi, sehingga angin masuk dengan mudah dan ruangan terasa adem. Warna catnya putih tulang yang cerah. Tapi kemegahannya tetap tak bisa mengalahkan gedung-gedung, gudang-gudang, dan mal-mal yang mengitarinya.

Rumah ibadah sesak degan jemaat. Mereka khusyuk menghadap Tuhan. Memuja-muji Nama Tuhan dan berdoa. Gita ritual ini menyentuh sanubari.

Di Serambi penuh dengan minuman dan makanan. Mereka yang istirahat bisa sambil wedangan atau rebahan. Atau mengobrol saja. Terasa sekali suasana tenang, santai dan damai.

Aku pandangi Bimabala. Mungkin ia akan segera melanjutkan perjalananan. Berperang demi suatu kemuliaan. Mempertaruhkan nyawa untuk sebuah kehormatan. Tapi tidak. Bimabala justru mengambil tempat untuk sembahyang. Ia menyelinap ke tengah-tengah jemaat.

Malam lewat lebih setengah. Aku harus pergi. Kulihat Bimabala masih khusyuk. Tenggelam dalam ibadahnya. Aku rasa Aku tak perlu Pamit padanya, karena itu hanya akan mengganggunya.

Dalam hatiku terbersit rasa senang karena Aku telah membelokkan hatinya yang semula hendak berperang kini duduk tenang memuji Tuhan.

Langit terang. Udara nyaman. Aku pulang dengan rasa kebanggaan.

••••

Sebulan kemudian aku lewat lagi daerah ini. Aku jadi ingat rumah ibadah yang laksana oase di tengah himpunan panas dan ganas gedung-gedung pencakar langit. Tentu saja Aku ingin singgah lagi.

Tapi rumah ibadah itu sepi seperti pekuburan. Tak seorang jemaat terlihat. Tak sebait doa pun dilantunkan. Tak terdengar ayat-ayat didaraskan. Sebulan seperti puluhan abad. Perubahan seperti deru angin yang terbang begitu cepat.

"Apa yang terjadi? Kemana mereka?"

"Mereka pergi berperang!"

Seorang tua renta yang yang sedari tadi duduk diam di depan memberikan jawaban. Matanya sayu dan suaranya tampak berat.

"Seorang lelaki berwajah rembulan dan bermulut API berhasil membujuk mereka untuk lebih merasa benar dengan pergi berperang."

Di Selatan Kota kulihat kobaran api menyala. Aku jadi ingat Bimabala.

Penulis: Hairus Salim

1 Response to "Bimabala"

  1. This post presents clear idea in support of the new users of blogging,
    that truly how to do running a blog.

    ReplyDelete