Sejarah Di Tengah Modernitas

Politisi senior itu akhirnya turun gunung. Media sosial tampaknya tak cukup lagi baginya untuk menumpahkan kekesalannya terhadap program MMC yang akan menghancurkan sebuah bangunan bersejarah yakni rumah tua bekas Kantor Onderdistrik /Wedana Metro.

Mantan Ketua DPRD, calon wakil walikota dan calon walikota ini akhirnya angkat suara dan tak segan mengkritik pemerintah dan kolega-koleganya di DPRD dulu. Terlepas dari motif dan motivasinya tentu semangatnya untuk menyelamatkan bangunan bersejarah layak diapresiasi meski pertanyaaan kritisnya adalah mengapa baru dilakukan sekarang.

Menurutnya Gedung Bersejarah Ex Kantor Onderdistrik /Wedana Metro tersebut telah dipakai sejak tahun 1937 ini adalah pusat pemerintahan Ex.Onderdistric Metro yang berwilayah dari bedeng 1 Trimurjo sd bedeng 67 Sekampung. Ia mengingatkan bahwa HUT Kota Metro 9 Juni 1937 yang sudah di Perdakan adalah hasil pemikiran dari rumah tersebut. Tak lupa ia mengingatkan bahwa penandatanganan anslaag pembagian tanah hak milik Landreform kepada rakyat Kolonisasi pasca Rapat Dewan Marga Nuban dan Unyi tgl 17 juni 1937 di Sukadana dilaksanakan di Gedung tersebut.

Kota ini memang sedang “mencari identitas” ditengah desakan kemajuan kota dan karakternya. Modernitas masih dinilai secara sempit dan diukur dari bangunan-bangunan megah sebagai simbol kemajuan. Tapi apakah memang selalu seperti itu, mari kita lihat kota-kota yang sudah terlanjur modern di dunia. Kita bisa belajar dari kota-kota di Eropa yang terus mempertahankan bentuknya dan menjadi destinasi wisata.

Kegagalan mengelola sejarah dan potensi kota membawa pada pikiran pragmatis dengan mendirikan gedung-gedung baru yang diharapkan akan menghasilkan pemasukan bagi daerah. Kemiskinan imajinasi membang cenderung membuat orang bertindak praktis.

Situasi ini mengingatkan kita pada dimana beberapa tahun lalu Komunitas peduli cagar budaya di Lampung yakni Lampung Heritage yang menggalang gerakan dukungan Save Daswati. Daswati sendri merupakan sebuah rumah tua yang menjadi saksi berdirinya Provinsi Lampung pada 1963. Rumah Daswati seluas 70×20 meter terletal di Jalan Tulang Bawang Nomor 11 Enggal, Bandar Lampung

Sebuah berita di situs Tempo berjudul Temukan Tradisi Aborigin di Tengah Modernisasi Kota Perth beberapa hari lalu menceritakan bagaimana pemerintah Australia menghormati masyarakat adat Aborigin sebagai budaya berkelanjutan tertua dalam sejarah manusia. Itulah sebabnya, peninggalan suku Aborigin masih bisa ditemukan dan terpelihara dengan baik.

Sebelumnya Perdana Menteri Australia Kevin Rudd menyampaikan permintaan maaf secara resmi kepada penduduk pribumi Aborigin atas kebijakan "generasi yang tercuri" (stolen generations) yang diakuinya sebagai sebuah kekeliruan masa lalu.

Pidato di ruang Parlemen di Canberra tersebut disampaikan di hadapan Parlemen Australia dan warga Aborigin. Pidato itu menyebut masa depan mencakup semua warga Australia serta masyarakat adat dan nonadat. Semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses kesehatan, prestasi pendidikan, juga ekonomi yang baik.

Di sekitar Perth, berjarak sekitar tiga jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat atau sekitar 250 kilometer, kita akan menemukan Pinnacles Desert di Nambung National Park. Arkeolog mengatakan ribuan tahun lalu, tempat ini pernah menjadi permukiman suku Aborigin.Pemandangan ini jelas sangat berbeda dengan Perth yang identik dengan keindahan kota, sungai, juga pantai.

Kembali ke tanah air kita bisa belajar dari Jakarta yang pada 16 April 2017 lalu memulai program revitalisasi kota tua mengaktifkan kembali sejumlah gedung tua dan kosong melalui konsorsium Kota Tua Jakarta.Pemprov Jakarta berharap lewat program ini kawasan Kota Tua menjadi kawasan wisata yang ikonik di Indonesia sekaligus kawasan kreatif bagi bagi anak muda memiliki untuk memamerkan kreatifitasnya.

Apakah pemerintah dan para legislator kita akan mulai berpikir secara serius bagaimana mengembangkan kota ini sebagai kota pendidikan, kota wisata keluarga atau sekedar menjadikan kota ini tak lebih dari sekedar mesin uang. Apakah sejarah sebagai identitas akan mengalah pada deru modernitas dan pembangunan, layak kita tunggu.

Penulis: Oki Hajiansyah Wahab

0 Response to "Sejarah Di Tengah Modernitas"

Post a Comment