Darurat Bullying.
Monday, August 21, 2017
1 Comment
Jika kita tidak lagi kaget, permisif, dan merasa biasa-biasa saja, ketika mendengar kisah atau aduan anak kita bahwa dia dijauhi teman-temannya, ditakut-takuti, ditempeli tulisan 'nenek lampir' ‘aku orang gila’ ‘aku alumni rumah saki jiwa’ di baju belakang, diejek karena keadaan fisik [gendut, kurus, kecil, kriting, item, dekil], atau bahkan anak kita mengalami agresi fisik, baik untuk lucu-lucuan ataupun serius-an, maka bersiaplah untuk menanggung dampak buruk jangka panjang yang kadang tak disadari sebagai akibat dari bullying. Dia kan cuma bercanda, dia kan cuma pengen nggodain.....' sikap permisif yang kita tunjukkan sama halnya kita telah melakukan pembiaran terhadap prilaku bullying. Menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa saja, 'just boys being boys', 'namanya juga anak-anak'.
Bullying bisa didefinisikan sebagai tindakan negatif berupa kekerasan fisik atau verbal yang dilakukan secara berulang kepada seseorang yang (cenderung) lebih lemah sehingga menyebabkan ketidaknyamanan. Aktivitas yang berbau kekerasan ini dilakukan oleh pelaku tidak selalu bertujuan untuk menyakiti, namun berdampak pada ketidaknyamanan dan perasaan tidak senang dari korban. Dalam situasi bullying ini kekuatan antarpelaku dan korban cenderung tidak imbang.
Bentuk-bentuk tindakan bullying sangat komplek, mulai dari bullying fisik yang sangat mudah diidentifikasi karena dampaknya bisa dilihat secara kasat mata, seperti memukul, menendang, menjambak, merusak barang-barang korban termasuk juga tindakan pengambilan hak milik secara paksa. Bullying verbal ragamnya bermacam-macam dan relatif halus karena sasarannya adalah mental. Tindakan mengancam, mengintimidasi, mempermalukan, meneriaki, mengejek, memberi julukan (labeling) yang tidak baik, atau juga menyebarkan berita buruk alias gosip adalah bagian dari bullying verbal yang dampaknya menghujam sisi psikologi korban. Bullying dengan bahasa tubuh merendahkan mengejek dengan ekspresi wajah pun kaprah terjadi. Kategori lain dari bullying yang menjadikan organ atau prilaku seksual juga banyak terjadi dengan menyentuh organ seksual, membincang alat kelamin dengan tujuan mengolok-olok dan mempermalukan.
Hasil riset menunjukkan bahwa satu dari tiga anak mengaku mengalami bullying, baik di sekolah, di rumah, juga di media online. Begitu juga sebaliknya, satu dari tiga anak mengaku pernah melakukan tindakan bullying pada kawannya (Andri Priyatna: 2010). Artinya, bullying menjadi sesuatu yang common alias lumrah terjadi. Data dari KPAI tahun 2016, dalam 3 tahun 2014-2016 terjadi penurunan angka pada kuantitas jumlah kekerasan terhadap anak yang dilaporkan dari 159-154-81, namun sayangnya ada peningkatan jumlah anak pelaku bullying dari 67-93-93. Persoalannya bukan pada jumlah korban yang dilaporkan, karena data kekerasan yang tertampilkan ibarat fenomena gunung es, bagian yang tampak adalah bagian kecil dari fenomena gunung es dan bagian dasar laut di bawah permukaan yang tampak bisa jadi jauh lebih besar. Pembiaran satu korban bullying adalah penistaan terhadap kedirian manusia.
Depresi, murung, cemas, tidak percaya diri, putus asa, dan sangat mungkin berpeluang pada pelepasan tindakan kekerasan yang berulang (circle of violence), adalah beberapa dampak buruk dari prilaku bullying. Dampak ini tidak hanya bagi korban, pelaku dan juga saksi bullying bisa juga menanggung dampak pasif prilaku buruk ini. Dari sisi korban jelas dia menjadi sangat tersakiti atas prilaku bullying apapun bentuknya. Sementara dari pelaku, sejatinya dia tidak selalu berada di atas angin karena telah menyakiti orang lain, dampak buruk sebagai trouble maker pun menjadikannya mengalami hambatan dalam relasi sosial yang bisa jadi dijauhi, dikucilkan, dan agresif. Saksi bullying pun bisa merasakan marah, traumatic, seperti halnya yang dialami korban. Bahkan bisa jadi dampaknya akan jauh lebih parah dari korban karena kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan dirinya akan menjadi korban.
Sekolah adalah medan yang sangat terbuka terjadinya prilaku bullying. Karena sekolah menjadi medan interaksi antarteman sebaya dan medan ekspresi anak-anak dari pengetahuan dan pengalaman yang dia dapatkan dari berbagai sumber, baik dari rumah, lingkungan sekitar, televisi, maupun media online yang tak lagi memiliki filter penyaring kelayakan batas usia.
Sementara di rumah menjadi tempat yang sangat 'tertutup' terjadinya praktik bullying. 'Tertutup' karena bullying terjadi tanpa disadari, terbungkus dalam frame pengasuhan intimidatif.
Kita sepakat bahwa bullying bukan sekedar persoalan personal, tapi ini adalah problem sosial atau bahkan menjadi bagian dari darurat kekerasan anak. Bahkan KPAI menjadikannya sebagai prioritas penangan secara serius setelah kasus narkoba anak. Bullying tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengatakan stop pada pelaku juga mengatakan maafkan temanmu pada korban. Harus ada jaminan bahwa bullying tidak akan terulang, sekali lagi bullying cenderung terjadi berulang karena ada pembiaran dan sikap permisif lingkungan. Keluarga (orang tua dan saudara) bersama pihak sekolah (guru dan perangkat aturan) bersinergi untuk melakukan kampanye stop-bullying, agar generasi kita tak menjadi generasi yang rapuh, rendah diri, pendek harapan, dan hampa menatap masa depan karena keputus-asaan. Jadikan rumah dan sekolah menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi anak-anak. (Kalau anaknya di pondok seperti saya---hiks hiks hiks---, pastikan pondok menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk tumbuh kembangnya, siapkan mental anak untuk memiliki ketahanan dan ketangguhan untuk melawan bullying). Ternyata, lagi-lagi keluarga menjadi basis pembentukan karakter anak melalui pola pengasuhan. Sudah waktunya orang tua (dalam hal ini ibu-bapak, mama dan papa, umi dan abi, dengan huruf tebal) harus menjadi role model pembentukan karakter anak. Karena sesungguhnya orang tua adalah contoh terbaik bagi anak-anaknya. Sekolah dan lingkungan pergaulan pada gilirannya adalah tempat persemaian basic character anak yang tertanam dari keluarga.
Terakhir, jika anak anda, di pagi hari tiba-tiba sering merasa sakit kepala tanpa ada indikasi sakit secara fisik dan enggan ke sekolah tapi tiba-tiba menjadi riang dan baik-baik saja saat lewat jam berangkat sekolah, bisa jadi dia adalah korban bullying di sekolah. Ini adalah salah satu dari ‘penampakan’ korban bullying yang dalam bahasa kawan-kawan psikologi dinamakan simptom psikosomatik (semoga tidak salah sebut). Dan anak anda sedang menunjukkan simptom-simptom depresif akibat prilaku bullying. So, kenali, identifikasi, dan beri solusi.
#StopBullying
#SaveChild
#SiapkanGenerasiTangguh
Penulis: Mufliha Wijayanti
Bullying bisa didefinisikan sebagai tindakan negatif berupa kekerasan fisik atau verbal yang dilakukan secara berulang kepada seseorang yang (cenderung) lebih lemah sehingga menyebabkan ketidaknyamanan. Aktivitas yang berbau kekerasan ini dilakukan oleh pelaku tidak selalu bertujuan untuk menyakiti, namun berdampak pada ketidaknyamanan dan perasaan tidak senang dari korban. Dalam situasi bullying ini kekuatan antarpelaku dan korban cenderung tidak imbang.
Bentuk-bentuk tindakan bullying sangat komplek, mulai dari bullying fisik yang sangat mudah diidentifikasi karena dampaknya bisa dilihat secara kasat mata, seperti memukul, menendang, menjambak, merusak barang-barang korban termasuk juga tindakan pengambilan hak milik secara paksa. Bullying verbal ragamnya bermacam-macam dan relatif halus karena sasarannya adalah mental. Tindakan mengancam, mengintimidasi, mempermalukan, meneriaki, mengejek, memberi julukan (labeling) yang tidak baik, atau juga menyebarkan berita buruk alias gosip adalah bagian dari bullying verbal yang dampaknya menghujam sisi psikologi korban. Bullying dengan bahasa tubuh merendahkan mengejek dengan ekspresi wajah pun kaprah terjadi. Kategori lain dari bullying yang menjadikan organ atau prilaku seksual juga banyak terjadi dengan menyentuh organ seksual, membincang alat kelamin dengan tujuan mengolok-olok dan mempermalukan.
Hasil riset menunjukkan bahwa satu dari tiga anak mengaku mengalami bullying, baik di sekolah, di rumah, juga di media online. Begitu juga sebaliknya, satu dari tiga anak mengaku pernah melakukan tindakan bullying pada kawannya (Andri Priyatna: 2010). Artinya, bullying menjadi sesuatu yang common alias lumrah terjadi. Data dari KPAI tahun 2016, dalam 3 tahun 2014-2016 terjadi penurunan angka pada kuantitas jumlah kekerasan terhadap anak yang dilaporkan dari 159-154-81, namun sayangnya ada peningkatan jumlah anak pelaku bullying dari 67-93-93. Persoalannya bukan pada jumlah korban yang dilaporkan, karena data kekerasan yang tertampilkan ibarat fenomena gunung es, bagian yang tampak adalah bagian kecil dari fenomena gunung es dan bagian dasar laut di bawah permukaan yang tampak bisa jadi jauh lebih besar. Pembiaran satu korban bullying adalah penistaan terhadap kedirian manusia.
Depresi, murung, cemas, tidak percaya diri, putus asa, dan sangat mungkin berpeluang pada pelepasan tindakan kekerasan yang berulang (circle of violence), adalah beberapa dampak buruk dari prilaku bullying. Dampak ini tidak hanya bagi korban, pelaku dan juga saksi bullying bisa juga menanggung dampak pasif prilaku buruk ini. Dari sisi korban jelas dia menjadi sangat tersakiti atas prilaku bullying apapun bentuknya. Sementara dari pelaku, sejatinya dia tidak selalu berada di atas angin karena telah menyakiti orang lain, dampak buruk sebagai trouble maker pun menjadikannya mengalami hambatan dalam relasi sosial yang bisa jadi dijauhi, dikucilkan, dan agresif. Saksi bullying pun bisa merasakan marah, traumatic, seperti halnya yang dialami korban. Bahkan bisa jadi dampaknya akan jauh lebih parah dari korban karena kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan dirinya akan menjadi korban.
Sekolah adalah medan yang sangat terbuka terjadinya prilaku bullying. Karena sekolah menjadi medan interaksi antarteman sebaya dan medan ekspresi anak-anak dari pengetahuan dan pengalaman yang dia dapatkan dari berbagai sumber, baik dari rumah, lingkungan sekitar, televisi, maupun media online yang tak lagi memiliki filter penyaring kelayakan batas usia.
Sementara di rumah menjadi tempat yang sangat 'tertutup' terjadinya praktik bullying. 'Tertutup' karena bullying terjadi tanpa disadari, terbungkus dalam frame pengasuhan intimidatif.
Kita sepakat bahwa bullying bukan sekedar persoalan personal, tapi ini adalah problem sosial atau bahkan menjadi bagian dari darurat kekerasan anak. Bahkan KPAI menjadikannya sebagai prioritas penangan secara serius setelah kasus narkoba anak. Bullying tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengatakan stop pada pelaku juga mengatakan maafkan temanmu pada korban. Harus ada jaminan bahwa bullying tidak akan terulang, sekali lagi bullying cenderung terjadi berulang karena ada pembiaran dan sikap permisif lingkungan. Keluarga (orang tua dan saudara) bersama pihak sekolah (guru dan perangkat aturan) bersinergi untuk melakukan kampanye stop-bullying, agar generasi kita tak menjadi generasi yang rapuh, rendah diri, pendek harapan, dan hampa menatap masa depan karena keputus-asaan. Jadikan rumah dan sekolah menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi anak-anak. (Kalau anaknya di pondok seperti saya---hiks hiks hiks---, pastikan pondok menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk tumbuh kembangnya, siapkan mental anak untuk memiliki ketahanan dan ketangguhan untuk melawan bullying). Ternyata, lagi-lagi keluarga menjadi basis pembentukan karakter anak melalui pola pengasuhan. Sudah waktunya orang tua (dalam hal ini ibu-bapak, mama dan papa, umi dan abi, dengan huruf tebal) harus menjadi role model pembentukan karakter anak. Karena sesungguhnya orang tua adalah contoh terbaik bagi anak-anaknya. Sekolah dan lingkungan pergaulan pada gilirannya adalah tempat persemaian basic character anak yang tertanam dari keluarga.
Terakhir, jika anak anda, di pagi hari tiba-tiba sering merasa sakit kepala tanpa ada indikasi sakit secara fisik dan enggan ke sekolah tapi tiba-tiba menjadi riang dan baik-baik saja saat lewat jam berangkat sekolah, bisa jadi dia adalah korban bullying di sekolah. Ini adalah salah satu dari ‘penampakan’ korban bullying yang dalam bahasa kawan-kawan psikologi dinamakan simptom psikosomatik (semoga tidak salah sebut). Dan anak anda sedang menunjukkan simptom-simptom depresif akibat prilaku bullying. So, kenali, identifikasi, dan beri solusi.
#StopBullying
#SaveChild
#SiapkanGenerasiTangguh
Penulis: Mufliha Wijayanti
Lalu solusi yang ditawarkan jika ternyata anak kita korban bullying itu bagaimana?
ReplyDelete