Hukum Adat


A.      BENTUK HUKUM ADAT
Bentuk-bentuk hukum adat ada dua yaitu yang tertulis dan yang tercatat. Hukum adat mempunyai bentuk yang berbeda dengan bentuk hukum dari negara-negara modern. Oleh karena itu kata tertulis diganti dengan tercatat karena memang ada beberapa bagian dari hukum adt di indonesia ini dicatat dalam daun lontar, atau kitab-kitab raja dan sebagainya. Seperti awing-awing di bali di tulis dalam daun lontar atau dalam laporan-laporan oleh para pengkaji hukum.kitab aman gappa yaitu kitab hukum pelayaran pada masyarakat goa di sulawesi selatan. Kitab pepakem cirebon di kesultanan cirebon atau sumbur cahaya di lampung-sumatera selatan.

Menurut Kusumadi Pudjosewo bahwa aturan-aturan yang mengatur tingkah laku manusia itu adalah adat, tetapi dari aturan tingkah laku itu adapula yang hukum. Menurut beliau bahwa bentuk hukum adat itu dapat dilihat dari :
Ø  Atura: Aturan ini bersifat normative dan oleh karena itu bersifat idealis, tetapi bukan uropis karena dapat diterapkan.
Ø  Ditentukan, dilaksanakan dipertahankan dan dilestarikan oleh badan-badan atau orang-orang tertentu dalm lingkungan kewenangannya, yaitu para fungsionaris hukum, penegak hukum, petugas yang berwenang , yang berwajib, dan dukungan anggota masyarakat.
Ø  Denagn cara-cara tertentu: baik dengan cara kosensus, pendekatan kekeluargaan, paksaan bila diperukan.
Ø  Dengan akibat-akibat tertentu: akibat langsung seperti diabaikan, tidak dihiraukan, denda, sanksi yang disebut konsekuensi hukum.
Pandangan Kusmadi Pujosewojo ini kiranya tidak jauh berbeda dengan pandangan Ter haar dengan ajaran keputusannya atau besslissingenleer. Dengan demikian hukum dapat diketahui dari bentuknya yang formal itu yaitu ada norma, dibuat oleh lembaga yang berwenang dengan cara-cara tertentu  dan akibat tertentu pula. Jadi hukum adat dapa dilihat dari bentuk putusan-putusan para petugas hukum, penguasa atau yang berwajib.
Sedangkan menurut Surayo Wignjorodipo ad tiga betuk atau wujud hukum adat yaitu:
1.      Tidak tertulis atau ius non scriptum, bentuk ini merupakan bentuk ini merupakan bentuk yang terbesar.
2.      Tertulis atau ius scriptum, hanya sebagian keil saja misalnya titiswara dan peswara yang dimuat dalam awing-awing di Bali, Ammana gappa yaitu hukum pelayaran pada masyarakat bugis dan goa di sulawesi selatan, pepakem cirebon di kesultanan cirebon, dan simbor cahaya di lampung, atau sarakarta yang dimuat dalam pepatah adat atau seperti dalam gurindam 12 oleh raja Ali haji di Aceh atau pranata-pranata di jawa.
3.      Uraian-urain hukum secara tertulis lazimnya uraian-uraian ini adalah merupakan hasil kajian para sarjana hukum yang telah di publikasikan.

B.     SIFAT HUKUM ADAT
Berbeda dengan hukum yang  berbentuk undang-undang yang lebih statis maka hukum adat lebih bersifat dinamis. Kelambanan perkembangnan atau kelemahan sifat dinmis undang-undang juga disebabkan oleh sejarah yang pelik, sebab undang-undang itu merupakan kosensus politik. Berbeda dengan undang-undang hukum adat sangat dinamis. Menurut Supomo hukum adat berkembang terus menerus sepanjang waktu seperti hidup itu sendiri. Van vollenhoven mengatakan bahwa hukum adat pada waktu yang lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukan perkembangan dan maju terus, keputusan keputusan adat menjadi hukum adat.  Suatu contoh di Bali pada zaman dahulu jika seorang brahmana meninggal maka salah satu pembantunya harus dikuburkan pula bersama jenazah tuanya itu. Tetapi pada saat ini kebiasaan seperti itu telah ditinggalkan dan hukumanya tidak seketat dahulu, bahkan hampir punah. Hukum adat telah mengalami perubahhan yang sangat luar biasa, terutama dalam pengenaan sanksi hukumannya.
            Perkembangan hukum adat sejalan dengan perkembangan masyarakat pendukung nya. Secara sosilogis bahwa hukum adat sebagai volkgeeist atau geestreectuctuur selalu mengikuti kebutuhan masyarakat secara nyata. Perkembangan itu tidak saja secara internal tetapi ada juga pasokan eksternal secara fungsional (jika itu diterima)  dengan masuknya hukum-hukum asing seperti hukum agama, hukum kolonial atau hukum adtat masyarakat lainya ketika terjadi interaksi dalam lalulintas hukum sehingga tertjadi assimilasi, integrasi baik melalui metode peniruan atau karena pembelajaran bahkan melalui paksaan atau penjajahan. Itu semua yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan hukum adat.
          Menurut Djojodigoeno sifat hukum adat iti statis-dinamis artinya hukum adat itu memiliki sifat yang khas yakni monodualisme, statis sekaligus dinamis, dinamis dan platis/elastis. Statis karena hu kum adat itu bertujuan menuju tujuan ‘tata’ yakni keteraturan , dinamis karena mengikuti perkembangan masyarakat, selalu beralih  dari suatu keadaan atau situasi kekondisi atau situasi yang lain kearah kedewasaan/kemapanan dan harmoni.  Elastis/plastis artinya hukum adat dapat menyesuaikan diri dengan zaman atau situasi tetentu atau dengan kata lain berkembang seseuai dengan kebutuhan masyarakat.
C.      LAHIRNYA HUKUM ADAT
          Van Volenheven  berpendapat bahwa untuk menentukan sejak kapan hukum adat itu lahir maka tidak dapat di cari dengan sebuah teori tetapi berdasarkan kenyataan. Dari pandangan ini dapat dikatakan sudah cukup dalam kenyataan suatu norma hukum adat ditaati oleh anggota masyarakat, maka hukum adat itu sudah ada. Van Volenhoven berpandangan bahwa hukum adat itu bersumber pada kesadaran hukum masyarakat. Surojo Wignojodipuro menilai bahwa pandangan Van volenhoven ini sudah memenuhi dua unsur hukum adt yaitu unsur pskhologi dan kenyataan. Unsur pskhologis artinya terdapat keyakinan pada anggota masyarakat bahwa norma hukum adat di makdsud memiliki kekuatan hukum yaitu kekuatan memaksa sehingga angota masyarakat itu tidak memiliki kemampuan ukntuk menolak. Mereka tunduk pd hukum adat itu baik karena wibawa huku adaat itu dan terutama kesadaran  hukum masyarakat itu untukataan tunduk dan menaatinya. Unsur kenyataan artinya norma hukum itu dalam keadaan yang sama selalun di indahkan dan ditaati  oleh anggota masyarakat serta diberlakukukan oleh petugas hukum. Teori Van Volenhoven ini disebut hukum kenyataan. Secara sosiologis hukm adat itu lahir dari kebutuhan masyarakat akan ketertiban, keteraturan dan harmoni. Secara antropologis hukum adat lahir oleh karena memang hukum adt itu adalah hasil kontruksi budaya yang dibngun dan dihargai seperti mereka menghargai diri dan komunitas mereka.
          Jika menurut pandangan Ter Haar bahwa hukum adat yang berlaku hanya dapat diketahui dari  penetapan atau keputusan petugas hukum seperti kepala adat, hakim, rapat adat, dsb. Yang dinyatakan didalam atau diluar persengketaan. Dari pandangannya itu bahwa Ter Haar telah melahirkan teori keputusan, dari keputusan-keputusan kepala adat atau petugas hukum saat penetapan itu adlah eksistensial moment (saat lahirnya hukum). Sesungguhya ada perbedaan pandangan antara Van Volenhoven dan Ter Har mengenai kapan hukum adat itu ada , namun penulis cukup mencantumkan dua pandangan tersebut dan selebihnya dipelajari sendiri.
          Jika seseorang mengkaji dan mempelajari secara, mendalam hukum adat dengan pendekatan sosio-kultural secara emik-etik dari pandangan pendukung hukum adat maka ia akan memahami secara holistic –intergrate artinya utuh menyeluruh. Disitulah ia akan tahu bahwa ternyata bahwa hukum adat itu sangat dinamis, mengikuti perubahan waktu dan tempat. Perlu dipahami pula , bahwa kekuatan mengikat hukum adat bukan hanya terletak pada bentuknya yang tertulis atau penetapan petugas hukum atau karena akibat hukum. Penetapan petugas hukum sebagaimana diteorikan oleh Ter Haar atau Kusumadi Pudjosewo secara formil memang mengandung aturan hukum, akan tetapi kekuatan mengikat hukum tidak semata-mata  terletak pada bentuknya yang formal itu, melainkan terletak pada kekuatan mengikatnya secara materiel. Sebaliknya jika kekuatan hukum yang dibuat oleh petugas hukum itu tidak ditaati oleh masyarakat , maka kekuatan mengikatnya secara materiel tidak ada atau lemah.
          Menurut Kusumadi pudjosewo inilah yang dimaksud terbal tipisnya hukum adat itu. Tebal jika aturan itu ditetapkan dipertahankan oleh petugas hukum serta ditaati oleh mereka yang dikenai hukum yaitu anggota masyarakat atau sebaliknya  ditetapkan dan dipertahankan oleh petugas tetapi tidak ditatai oleh anggota masyarakat hukum adat itu maka hukum adat itu menipis. Tetapi jika sebaliknya anggota masyarakat mempertahankan aturan-aturan hukum adat itu sedangkan para petugas hukum berupaya menghilangkanya maka secara materiel hukum adat itu memiliki kekuatan mengikat sedangkan secara formal tidak memiliki kekuatan mengikat ia sedang mengalami sifatnya menipis. Juga Logemann sependapat dengan Van Volenhoven ia mengatakan bahwa norma-norma hukum adat yang hidup adalah norma-norma pergaulan hidup bersama yaitu aturan aturan tingkh laku yang di taati  oleh segenap warga pergaulan masyarakat. Bila ternyata ada suatu norma yang berlaku norma itu tentunya mempunyai sanksi yaitu sanksi apapun, dari yang paling ringan, kompleks sampai dengan yang terberat. Logemann memandangnya dari sudut pandang kenyataan bahwa jika aturan norma itu ditaati oleh setiap warga masyarakat karena ia mempunyai sanksi sekalipun belum pernah dilakukan penetapan oleh petugas hukum karena tidak dipersoalkan maka norma yang demikian itu adalah norma hukum.

D.    KEKUTAN BERLAKUNYA HUKUM ADAT
         Kekuatan berlakunya suatu hukum  berasal dari teori hukum eropa yang dalam bahas jerman disebut geltung atau dalam bahas belanda disebut geldings. Kedua kata itu dalam bahas indonesia diartikan sebagai keberlakuanyaitu kekuatan berlakunya hukum. Keberlakuan hukum adalah kemampuan hukum itu untuk memaksa orang agar manaati. Kemampuan memaksa ini mempunyai dua teori yaitu teori kehendak dan teori paksaan.
         Teori kehendak mengatakan bahwa seorang itu tunduk pada hukum karena orang itu berkehendak secara sadar tunduk dan taat pada hukum itu. Teori paksaan mengatakan bahwa berdasarkan kedaulatanya hukum dengan sifatnya yang memaksa dapat memaksa seorang untuk tunduk dan taat padanya. Jika seorang itu tidak tunduk dan taat padanya hukum dengan kekuasaan yang dimilikinya itu dapat memberikan  sanksi hukum secara paksa pula. Kekuatan berlakunya hukum adat sebagaimana hukum pad umumnya memiliki tiga hal yaitu:
a.         Kekuatan berlaku secara sosiologis
b.      Kekuatan berlaku secara yuridis
c.         Kekuatan berlaku secara filosofis

a.       Kekuatan berlaku secara sosiologis artinya hukum itu benar-benar secara nyata ditaati oleh anggota masyarakat. Walaupun secara tertulis tidak dinyatakan dengan tegas bdalam sebuah peraturan perundang-undangan.
b.      Kekuatan berlaku secara yuridis artinya hukuim itu memiliki kemampuan untuk dipaksakan kepada anggota masyarakat. Kekuatan memaksa itu dikarenakan hukum itu telah ditetapkan oleh petugas yang berwenang, para fungsionaris hukum yang memiliki kewibawaan yang diberikan oleh hukum.
c.       Kekuatan berlaku secara filosofis artinya kekuatan berlakunya hukum itu ada landasan filosofinya. Landasan sebuah undang-undang misalnya dapat dicari dan ditemukan di dalam undang-undang itu sendiri, yaitu dasar yang menjadi pokok pikiran sehingga undang-undang itu dibuat.

Kekuatan berlakunya sebuah hukum dalam hal ini hukum adat tergantung pada konteks. Konteks berlakunya hukum adat terdiri konteks sosial budaya dimana hukum adat itu tumbuh.

0 Response to "Hukum Adat"

Post a Comment