Hukum Adat
Wednesday, August 23, 2017
Add Comment
A. BENTUK HUKUM
ADAT
Bentuk-bentuk hukum adat ada dua yaitu yang
tertulis dan yang tercatat. Hukum adat mempunyai bentuk yang berbeda dengan
bentuk hukum dari negara-negara modern. Oleh karena itu kata tertulis diganti
dengan tercatat karena memang ada beberapa bagian dari hukum adt di indonesia ini
dicatat dalam daun lontar, atau kitab-kitab raja dan sebagainya. Seperti
awing-awing di bali di tulis dalam daun lontar atau dalam laporan-laporan oleh
para pengkaji hukum.kitab aman gappa yaitu kitab hukum pelayaran pada
masyarakat goa di sulawesi selatan. Kitab pepakem cirebon di kesultanan cirebon
atau sumbur cahaya di lampung-sumatera selatan.
Menurut Kusumadi Pudjosewo bahwa aturan-aturan
yang mengatur tingkah laku manusia itu adalah adat, tetapi dari aturan tingkah
laku itu adapula yang hukum. Menurut beliau bahwa bentuk hukum adat itu dapat
dilihat dari :
Ø Atura: Aturan ini bersifat normative dan oleh
karena itu bersifat idealis, tetapi bukan uropis karena dapat diterapkan.
Ø Ditentukan, dilaksanakan dipertahankan dan
dilestarikan oleh badan-badan atau orang-orang tertentu dalm lingkungan
kewenangannya, yaitu para fungsionaris hukum, penegak hukum, petugas yang
berwenang , yang berwajib, dan dukungan anggota masyarakat.
Ø Denagn cara-cara tertentu: baik dengan cara
kosensus, pendekatan kekeluargaan, paksaan bila diperukan.
Ø Dengan akibat-akibat tertentu: akibat langsung
seperti diabaikan, tidak dihiraukan, denda, sanksi yang disebut konsekuensi
hukum.
Pandangan Kusmadi Pujosewojo ini kiranya tidak
jauh berbeda dengan pandangan Ter haar dengan ajaran keputusannya atau
besslissingenleer. Dengan demikian hukum dapat diketahui dari bentuknya
yang formal itu yaitu ada norma, dibuat oleh lembaga yang berwenang dengan
cara-cara tertentu dan akibat tertentu
pula. Jadi hukum adat dapa dilihat dari bentuk putusan-putusan para petugas
hukum, penguasa atau yang berwajib.
Sedangkan menurut Surayo Wignjorodipo ad tiga
betuk atau wujud hukum adat yaitu:
1. Tidak tertulis atau ius non scriptum, bentuk
ini merupakan bentuk ini merupakan bentuk yang terbesar.
2. Tertulis atau ius scriptum, hanya
sebagian keil saja misalnya titiswara dan peswara yang dimuat dalam awing-awing
di Bali, Ammana gappa yaitu hukum pelayaran pada masyarakat bugis dan goa di sulawesi
selatan, pepakem cirebon di kesultanan cirebon, dan simbor cahaya di lampung,
atau sarakarta yang dimuat dalam pepatah adat atau seperti dalam gurindam 12
oleh raja Ali haji di Aceh atau pranata-pranata di jawa.
3. Uraian-urain hukum secara tertulis lazimnya
uraian-uraian ini adalah merupakan hasil kajian para sarjana hukum yang telah
di publikasikan.
B. SIFAT HUKUM
ADAT
Berbeda dengan hukum yang berbentuk undang-undang yang lebih statis
maka hukum adat lebih bersifat dinamis. Kelambanan perkembangnan atau kelemahan
sifat dinmis undang-undang juga disebabkan oleh sejarah yang pelik, sebab
undang-undang itu merupakan kosensus politik. Berbeda dengan undang-undang
hukum adat sangat dinamis. Menurut Supomo hukum adat berkembang terus menerus sepanjang
waktu seperti hidup itu sendiri. Van vollenhoven mengatakan bahwa hukum adat
pada waktu yang lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukan perkembangan dan
maju terus, keputusan keputusan adat menjadi hukum adat. Suatu contoh di Bali pada zaman dahulu jika
seorang brahmana meninggal maka salah satu pembantunya harus dikuburkan pula
bersama jenazah tuanya itu. Tetapi pada saat ini kebiasaan seperti itu telah
ditinggalkan dan hukumanya tidak seketat dahulu, bahkan hampir punah. Hukum
adat telah mengalami perubahhan yang sangat luar biasa, terutama dalam
pengenaan sanksi hukumannya.
Perkembangan
hukum adat sejalan dengan perkembangan masyarakat pendukung nya. Secara
sosilogis bahwa hukum adat sebagai volkgeeist atau geestreectuctuur
selalu mengikuti kebutuhan masyarakat secara nyata. Perkembangan itu tidak saja
secara internal tetapi ada juga pasokan eksternal secara fungsional (jika itu
diterima) dengan masuknya hukum-hukum
asing seperti hukum agama, hukum kolonial atau hukum adtat masyarakat lainya
ketika terjadi interaksi dalam lalulintas hukum sehingga tertjadi assimilasi,
integrasi baik melalui metode peniruan atau karena pembelajaran bahkan melalui
paksaan atau penjajahan. Itu semua yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan
hukum adat.
Menurut
Djojodigoeno sifat hukum adat iti statis-dinamis artinya hukum adat itu memiliki
sifat yang khas yakni monodualisme, statis sekaligus dinamis, dinamis dan
platis/elastis. Statis karena hu kum adat itu bertujuan menuju tujuan ‘tata’
yakni keteraturan , dinamis karena mengikuti perkembangan masyarakat, selalu
beralih dari suatu keadaan atau situasi kekondisi
atau situasi yang lain kearah kedewasaan/kemapanan dan harmoni. Elastis/plastis artinya hukum adat dapat
menyesuaikan diri dengan zaman atau situasi tetentu atau dengan kata lain
berkembang seseuai dengan kebutuhan masyarakat.
C. LAHIRNYA HUKUM
ADAT
Van
Volenheven berpendapat bahwa untuk
menentukan sejak kapan hukum adat itu lahir maka tidak dapat di cari dengan
sebuah teori tetapi berdasarkan kenyataan. Dari pandangan ini dapat dikatakan
sudah cukup dalam kenyataan suatu norma hukum adat ditaati oleh anggota
masyarakat, maka hukum adat itu sudah ada. Van Volenhoven berpandangan bahwa
hukum adat itu bersumber pada kesadaran hukum masyarakat. Surojo Wignojodipuro
menilai bahwa pandangan Van volenhoven ini sudah memenuhi dua unsur hukum adt
yaitu unsur pskhologi dan kenyataan. Unsur pskhologis artinya terdapat
keyakinan pada anggota masyarakat bahwa norma hukum adat di makdsud memiliki
kekuatan hukum yaitu kekuatan memaksa sehingga angota masyarakat itu tidak
memiliki kemampuan ukntuk menolak. Mereka tunduk pd hukum adat itu baik karena
wibawa huku adaat itu dan terutama kesadaran
hukum masyarakat itu untukataan tunduk dan menaatinya. Unsur kenyataan
artinya norma hukum itu dalam keadaan yang sama selalun di indahkan dan
ditaati oleh anggota masyarakat serta
diberlakukukan oleh petugas hukum. Teori Van Volenhoven ini disebut hukum
kenyataan. Secara sosiologis hukm adat itu lahir dari kebutuhan masyarakat akan
ketertiban, keteraturan dan harmoni. Secara antropologis hukum adat lahir oleh
karena memang hukum adt itu adalah hasil kontruksi budaya yang dibngun dan
dihargai seperti mereka menghargai diri dan komunitas mereka.
Jika
menurut pandangan Ter Haar bahwa hukum adat yang berlaku hanya dapat diketahui
dari penetapan atau keputusan petugas
hukum seperti kepala adat, hakim, rapat adat, dsb.
Yang dinyatakan didalam atau
diluar persengketaan. Dari pandangannya itu bahwa Ter Haar telah melahirkan
teori keputusan, dari keputusan-keputusan kepala adat atau petugas hukum saat
penetapan itu adlah eksistensial moment (saat lahirnya hukum). Sesungguhya ada
perbedaan pandangan antara Van Volenhoven dan Ter Har mengenai kapan hukum adat
itu ada , namun penulis cukup mencantumkan dua pandangan tersebut dan
selebihnya dipelajari sendiri.
Jika
seseorang mengkaji dan mempelajari secara, mendalam hukum adat dengan
pendekatan sosio-kultural secara emik-etik dari pandangan pendukung hukum adat
maka ia akan memahami secara holistic –intergrate artinya utuh menyeluruh.
Disitulah ia akan tahu bahwa ternyata bahwa hukum adat itu sangat dinamis,
mengikuti perubahan waktu dan tempat. Perlu dipahami pula , bahwa kekuatan
mengikat hukum adat bukan hanya terletak pada bentuknya yang tertulis atau
penetapan petugas hukum atau karena akibat hukum. Penetapan petugas hukum
sebagaimana diteorikan oleh Ter Haar atau Kusumadi Pudjosewo secara formil
memang mengandung aturan hukum, akan tetapi kekuatan mengikat hukum tidak
semata-mata terletak pada bentuknya yang
formal itu, melainkan terletak pada kekuatan mengikatnya secara materiel. Sebaliknya
jika kekuatan hukum yang dibuat oleh petugas hukum itu tidak ditaati oleh
masyarakat , maka kekuatan mengikatnya secara materiel tidak ada atau lemah.
Menurut
Kusumadi pudjosewo inilah yang dimaksud terbal tipisnya hukum adat itu. Tebal
jika aturan itu ditetapkan dipertahankan oleh petugas hukum serta ditaati oleh
mereka yang dikenai hukum yaitu anggota masyarakat atau sebaliknya ditetapkan dan dipertahankan oleh petugas tetapi
tidak ditatai oleh anggota masyarakat hukum adat itu maka hukum adat itu
menipis. Tetapi jika sebaliknya anggota masyarakat mempertahankan aturan-aturan
hukum adat itu sedangkan para petugas hukum berupaya menghilangkanya maka
secara materiel hukum adat itu memiliki kekuatan mengikat sedangkan secara
formal tidak memiliki kekuatan mengikat ia sedang mengalami sifatnya menipis. Juga
Logemann sependapat dengan Van Volenhoven ia mengatakan bahwa norma-norma hukum
adat yang hidup adalah norma-norma pergaulan hidup bersama yaitu aturan aturan
tingkh laku yang di taati oleh segenap
warga pergaulan masyarakat. Bila ternyata ada suatu norma yang berlaku norma
itu tentunya mempunyai sanksi yaitu sanksi apapun, dari yang paling ringan,
kompleks sampai dengan yang terberat. Logemann memandangnya dari sudut pandang
kenyataan bahwa jika aturan norma itu ditaati oleh setiap warga masyarakat
karena ia mempunyai sanksi sekalipun belum pernah dilakukan penetapan oleh
petugas hukum karena tidak dipersoalkan maka norma yang demikian itu adalah
norma hukum.
D.
KEKUTAN BERLAKUNYA HUKUM ADAT
Kekuatan berlakunya suatu
hukum berasal dari teori hukum eropa
yang dalam bahas jerman disebut geltung atau dalam bahas belanda disebut
geldings. Kedua kata itu dalam bahas indonesia diartikan sebagai
keberlakuanyaitu kekuatan berlakunya hukum. Keberlakuan hukum adalah kemampuan
hukum itu untuk memaksa orang agar manaati. Kemampuan memaksa ini mempunyai dua
teori yaitu teori kehendak dan teori paksaan.
Teori kehendak mengatakan
bahwa seorang itu tunduk pada hukum karena orang itu berkehendak secara sadar
tunduk dan taat pada hukum itu. Teori paksaan mengatakan bahwa berdasarkan
kedaulatanya hukum dengan sifatnya yang memaksa dapat memaksa seorang untuk
tunduk dan taat padanya. Jika seorang itu tidak tunduk dan taat padanya hukum
dengan kekuasaan yang dimilikinya itu dapat memberikan sanksi hukum secara paksa pula. Kekuatan
berlakunya hukum adat sebagaimana hukum pad umumnya memiliki tiga hal yaitu:
a.
Kekuatan berlaku secara sosiologis
b.
Kekuatan berlaku
secara yuridis
c.
Kekuatan berlaku secara filosofis
a. Kekuatan berlaku secara sosiologis artinya hukum
itu benar-benar secara nyata ditaati oleh anggota masyarakat. Walaupun secara
tertulis tidak dinyatakan dengan tegas bdalam sebuah peraturan perundang-undangan.
b. Kekuatan berlaku secara yuridis artinya hukuim
itu memiliki kemampuan untuk dipaksakan kepada anggota masyarakat. Kekuatan
memaksa itu dikarenakan hukum itu telah ditetapkan oleh petugas yang berwenang,
para fungsionaris hukum yang memiliki kewibawaan yang diberikan oleh hukum.
c. Kekuatan berlaku secara filosofis artinya
kekuatan berlakunya hukum itu ada landasan filosofinya. Landasan sebuah
undang-undang misalnya dapat dicari dan ditemukan di dalam undang-undang itu
sendiri, yaitu dasar yang menjadi pokok pikiran sehingga undang-undang itu
dibuat.
Kekuatan berlakunya sebuah hukum dalam hal ini
hukum adat tergantung pada konteks. Konteks berlakunya hukum adat terdiri
konteks sosial budaya dimana hukum adat itu tumbuh.
0 Response to "Hukum Adat"
Post a Comment