Kontroversi Niqab

Menutup aurat dengan benar, merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat muslim, sebagai bentuk ketaqwaan terhadap Allah SWT. Bisa dikatakan, setiap muslim (terkhusus wanita) dapat dilihat kadar ketaqwaannya melalui cara berpakaian atau cara menutup auratnya. Sudah menjadi hukum alam, bahwa wanita yang dapat menutup aurat sesuai dengan perintah agama Islam, maka akan terlihat lebih baik di mata kebanyakan masyarakat, dibandingkan dengan wanita yang tidak menutup auratnya dengan baik.

Khimar, jilbab dan niqab, merupakan sebagian dari pakaian yang dapat digunakan untuk menutup aurat seorang muslimah. Berdasarkan perintah yang jelas tertulis dalam Alquran tentang menutup aurat, serta didorong dengan rasa iman dan taqwa, mampu menggerakkan hati setiap kaum hawa untuk megharuskan dirinya memiliki dan mengenakan khimar atau jilbab atau niqab ataupun yang lainnya, dengan tujuan melaksanakan perintah Allah SWT. Yang disampaikan langsung melalui kitabullah.

Khimar merupakan kain yang biasa dipakai di kepala, untuk menutupi bagian kepala leher dan dada, atau yang familiar dikalangan kita adalah kerudung. Jilbab merupkan sebuah pakaian yang menutupi semua aurat wanita, kecuali telapak tangan dan wajah. Berbentuk baju terusan, dari atas sampai ke bawah Sedangkan niqab merupakan kain yang menutupi wajah, sehingga, jika seseorang mengenakan niqab, yang nampak dari wajah orang tersebut hanyalah kedua matanya saja.

Di Indonesia, budaya muslimah dalam berpakaian, umumnya sebatas mengenakan jilbab atau khimar. Berbeda dengan di Arab, yang kebudayaan masyarakatnya menggunakan niqab (bagi yang wanita). Di Indonesia, menggunakan niqab terkadang masih menjadi suatu hal yang asing bagi sebagian masyarakat.

Menurut hemat penulis, apapun yang dikenakan oleh seorang muslimah, baik khimar, jilbab ataupun berniqab, semua tidak ada masalah. Pasalnya, setiap manusia diberikan kemerdekaan untuk berekspresi sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Semua harus mendapatkan kebebasan yang sama, asalkan tetap menutup aurat dengan baik, sesuai dengan tuntunan syari’at.

Namun, ada suatu permasalahan yang terjadi, di dalam sebuah institusi islam, yaitu di sebuah perguruan tinggi negeri yang berbasis Islam. dimana, ada perguruan tinggi yang berbasis Islam, justru memberikan larangan terhadap wanita yang mengenakan niqab.

Hal ini pun serentak membuat sebagian warga kampus kaget karena adanya larangan berniqab. Terlebih membuat para akhwat yang berniqab merasa terkejut lantaran di institusi tempatnya kuliah, diberlakukan peraturan seperti itu. Tak sedikit mahasiswa, atau dosen sekalipun yang kontra dengan adanya larangan berniqab di salah satu pergurun tinggi Islam negeri tersebut.

Menurut penulis, adanya larangan berniqab dalam sebuah institusi Islam, tidak seharusnya terjadi. Sebagai perguruan tinggi yang berbasis Islam, harusnya mampu memberikan toleransi terhadap mereka-mereka yang ingin mengekspresikan dirinya sesuai dengan keyakinan dan kemantapan hati masing-masing, asalkan tidak terindikasi melanggar syari’at.

Adanya larangan berniqab dalam sebuah perguruan tinggi, akan semakin memojokkan keadaan mereka yang terbiasa mengenakan niqab. Tentu, mereka para akhwat yang berniqab merasa termarjinalkan, atau merasa terdiskriminasi. Baiknya, pimpinan perguruan tinggi mengutamakan keadilan, dan menjaga hak setiap individu mahasiswa/i, dengan merangkul semuanya, memberikan hak yang sama, perlakuan yang sama, baik kepada mereka yang berkerudung besar, sedang atau yang berniqab sekalipun. Bukan malah membuat mereka (yang berniqab), merasa terdiskriminasi.

Toleransi merupakan hal yang sangat diharuskan dalam agama Islam. sebagaimana yang Rasulullah lakukan saat Rasulullah memimpin Madinah. Beliau membuat piagam madinah, demi mempersatukan perbedaan yang ada pada saat itu. Bahkan, dengan piagam Madinah, golongan yahudi juga mendapatkan perlakuan keadilan yang sama, sebagaimana umat muslim yang ada di Madinah.

Penulis sendiri masih menganggap larangan pemakaian niqab, di salah satu perguruan tinggi Islam tempat penulis kuliah ini merupakan hal yang aneh. Selain karena tidak adanya alasan yang jelas dari pimpinan perguruan tinggi, yang membuat aneh adalah, mengapa sebuah perguruan tinggi Islam, justru tidak memberikan toleransi kepada muslimah yang ingin berniat baik menggunakan niqab.

Berdasarkan keterangan yang penulis dapat dari salah satu mahasiswi berniqab di perguruan tinggi tersebut, dia sempat berbincang dengan wakil rektor 3 (bagian kemahasiswaan), ia menanyakan kepada wakil rektor 3 terkait larangan berniqab di perguruan tinggi tersebut.

Jawaban yang diberikan oleh wakil rektor 3, terkait dengan dilarangnya menggunakan niqab karena niqab bukan merupakan pakaian syar’i. niqab hanyalah budaya yang ada di arab, serta hanya ingin meluruskan yang salah dari orang yang bercadar. Begitu kira-kira keterangan yang penulis dapat dari salah seorang mahasiswi berniqab, yang langsung menanyakan alasan aturan tersebut kepada wakil rector 3.

Walaupun niqab hanyalah budaya di arab, sebagaimana yang dikemukakan oleh warek 3 bahwa itu juga bukan pakaian syar’i, menurut penulis, tidak perlu juga ada larangan pemakaian niqab. Pasalnya, budaya memakai niqab juga merupakan budaya yang baik. Serta tidak ada salahnya jika itu diterapkan di perguruan tinggi yang berbasis Islam.

Apa salahnya mereka yang menggunakan niqab? Sampai harus ada larangan untuk tidak memakai niqab. Faktanya, banyak hal yang mengindikasikan bahwa wanita berniqab itu baik. Dari keterangan yang penulis dapat, dari salah satu anggota grup “khusus akhwat”, bahwa anggota grup itu mayoritas bercadar, dan mereka sangat baik jiwa sosialnya. Dapat dibuktikan dengan keperdulin mereka terhadap sahabat-sahabatnya yang kurang mampu.

Berdasarkan keterangan dari Ummu, salah satu mahasiswi bercadar di perguruan tinggi Islam tersebut, ia ingin istiqomah dalam menuju jannah, dengan terus memakai niqabnya. Jika ada aturan larangan menggunakan niqab, maka begitu tega, pimpinan perguruan tinggi Islam (tidak saya sebut nama institusinya) tersebut menghancurkan niat istiqomah yang akan dilakukannya.

Perguruan tinggi harusnya memahami adanya pluralistis kebudayaan, termasuk kebudayaan berpakaian seorang muslim. Perguruan tinggi harusnya mampu mempersatukan setiap perbedaan kebudayaan, dan memberikan kebebasan ekspresi dalam hal berpakaian kepada setiap mahasiswa/I, asalkan pakaian tersebut tidak bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam syari’at Islam.

Penulis : WEPO (Pegiat JSC) 

0 Response to "Kontroversi Niqab"

Post a Comment