Stigma Negatif Cadar dan Kethek Seranggon

Pro dan kontra mengenakan cadar sudah bukan merupakan sesuatu yang baru. Mereka yang mengenakan cadar kerap dipandang sebelah mata oleh banyak orang, beberapa alasan klasik yang kini dianggap wajar untuk menyudutkan atau mediskriminasi mereka diantaranya adalah mirip istri teroris, aktivis organisasi radikal, bahkan dianggap sebagai kaum ekstrimis beragama.

Biasanya mereka yang beranggapan seperti itu memiliki kapisitas ilmu yang kurang dibidang agama dan urung tumbuh sifat toleransi serta pluralismenya. Meskipun bercadar bukan merupakan adat Indonesia, akan tetapi penggunaanya terbukti mampu memberikan warna tersendiri bagi akulturasi budaya yang sudah banyak ditemukan di bumi pertiwi.

Sentimen terhadap pelarangan penggunaan cadar sejatinya justru mampu menempatkan seseorang atau bahkan kelompok kedalam titik diskriminasi yang nadir. Bagaimana tidak, mereka yang berusaha menjunjung tinggi akidah dan istiqomah terhadap prinsip yang mereka pegang teguh.

Persepsi negatif hingga menimbulkan tindakan-tindakan yang diskriminatif kepada para pengguna cadar tidak lain disebabkan oleh stigma. Benar, ciri negatif yang melekat pada seseorang karena pengaruh tertentu. Mereka yang bercadar diidentikan mirip istri teroris dan penganut paham radikal sungguh merupakan suatu kedzoliman yang nyata.

Berangkat dari stigma bisa  berubah menjadi malapetaka. Penetrasi stigma negatif secara terus-menerus dan turun-temurun serta menyebar luas akan merusak tatanan pluralitas yang menjadi ciri dari bangsa Indonesia. Terlebih lagi mereka yang bercadar dianggap sebagai golongan radikal, naudzubillah. Apakah radikal hanya dilihat dari cadar atau cara berpakaian?

Tolok ukur radikal adalah perbuatan yang dapat dipantau secara nyata bukan hanya sebatas pakaian dan cadar. Seorang bercadar yang didiskriminasi dan dibatasi segala jenis kegiatanya maka sama dengan mengambil hak seseorang, lebih parah lagi hal tersebut jelas mengabaikan konsep pluralisme yang menjadi pondasi utama keberagaman.

Sikap mendiskriminasi adalah cikal bakal intoleransi yang mampu memecah-belah umat. Sikap seperti ini seharusnya tidak ada di dalam pola pemikiran para akademisi terlebih mereka yang memiliki gelar akademik, dengan bekal ilmu pengetahuan dan pemahaman teoretis yang banyak tentunya jauh lebih paham tentang etika toleransi pluralisme.

Akademisi seperti profesor, doktor, dan sejenisnya adalah mahluk yang berilmu dan mereka dijanjikan oleh Allah akan dinaikan derajatnya. Akan tetapi apakah hanya sebatas berilmu saja Allah akan menaikan derajat mereka? Jawabanya adalah tidak. Meskipun mereka berilmu dan berwawasan tinggi jika tidak beriman dan kerap mendzolimi sesamanya maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.

Gembar-gembor demokrasi dan pluralisme dari mereka yang menganggap dirinya pejuang keadilan dan agen harmoni dewasa ini memang marak terdengar dimana-mana khususnya di kampus-kampus. Akan tetapi hal tersebut faktanya hanya sebatas tekstual, pluralisme berarti majemuk dan lekat hubunganya dengan toleransi. Sekali lagi terkait pelarangan penggunaan cadar adalah kedzoliman yang nyata.

Kampus sebagai wadah peradaban akademik seyogyanya dapat mengakomodir segala bentuk pluralisme termasuk di dalamnya cara berpakaian yang baik dan benar (bersih, rapi, dan tidak menimbulkan syahwat). Jangan sampai kampus hanya dipenuhi oleh Kethek Saranggon yang culas dan intoleran. Kaitanya dengan cadar kampus juga seharusnya memberikan tempat bagi mereka.

Mereka yang bercadar adalah kaum minoritas namun berprinsip kuat, setidaknya mereka juga harus mendapatkan ruang di kelas-kelas publik dan orang lain juga seharusnya lebih menghargai prinsip kuat mereka tanpa harus menyinyirnya. Kalau kampus tidak memberikan ruang kepada mereka lalu dimana letak toleransi pluralisme di kampus?

Mereka yang bercadar sejatinya sudah siap untuk mendapat cemoohan lantaran cara berpakaian yang sama sekali tidak menggambarkan ciri Indonesia dari orang-orang di sekitar mereka. Umumnya mereka mengahadapi cemoohan tersebut dengan diam dan ikhlas, selain itu memang tak banyak yang mereka dapat lakukan karena esensi mereka sebagai kaum yang termarginalkan dan kerap dipandang sebelah mata.

Keikhlasan dan keteguhan prinsip serta istiqomah mereka seharusnya dapat dilihat secara mendalam oleh kampus. Melihat diskriminasi seperti itu terjadi di kampus dan penyebabnya hanya sebatas stigma berarti perlu dipertanyakan kembali seperti apa fasilitas kampus tersebut mengakomodir pluralisme.

Jangan-jangan diskriminasi seperti ini sudah diagendakan dan menjadi proyek tersendiri bagi mereka yang Gusti Allahe Dhuit, Nabine Jarit. Mereka bersembunyi rapat dibalik tembok besar birokrasi. Pemikiran seperti ini juga berangkat dari stigma. Semoga stigma negatif terhadap mereka yang bercadar tidak senantiasa melumut di hati kita semua. amin

Penulis : Julianto Nugroho

0 Response to "Stigma Negatif Cadar dan Kethek Seranggon"

Post a Comment