Bagaimana Membantu Rohingya?
Sunday, September 3, 2017
1 Comment
Begini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah krisis di Rohingya ini terus berulang. Saya mengamati sejak tahun 2012 sudah menjadi semacam peringatan tahunan di medsos orang membahas Rohingya. Padahal mereka sudah dipersekusi oleh negara sejak tahun 1986.
Maka karena krisis ini terus berulang ada yang perlu kita evaluasi dari pertolongan kita selama ini untuk Rohingya. Bukankah Einstein mengatakan adalah hal yang gila mengharapkan hasil yang berbeda dari usaha yang sama? Dan selama ini usaha kita masih itu-itu saja. Meramaikan medsos dengan gambar-gambar sadis yang kita tak bisa pastikan validitasnya, lanjut mengecam, demonstrasi hingga membantu dengan donasi. Pun tokoh publik dan pemerintah masih melakukan tindakan itu-itu saja.
Oke, kita mengapresiasi segala inisiatif Bu Menlu Retno Marsudi yang cekatan berangkat ke Myanmar untuk berkomunikasi dengan pemerintahan Aung San Suu Kyi. Dan tahun ini bu Retno kembali melakukan hal yang sama seperti tahun lalu. Tahun lalu dengan tindakan Bu Retno konflik dapat diredam, tapi kembali terulang. Tahun ini Bu Retno kembali akan berangkat dan bisa jadi konflik kembali terredam namun tidak menutup kemungkinan tahun depan konflik kembali terulang.
Maka apa yang harus kita lakukan?
Saya sepakat dengan strategi yang dicetuskan Muhammadiyah yakni Political Pressure. Sudah saatnya kita tidak basa basi lagi dengan Myanmar. Laporkan ke International Criminal Court, bekukan status Myanmar sebagai anggota ASEAN hingga PBB atau bahkan ancam dengan pemutusan hubungan diplomatik. Tekanan-tekanan politik ini akan membuat Myanmar berpikir berkali-kali untuk mempersekusi Etnis Rohingya.
Itu kan domain pemerintah bukan domain rakyat biasa?
Nah disinilah peran kita sebagai civil society untuk menekan pemerintah!. Selain itu inisiatif harus kita ambil dahulu, sama seperti inisiatif nelayan di Aceh beberapa tahun lalu menyelamatkan manusia kapal Rohingya. Kita harus bahu membahu dengan wadah NGO membantu Rohingya. Paling dekat mereka yang ada di Makassar yang baru saja dicibir oleh Gubernur Sulsel. Lebih lanjut kita harus mempersiapkan diri membuka tangan untuk menampung etnis Rohingya yang akan mengungsi ke Indonesia sampai status kewarganegaraan mereka jelas.
Dan yang paling penting, harus ada pusat studi yang mengkhususkan diri mengkaji lebih dalam isu Rohingya. Peran pusat studi ini vital karena selain untuk mencerdaskan publik dari simpang siurnya informasi. Juga mempersiapkan keterlibatan publik yang ketika nanti dibentuk tim pencari fakta oleh PBB atau ASEAN, kita sudah siap. Selain itu kajian ilmiah akan lebih dipertimbangkan sebagai konsideran oleh pemerintah ketimbang kemarahan di medsos dengan menyebarluaskan gambar-gambar sadis.
Penulis: Ahmad Jilul Qur'ani Farid
Maka karena krisis ini terus berulang ada yang perlu kita evaluasi dari pertolongan kita selama ini untuk Rohingya. Bukankah Einstein mengatakan adalah hal yang gila mengharapkan hasil yang berbeda dari usaha yang sama? Dan selama ini usaha kita masih itu-itu saja. Meramaikan medsos dengan gambar-gambar sadis yang kita tak bisa pastikan validitasnya, lanjut mengecam, demonstrasi hingga membantu dengan donasi. Pun tokoh publik dan pemerintah masih melakukan tindakan itu-itu saja.
Oke, kita mengapresiasi segala inisiatif Bu Menlu Retno Marsudi yang cekatan berangkat ke Myanmar untuk berkomunikasi dengan pemerintahan Aung San Suu Kyi. Dan tahun ini bu Retno kembali melakukan hal yang sama seperti tahun lalu. Tahun lalu dengan tindakan Bu Retno konflik dapat diredam, tapi kembali terulang. Tahun ini Bu Retno kembali akan berangkat dan bisa jadi konflik kembali terredam namun tidak menutup kemungkinan tahun depan konflik kembali terulang.
Maka apa yang harus kita lakukan?
Saya sepakat dengan strategi yang dicetuskan Muhammadiyah yakni Political Pressure. Sudah saatnya kita tidak basa basi lagi dengan Myanmar. Laporkan ke International Criminal Court, bekukan status Myanmar sebagai anggota ASEAN hingga PBB atau bahkan ancam dengan pemutusan hubungan diplomatik. Tekanan-tekanan politik ini akan membuat Myanmar berpikir berkali-kali untuk mempersekusi Etnis Rohingya.
Itu kan domain pemerintah bukan domain rakyat biasa?
Nah disinilah peran kita sebagai civil society untuk menekan pemerintah!. Selain itu inisiatif harus kita ambil dahulu, sama seperti inisiatif nelayan di Aceh beberapa tahun lalu menyelamatkan manusia kapal Rohingya. Kita harus bahu membahu dengan wadah NGO membantu Rohingya. Paling dekat mereka yang ada di Makassar yang baru saja dicibir oleh Gubernur Sulsel. Lebih lanjut kita harus mempersiapkan diri membuka tangan untuk menampung etnis Rohingya yang akan mengungsi ke Indonesia sampai status kewarganegaraan mereka jelas.
Dan yang paling penting, harus ada pusat studi yang mengkhususkan diri mengkaji lebih dalam isu Rohingya. Peran pusat studi ini vital karena selain untuk mencerdaskan publik dari simpang siurnya informasi. Juga mempersiapkan keterlibatan publik yang ketika nanti dibentuk tim pencari fakta oleh PBB atau ASEAN, kita sudah siap. Selain itu kajian ilmiah akan lebih dipertimbangkan sebagai konsideran oleh pemerintah ketimbang kemarahan di medsos dengan menyebarluaskan gambar-gambar sadis.
Penulis: Ahmad Jilul Qur'ani Farid
Masa transisi peralihan junta ke demokrasi sedang berlangsung mas. Banyak pengamat internasional khawatir Myanmar menjurus ke 'hermit kingdom' tanpa harus menjadi junta. Presekusi Rohingya banyak bagian dari rakyat myanmar yang mendukung. Dan Myanmar bukanlah negara yang mudah ditekan seperti itu. PBB berusaha bijak dan memahami persoalan pelik ini antara bencana kemanusiaan dengan keinginan mayoritas rakyat burma, sementara itu ASEAN punya prinsip non intervensi. Nggak bisa sembarangan mengeluarkan keanggotaan. Ditambah lagi pengungsi juga dimanajemen negara, dalam artian ada human trafficking yang melibatkan Myanmar dan tetangga-tetangganya. Satu-satunya solusi aktif kita harus bisa menerima rohingya apabila mereka tak diakui oleh myanmar karena dianggap bukan bagian dari saudara sebangsa mereka.
ReplyDelete