Kepala Desa, Kasihan Engkau Kawan
Sunday, September 3, 2017
Add Comment
Sekarang semua mata tertuju ke desa. Memecing sembari mengernyitkan kening. Penuh curiga dan sakwasangka.
Orang-orang yang diyakini masih tradisional itu, diperhatikan secara lekat dan ketat. Bukan untuk memastikan bahwa mereka baik-baik saja. Tapi untuk hal lain, terutama karena kekhawatiran (yang tak mendasar) bahwa mereka akan salah mempergunakan dana desa.
Mereka tidak dikasih kepercayaan. Mereka tidak diyakini bisa mengelola dana desa. Aparatur desa (terutama kepala desa) distigma. Kalau dia beli tanah, maka dia hanya bisa melakukannya bila menyalahgunakan dana desa. Kalau kepala desa tak beli apapun, maka dia dianggap tak cerdas.
Para pengamat berbicara, dengan nada yang lembut tapi nyelekit, bahwa "korupsi pindah ke desa". Asumsi yang didasarkan pada pengalaman sejumlah desa, sejumlah aparatur desa yang ditangkap karena kasus korupsi. Sambil mencibir, para pengamat sering mengait-kaitkan dengan politik pencitraan, juga hal-hal yang sesungguhnya tak pernah diurus orang desa.
Padahal, kita sedang di Indonesia, dan jumlah desa ada ribuan. Jumlah mereka yang sukses mengelola dana desa jauh lebih banyak dari yang belum. Tapi, Indonesia berubah, desa kini jadi komoditas politik. Dana desa yang berlimpah, diguit-guit seakan-akan bisa dibagi untuk kepentingan partai politik atau kekuasaan di daerah.
Desa hari ini berbeda dengan desa lima tahun lalu. UU Desa yang membedakannya. Di daerah (kabupaten) ada dua pemimpin rakyat yang diangkat berdasarkan UU: kepala desa dan kepala daerah (Bupati). Keduanya sama-sama pemimpin rakyat. Bupati malah tak punya rakyat. Kepala Desa yang memiliki rakyat.
Demokrasi sesungguhnya---bila demokrasi dipahamkan sebatas pemilihan umum--maka hal itu hanya terjadi di desa. Rakyat desa memilik kepala desanya. Iklas. Tulus. Kalau calonnya kalah, mereka menangis. Kalau calonnya menang, mereka juga menangis.
Orang-orang desa itu luhur. Ada juga yang tak luhur. Tapi itu galib dimana-mana. Jumlah yang tak luhur lebih sedikit, meskipun kemampuannya begitu luar biasa mengkooptasi orang banyak. Tapi hidup memang seperti itu, berjalan di rel yang dikehendakiNya.
Kembali soal desa, kembali ke cara orang-orang meragukan orang desa. Sudahlah! Jangankan orang desa, orang-orang hebat yang berpendidikan tinggi, acap melakukan korupsi. Bukan berarti korupsi boleh. Orang desa tidak punya kecerdasan untuk korupsi. Tubuhnya gemetaran bila melakukan kesalahan. Sekali orang desa melakukan kesalahan, maka terus-terusan akan dihantui perasaan takut. Lalu menghilang....
Kepala Desa sering menghilang. Banyak orang yang mendatanginya, mengaku sebagai temannya, lalu meminta ini dan itu. Banyak juga yang mengaku sebagai pengawas, lalu minta ini dan itu. Terlalu banyak yang minta ini dan itu, sehingga honor sebagai Kepala Desa terkuras. Maka, daripada tambah miskin, Kepala Desa menghilang....
Kita di Indonesia. Orang yang menghilang sering kita tuduh macam-macam. Mungkin Kepala Desa hanya tak ingin orang lain berdosa--terlalu sering ingin membantu tapi ujungnya minta ini dan itu---makanya dia menghilang.
Penulis: Budi Hutasuhut
0 Response to "Kepala Desa, Kasihan Engkau Kawan"
Post a Comment