Menulis dan Terus Menulis

Oleh: Wahyudi Akmaliah (Peneliti di LIPI)

Dibandingkan dengan teman-teman yang berkarir di dunia kepenulisan sejak S1, saya termasuk yang paling telat. Tulisan pertama saya dimuat justru ketika saya baru lulus S1. Alih-alih di kolom opini, tulisan saya dimuat di Surat Pembaca. Mengapa Surat Pembaca? Alasannya sepele; selain rubrik ini yang sering dibaca, halaman tersebut memiliki kemungkinan besar untuk dimuat. Meskipun harus diakui, di rubrik tersebut tidak ada honornya. Ada sekitar 15 tulisan lebih, saya menulis di Kolom Pembaca Kompas Jogja.

Disela menulis rubrik pembaca, saya masih terus mengkliping resensi dan opini yang ditulis oleh dedengkot penulis koran yang dahulu sangat masyur, mulai dari Achmad Maulani, Muhammad Musthofa, Almarhum Tasyriq HifzhillahAfthonul Afif, dan lain sebagainya. Hampir setiap Minggu saya membeli dua sampai tiga koran, seperti Kompas, Tempo, dan Jawa Pos, sesekali Media Indonesia. Melalui kliping-kliping tulisan itu saya mempelajari tulisan mereka dengan detail dan seksama. Percobaan menulis opini dan resensi setelah membaca kliping-kliping tersebut ini saya kirimkan ketiga media nasional tersebut. Alhamdulillah, dari 20 tulisan tidak ada satu pun yang dimuat.

Berbekal kemampuan belajar otodidak dan menulis S1 ini, saya memberanikan diri untuk masuk S2 Kajian Budaya Sanata Dharma. Di kampus Katholik yang rindang dengan pepohonan ini saya tidak hanya belajar, tetapi membentuk fondasi pengetahuan ilmu sosial dan juga cara saya menulis. Saya masih ingat dalam sebuah kelas Semiotika, Dr. St. Sunardi, dengan bahasa yang bersahabat tapi mengena, mengkritik tulisan tugas paper, "Mas, sampeyan ini enggak pernah nulis skripsi ya. Ini tulisan tidak bisa membedakan subyek dan predikatnya". Ucapan beliau tersebut membuat seluruh isi kelas tertawa. Saya hanya nyengir dan kemudian terdiam; satu sisi tidak terima atas tertawaan tersebut, namun di sisi lain, saya menerima kritik yang diberikan.

Bertolak dari sini, ada upaya pembuktian dalam diri saya bahwa saya bisa menulis. Dengan proses eksperimentasi menulis, saya sering menuliskan opini ke pelbagai media nasional. Puji Tuhan, tulisan saya mengalami penolakan berkali-kali. Dengan menggunakan nama mahasiswa Sanata Dharma, saya kemudian memberanikan diri mengirimkan menulis di kolom Opini Kompas Jogja. Di antara dua tulisan, ada satu yang dimuat. Setidaknya, selama menjadi mahasiswa di Jogja, ada sekitar 11 tulisan saya dimuat di Kompas Jogja.

Meskipun sudah sering dimuat, bukan berarti saya dianggap bisa menulis. Di bawah bimbingan tesis pak Budiawan Sahaja, saya benar-benar diajarkan bagaimana menulis sesuai EYD dan kalimat efektif. Dari lima bab tesis, masing-masing bab mendapatkan perbaikan 5-7 kali. Di sini, teman-teman bisa membayangkan bagaimana kemudian marahnya seorang pembimbing melihat mahasiswa bimbingannya yang bodoh dan tidak bisa menulis. Namun, meskipun mendapatkan kritik dan perbaikan berkali-kali, saya tidak menyerah, justru ini media saya untuk belajar menulis. Melalui proses bimbingan beliau ini secara tidak langsung telah membentuk karakter saya dalam menulis.

Sejumlah pengalaman tersebut membantu dan mengkapitalisasi kemampuan menulis dan perspektif saya saat bekerja di LIPI. Di LIPI ini proses eksperimentasi ide dan gagasan terus saya lakukan; menulis, membaca, meriset, dan tentu saja ngopi bareng teman-teman. Sampai sekarang, sejumlah tulisan yang telah saya hasilkan masih terlihat kekurangan di sana-sini. Namun, saya percaya aktivitas menulis merupakan sebuah proses koreksi menuju lebih baik terus-menerus. Proses belajar menulis dengan menulis di tengah kritik yang datang ini justru menjadi titik pijak dan kuda-kuda saya untuk menguatkan keyakinan bahwa kerja-kerja akademik yang saya tekuni merupakan pilihan yang tidak terelakkan; semacam takdir dari akumulasi pengetahuan dan ikhtiar saya sebelumnya.

Dengan demikian, LIPI bukan hanya ruang saya berekspresi dan bereksperimen melalui riset, melainkan semacam peneguhan bahwa saya harus terus menulis dan menulis. Jalan kepenulisan inilah yang memungkinkan saya bisa sampai ke posisi saat ini. Momentum kilas balik ke belakang ini setidaknya menguatkan saya di tengah kegoyahan dan rasa lelah menghadapi kemacetan ibukota dan kerasnya hidup di Jakarta bahwa jadi akademisi yang terus menulis itu bukan pekerjaan mudah. Terlebih lagi, saya dihadapkan oleh pragmatisme media sosial, di mana sekedar menulis status facebook dan ngetweet seseorang bisa dianggap sebagai seorang Profesor dan Pakar.

Wallahu A'lamu bishawab.[]

0 Response to "Menulis dan Terus Menulis"

Post a Comment