Negara Islam Dan Negara Islami
Sunday, October 22, 2017
Add Comment
“Berdasarkan
pengalaman saya menyambangi beberapa negara di dunia, Amerika adalah negara
paling Islami, sedangkan Indonesia adalah negara paling tidak Islami.” Dengan
suara serak basah, seorang pria paruh baya mengungkapkan kalimat yang memicu
heningnya suasana ruangan. Kami tidak berani menyela, tertawa ataupun
sejenisnya, meskipun sebenarnya sedang menahan, lantaran perkataan tersebut
keluar dari seorang Guru Besar (bahkan Profesor) Ekonomi Syariah yang cukup
berwibawa.
“Di Amerika itu, kita belanja apa saja jika masih dalam masa garansi, barangnya rusak ataupun tidak, masih bisa dikembalikan dan uang kita utuh dikembalikan juga, asalkan kita menjelaskan kekurangan atau keluhan yang nanti mereka catat betul sebagai laporan dari konsumen untuk produsen. Sedangkan di Indonesia, umumnya ada penjelasan ‘Barang Yang Sudah Dibeli Tidak Bisa Dikembalikan’ tidak peduli rusak atau masih bagus, pokoknya tidak bisa dikembalikan. Apanya yang Islami?”
Sampai
sekarang, ungkapan menggelitik di atas masih sering kami bincangkan. Tidak
hanya berkaitan dengan konsentrasi Hukum Bisnis Syariah yang sedang kami
geluti, namun juga dalam tataran isu-isu terkini. Sebab, pernyataan
kontradiktif dan pertanyaan retoris sang Profesor, telah membuka kerangka pikir
dasar tentang perbedaan sebuah substansi dengan labelitas, serta tentang kata
sifat dengan kata benda.
Uniknya,
sebagian kawan diskusi kadang kesulitan membedakan antara Negara Islami dengan
Negara Islam−tema yang cukup hangat
diperbincangkan. Tentu
saja, akan tidak paham jika tidak memiliki sensitifitas yang cukup terhadap
perbedaan makna penempatan kedua frasa di atas (Negara Islami dan Negara
Islam).
Telaah
Gramatikal
Sedikit
mengulas, frasa ‘Negara Islam’ terlepas dari praduga bahwa sebagian kelompok
mengidam-idamkan identitas tersebut. Dalam analisis gramatikal, ‘Negara Islam’
adalah frasa nominal, berunsur pusat pada kata benda. Lebih dominan kepada
penamaan serta penonjolan terhadap sebuah identitas. Jika ditarik lebih jauh,
refleksi Negara Islam bisa berupa, misalnya, memiliki Negara berlabel Islam
atau warga negara yang beridentitaskan Islam. Singkatnya, sudah cukup baginya jika
berhenti di situ, sekalipun tanpa menimbang sifat dari negara atau pun
warganya.
Sementara
frasa ‘Negara Islami’, secara gramatikal berbentuk frasa adjektiva, memiliki
unsur inti pada sifatnya. Karenanya, terkadang tidak peduli pada identitasnya,
namun sifatnya yang lebih mendominasi. Negara Islami tidak harus memiliki label
sebagai Negara Islam, dan tidak pula harus memiliki warga negara
beridentitaskan Islam, namun ketika negaranya, bangsanya atau pun masyarakatnya
memiliki sifat ke-Islam-an, pada saat itu pula pensifatan Islami melekat.
Nalar Filosofis
Nalar Filosofis
Dalam
nalar filosofis, ketika harus menguliti sebuah materi, maka yang penting
dilakukan adalah memisahkan antara sarana dengan tujuan. Dengan membedakan kedua aspek tersebut, selanjutnya dapat
dicermati makna inti dari materi.
Berkaitan
dengan Negara Islam, secara kasat mata dapat ditangkap tujuannya adalah eksistensi
sebuah negara yang memiliki identitas Islam. Selanjutnya, barangkali salah satu
sarananya adalah membangun identitas-identitas Islam dalam fitur sistemik.
Selebihnya, bisa dicari sendiri di berbagai referensi, pada kesempatan kali ini
penulis tidak ingin jauh mengulas, menghindari perdebatan politis.
Sementara,
Negara Islami, dilihat dari segi pensifatan tadi, tujuan akhirnya adalah nilai
luhur ke-Islam-an. Salah satu sarananya, misalnya, dengan membangun masyarakat berdasarkan
pemahaman, perilaku, atau potensi nilai luhur tersebut. Sesungguhnya prosesnya
tanpa melihat identitas, namun ketika identitasnya menggunakan Islam, secara
ideal mengharuskan didorong untuk lebih aplikatif. Maka kalimat sederhananya, Negara
Islami sebenarnya lebih substantif ketimbang Negara Islam.
Kembali
kepada perkataan Profesor, barangkali nilai luhur ke-Islam-an telah dipahami dan
dipraktekkan oleh mereka yang sengaja ataupun tidak menyadari norma tersebut adalah
kebijaksanaan. Sementara terkadang masyarakat Islam sudah terlalu merasa nyaman
kepada identitasnya, lalu justru absen dalam tataran substantif. Mari berkaca
diri dan bernegara secara Islami. Wallahu a’lam bishawab.
0 Response to "Negara Islam Dan Negara Islami"
Post a Comment