Negara Islam Dan Negara Islami

“Berdasarkan pengalaman saya menyambangi beberapa negara di dunia, Amerika adalah negara paling Islami, sedangkan Indonesia adalah negara paling tidak Islami.” Dengan suara serak basah, seorang pria paruh baya mengungkapkan kalimat yang memicu heningnya suasana ruangan. Kami tidak berani menyela, tertawa ataupun sejenisnya, meskipun sebenarnya sedang menahan, lantaran perkataan tersebut keluar dari seorang Guru Besar (bahkan Profesor) Ekonomi Syariah yang cukup berwibawa.


negara islami

“Di Amerika itu, kita belanja apa saja jika masih dalam masa garansi, barangnya rusak ataupun tidak, masih bisa dikembalikan dan uang kita utuh dikembalikan juga, asalkan kita menjelaskan kekurangan atau keluhan yang nanti mereka catat betul sebagai laporan dari konsumen untuk produsen. Sedangkan di Indonesia, umumnya ada penjelasan ‘Barang Yang Sudah Dibeli Tidak Bisa Dikembalikan’ tidak peduli rusak atau masih bagus, pokoknya tidak bisa dikembalikan. Apanya yang Islami?”
Sampai sekarang, ungkapan menggelitik di atas masih sering kami bincangkan. Tidak hanya berkaitan dengan konsentrasi Hukum Bisnis Syariah yang sedang kami geluti, namun juga dalam tataran isu-isu terkini. Sebab, pernyataan kontradiktif dan pertanyaan retoris sang Profesor, telah membuka kerangka pikir dasar tentang perbedaan sebuah substansi dengan labelitas, serta tentang kata sifat dengan kata benda.
Uniknya, sebagian kawan diskusi kadang kesulitan membedakan antara Negara Islami dengan Negara Islam−tema yang cukup hangat diperbincangkan. Tentu saja, akan tidak paham jika tidak memiliki sensitifitas yang cukup terhadap perbedaan makna penempatan kedua frasa di atas (Negara Islami dan Negara Islam).
Telaah Gramatikal
Sedikit mengulas, frasa ‘Negara Islam’ terlepas dari praduga bahwa sebagian kelompok mengidam-idamkan identitas tersebut. Dalam analisis gramatikal, ‘Negara Islam’ adalah frasa nominal, berunsur pusat pada kata benda. Lebih dominan kepada penamaan serta penonjolan terhadap sebuah identitas. Jika ditarik lebih jauh, refleksi Negara Islam bisa berupa, misalnya, memiliki Negara berlabel Islam atau warga negara yang beridentitaskan Islam. Singkatnya, sudah cukup baginya jika berhenti di situ, sekalipun tanpa menimbang sifat dari negara atau pun warganya.


Sementara frasa ‘Negara Islami’, secara gramatikal berbentuk frasa adjektiva, memiliki unsur inti pada sifatnya. Karenanya, terkadang tidak peduli pada identitasnya, namun sifatnya yang lebih mendominasi. Negara Islami tidak harus memiliki label sebagai Negara Islam, dan tidak pula harus memiliki warga negara beridentitaskan Islam, namun ketika negaranya, bangsanya atau pun masyarakatnya memiliki sifat ke-Islam-an, pada saat itu pula pensifatan Islami melekat.
Nalar Filosofis
Dalam nalar filosofis, ketika harus menguliti sebuah materi, maka yang penting dilakukan adalah memisahkan antara sarana dengan tujuan. Dengan membedakan  kedua aspek tersebut, selanjutnya dapat dicermati makna inti dari materi.
Berkaitan dengan Negara Islam, secara kasat mata dapat ditangkap tujuannya adalah eksistensi sebuah negara yang memiliki identitas Islam. Selanjutnya, barangkali salah satu sarananya adalah membangun identitas-identitas Islam dalam fitur sistemik. Selebihnya, bisa dicari sendiri di berbagai referensi, pada kesempatan kali ini penulis tidak ingin jauh mengulas, menghindari perdebatan politis.
Sementara, Negara Islami, dilihat dari segi pensifatan tadi, tujuan akhirnya adalah nilai luhur ke-Islam-an. Salah satu sarananya, misalnya, dengan membangun masyarakat berdasarkan pemahaman, perilaku, atau potensi nilai luhur tersebut. Sesungguhnya prosesnya tanpa melihat identitas, namun ketika identitasnya menggunakan Islam, secara ideal mengharuskan didorong untuk lebih aplikatif. Maka kalimat sederhananya, Negara Islami sebenarnya lebih substantif ketimbang Negara Islam.
Kembali kepada perkataan Profesor, barangkali nilai luhur ke-Islam-an telah dipahami dan dipraktekkan oleh mereka yang sengaja ataupun tidak menyadari norma tersebut adalah kebijaksanaan. Sementara terkadang masyarakat Islam sudah terlalu merasa nyaman kepada identitasnya, lalu justru absen dalam tataran substantif. Mari berkaca diri dan bernegara secara Islami. Wallahu a’lam bishawab.

0 Response to "Negara Islam Dan Negara Islami"

Post a Comment