Pemuda, Wirausaha, dan MEA

Oleh: Tomi Nurrohman

Secara definitif, WHO menyebut pemuda  sebagai ”young people” dengan batas usia 10-24 tahun, sedangkan usia 10-19 tahun disebut ”adolescenea” atau remaja. International Youth Year yang diselenggarakan tahun 1985, mendefinisikan penduduk berusia 15-24 tahun sebagai kelompok pemuda. Sedangkan menurut draft RUU Kepemudaan, Pemuda adalah mereka yang berusia antara 18 hingga 35 tahun. Semua definisi ini bermuara pada tolok ukur yang hampir sama, yakni tolok ukur psikologis dan biologis. Secara psikologis dan bilogis pemuda adalah mereka yang memilki jiwa yang dinamis, segar, progresif,  punya kemauan untuk maju, kreatif, dan fisik yang kuat.

Pemuda merupakan insan yang memilki keunggulan dibandingkan dengan kaum tua. Secara fisik, mereka masih kuat, secara mental mereka lebih kreatif dan dinamis. Keungulan inilah yang membawa pemuda untuk ikut andil dan berperan penting dalam setiap pergerakan bersejarah di tanah air.

Peran penting pemuda telah tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dimulai dari pergerakan Budi Utomo tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, proklamasi kemerdekaan tahun 1945, pergerakan pemuda, pelajar, dan mahasiswa tahun 1966, sampai dengan pergerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang meruntuhkan kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun sekaligus membawa bangsa Indonesia memasuki masa reformasi. Fakta historis ini menjadi salah satu bukti bahwa pemuda selama ini mampu berperan aktif sebagai pionir dalam proses perjuangan, pembaruan, dan pembangunan bangsa.

Desember 2015 lalu, indonesia sudah mulai menghadapi era pasar bebas ASEAN atau biasa dikenal dengan AEC (ASEAN Economic Comunity). ASEAN Economic Community merupakan sebuah komunitas negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN demi terwujudnya ekonomi yang terintegrasi. Negara – negara yang tergabung dalam AEC memberlakukan system single market dalam artian terbuka untuk melakukan perdagangan barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja. AEC dibentuk Setelah krisis ekonomi yang melanda khususnya kawasan Asia tenggara, para kepala Negara Asean pada KTT Asean ke-9 di Bali, Indonesia tahun 2003, menyepakati pembentukan komunitas ASEAN dalam bidang keamanan politik (ASEAN Political-Security Community), Ekonomi (ASEAN Economic Community), dan Sosial Budaya (ASEAN Socio-Culture Community) di kenal dengan Bali Concord II. Untuk pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015, ASEAN menyepakati perwujudannya diarahkan pada integrasi ekonomi kawasan yang implementasinya mengacu pada Asean Economic Community (AEC) Blueprint.

Banyak pihak yang menyangsikan kesiapan indonesia dalam menghadapi AEC. Indonesia hanya akan menjadi sasaran pasar dari sesama negara ASEAN. Betapa tidak, daya saing Indonesia sendiri berada pada posisi ke 40, lebih baik dari Filipina di urutan 59 dan Vietnam dengan rating 70, Laos 81, Kamboja 88 atau Myanmar di posisi 139. Indonesia masih berada di bawah Thailand dengan rating 37, Brunei Darussalam di posisi 26, dan Malaysia di peringkat ke 24. Ini menunjukan bahwa daya saing indonesia sangat lemah dibandingkan dengan negara tetangga. Padahal, indonesia adalah negara yang kaya akan SDA dan SDM yang berlimpah (secara kuantitatif). Ironi, jika kekayaan SDA yang dimilki indonesia tidak dibarengi kualitas SDM, sehingga kekayaan SDA yang ada tidak menjadikan indonesia sejahtera. Secara kuantitatif,  setengah dari jumlah penduduk negara yang tergabung ASEAN sebanyak ±600 juta jiwa, ±250 juta diantaranya merupakan penduduk indonesia. Yang berarti, hampir separuh pasar ASEAN berada di Indonesia.

Data BPS menunjukan, bahwa + 25% dari total penduduk indonesia adalah pemuda. Jumlah ini menjadi potensi yang cukup besar bagi bangsa ini untuk bisa meningkatkan daya saingnya dalam menghadapi AEC, terutama di bidang ekonomi. Pemuda perlu mengembangkan jiwa kewirausahaan. kenapa wirahusaha? Karena dengan wirausaha, pemuda dapat mengembangkan produk-produk lokal yang selama ini ekspor sebagai barang mentah yang rendah nilai tambahnya. Dengan sedikit sentuhan inovasi dan kreatifitas pemuda, produk-produk ini bisa diolah menjadi berbagai aneka produk yang siap konsumsi. Di sisi lain, hal ini akan meningkatkan nilai tambah produk dan di sisi lain, dapat meningkatkan daya saing indonesia dalam menghadapi serbuan barang-barang dari negara ASEAN yang lain. Berwirausaha juga akan menambah lapangan kerja baru sehingga mengurangi pengangguran.

Hal yang tidak kalah penting adalah, bahwa masyarakat indonesia masih memandang AEC sebagai sebuah ancaman. Paradigma ini perlu diubah, karena bagaimana pun indonesia sudah menghadapi AEC. Ide dibentuknya AEC adalah untuk memberikan perlindungan bagi pelaku pasar negara-negara ASEAN dari serbuan pasar negara-negara non-ASEAN. AEC harus dipandang sebagai sebuah alternatif yang solutif dalam menghadapi permasalahan dan meningkatkan daya saing negara di ASEAN. Oleh karena itu, masyarakat terutama pemuda perlu dan wajib untuk tetap optimis dalam menghadapai AEC.

Optimisme akan membawa pemuda untuk lebih bergeliat dalam mengembangkan jiwa wirausaha untuk mengahadapi AEC. Potensi-potensi lokal yang dimiliki indonesia bisa dijadikan aset yang bisa dikembangkan melalui pikiran-pikiran kreatif pemuda. Sehingga pemuda mampu melihat peluang-peluang lokal yang unik yang tidak akan ditemui di daerah lain di negara ASEAN. Untuk itu, pemuda juga harus memilki rasa nasionalisme dan cinta budaya indonesia, jangan sampai potensi lokal seperti batik dan kopi gayo asal Aceh yang pernah diklaim sebagai negara lain terjadi pada keunikan lokal yang lain. Pemuda di tuntut untuk memilki rasa empati dan kepekaan yang tinggi. agar potensi-potensi tadi tidak terabaikan dan dapat dioptimalkan.

Untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan ini, pemuda perlu mengembangkan dua skill sekaligus, yakni soft skill dan hard skill. Hard skill yaitu penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan teknis yang berhubungan dengan bidang keilmuan yang dipelajari. Sedangkan soft skill merupakan keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (inter-personal skill) dan ketrampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intra-personal skill) yang mampu mengembangkan untuk bekerja secara maksimal. Berwirausaha berarti mengerahkan seluruh potensi internal  dan eksternal yang ada. Hard skill memungkinkan pemuda untuk melakukan tindakan-tindakan teknis dalam berusaha, sedangkan soft skill sangat erat kaitannya dengan kepribadian pemuda itu sendiri yang akan berpengaruh terhadap usaha yang dijalankan, seperti menjalin hubungan dengan orang lain dalam rangka pemasaran dan kemampuan komunikasi baik verbal maupun non-verbal.

Yang tidak kalah penting adalah campur tangan pemerintah dalam menyokong usaha-usaha yang dilakukan pemuda melalui wirausaha. Pemerintah harus ikut andil dalam memberikan stimulus agar pemuda mampu berwirausaha tanpa hambatan yang berarti. Pemerintah dapat memberikan stimulus dengan mengadakan pelatihan-pelatihan keterampilan untuk membekali pemuda dengan keterampilan teknis. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan informasi tentang kondisi pasar agar para wirausahawan muda tidak terjebak dalam kungkungan informasi yang menyesatkan yang bisa mengancam usahanya. Pemerintah juga perlu mengembangkan KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk para pemuda dengan skema dan syarat yang sederhana dan dengan tingkat bunga atau bagi hasil yang sesuai dan tidak memberatkan. Usaha-usaha ini dilakukan selain untuk menambah minat berwirausaha, juga melindungi mereka yang sudah berusaha.

Lembaga pendidikan juga mengambil tugas yang penting dalam meningkatkan kualifikasi dan skill pemuda, pemerintah perlu mengembangkan kurikulum pendidikan yang berorientasi pada skill wirausaha. Pemuda dituntut untuk tidak terpaku untuk mengisi lapangan kerja yang ada, dan justru dituntut untuk bisa membuka lapangan kerja sendiri melalui wirausaha. Pada akhirnya, pengangguran intelektual yang selama ini banyak diduduki oleh pemuda dapat berkurang.

Pemuda mengambil peran yang signifikan dalam meningkatkan daya saing Indonesia untuk menghadapi AEC. Jiwa kreatif dan inovatif pemuda dapat dijadikan modal untuk mengembangkan dan mengolah potensi lokal. Potensi lokal yang berlimpah dapat dijadikan modal bagi pemuda untuk berwirausaha. Para pemuda dapat saling bersinergi untuk membangun jaringan dan saling bekerja sama, bahu-membahu untuk mengembangkan produk kreatifnya. Pada akhirnya, indonesia tidak hanya menjadi pasar potensial bagi negara lain, namun indonesia mampu menjadi produsen yang berkompeten dalam pasar lokal maupun di pasar negara lain di ASEAN.

0 Response to "Pemuda, Wirausaha, dan MEA"

Post a Comment