Aturan Registrasi: Solusi Atau Masalah?
Saturday, November 4, 2017
2 Comments
Yogyakarta,
Kominfo-Kementrian Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia melalui
Direktorat Jendral Informasi Dan Komunikasi Publik melaksanakan Dialog Publik
dengan tema ‘Aturan Registrasi Kartu SIM Prabayar dan Single Account Media
Sosial, Efektifkah Atasi Hoax?’. “Secara historis, aturan registrasi kartu SIM
Prabayar ini sebenarnya sudah diberlakukan sejak tahun 2005, namun saat itu
data yang digunakan untuk registrasi oleh pelanggan tidak disertai proses validasi
dari pihak operator, sehingga berpeluang besar terjadinya manipulasi data.
Sekalipun pelanggan melakukan registrasi dengan angka ngawur, operator
hanya mengiyakan dan tidak memiliki refrensi untuk melakukan proses validasi. Tujuan
registasi serta kejelasan identitas pun menjadi tidak valid,” kata Anggota BRTI
(Badan Regulasi Telekomonikasi Indonesia) Agung Harsoyo, Yogyakarta, Sabtu (4/11).
Registrasi
Mempermudah
Proses
registrasi kali ini dimaksudkan lebih efektif yaitu melengkapinya dengan tahap
validasi. Pelanggan melakukan registrasi menggunakan NIK dan No. KK dikirimkan
ke operator, selanjutnya operator mencocokkan data yang dimasukkan kepada
Ditjen Dukcapil (Direktorat Jendral Kependudukan Dan Catatan Sipil), hasilnya
adalah valid ataukah tidak komponen data yang dikirimkan tadi. Dalam hal ini,
masing-masing pengguna dapat melakukan registrasi sendiri sebanyak 3 (tiga)
nomor per 1 (satu) jenis operator, jika pengguna ingin melakukan registrasi
keempat kalinya dengan jenis operator yang sudah sebanyak 3 (tiga) nomor
teregistrasi, maka pengguna harus datang ke galeri operator tersebut membawa
data diri dan dibantu oleh customer service. “Jika anda memiliki 3
(tiga) nomor dari 5 (lima) operator, artinya anda memiliki nomor berjumlah 15 (lima belas). Saya rasa itu too much,” canda
Agung mengenai aturan ini.
Agung
menjelaskan bahwa, secara filosofis, diberlakukannya regulasi terkait
registrasi dengan langkah yang baru bertujuan untuk meminimalisir anonymous (pengguna
tanpa ada identitas asli) di dunia maya. “Merespon laporan terkait kriminalitas
dengan saranan mobile phone berupa panggilan atau pesan yang ternyata
sudah berbentuk sindikat, maka BRTI kemudian memikirkan regulasi baru untuk
membendung tindakan itu. Terlebih penggunaan internet yang sangat masif di era
sekarang ini. Dunia digital adalah keniscayaan, jika tidak dari sekarang
ditertibkan dalam proses registrasinya, maka kekacauan di masa depan juga sukar
dihentikan,” tambahnya menegaskan.
Bahaya Hoaks
Hoaks menurut
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) terbaru adalah berita palsu. Berkaitan
dengan hoaks, Fathul Wahid Pakar IT mengajak peserta dialog mengkaji dunia maya
secara interaksionisme simbolik. Hoaks adalah fenomena yang sebenarnya tidak
baru, di berbagai negara selain Indonesia juga mengalami permasalahan ini. Dengan
adanya hoaks, Interaksi antara pengguna di dunia maya menjadi bias. Informasi
yang seharusnya bersifat mencerdaskan bagi pengguna menjadi tidak jelas.
Dahulu,
masyarakat ingin mencari informasi harus menempuh tahap yang sulit, misalnya
pergi ke kantor media massa atau paling tidak harus mencari dari sumber media
massa dengan filter yang cukup memadai. Artinya aliran informasi zaman dahulu
berbanding lurus dengan tingginya perhatian masyarakat terhadap informasi. Hasilnya,
informasi yang didapatkan adalah minimal informasi yang sudah disaring secara
sadar dan dengan penuh perhatian masyarakat pencari informasi.
Berbeda
dengan era sekarang, masyarakat melalui dunia digital telah disuguhi informasi
dengan aliran yang sangat deras dan tidak dibarengi dengan filter yang memadai.
Sebab, tidak punya waktu yang lebih untuk memperhatikan kevalidan informasi
tersebut. Tidak banyak waktu untuk melakukan verivikasi ke sumbernya, bahkan
sekelas kaum intelektual.
Dampaknya
adalah proses penerimaan atau pembenaran informasi tersebut lebih didominasi oleh
penilaian-penilaian pribadi atau kecenderungan pribadi. Ketika, misalnya,
seseorang cenderung percaya dengan narasi tertentu sebuah kelompok yang
menyerang kelompok lain, celakanya saat itu yang mendistribusikan hoaks adalah
kelompok itu, seorang ini akan percaya berdasarkan kecenderungan pribadinya. Bahwa
konfirmasi penilaian seseorang terhadap derasnya informasi lebih kepada
kecenderungan orentasi narasi tertentu atau pun afiliasi kelompok tertentu,
bukan berdasarkan kebenaran sebagaimana mestinya sebuah informasi. Para pelaku
hoaks menjadi mudah menjual informasinya, hanya dengan berselancar sesuai alur
orentasi tertentu, lalu berhasil memberdaya ketidakjelian kelompok tertentu.
Sehingga informasi di dunia maya menjadi bias.
“Seseorang
yang melihat begitu banyaknya informasi di branda dengan versi yang
berbeda-beda dalam satu hal yang sama, konfirmasi penerimaan informasi tersebut
yang dapat digunakan akhirnya adalah kecenderungan pribadi, sekalipun itu ternyata
hoaks. Dampak terdekat adalah perdebatan antar pengguna dengan sumber informasi
sesuai kecenderungan. Berhenti di sini masih bagus. Celakanya, serting terjadi debat
sambil maki-maki, setelah diusut ternyata akun anonymus. Nah, wajar dia
berani begitu, karena orang sulit tahu siapa dia aslinya. Pada akhirnya,
kehidupan dunia maya menjadi kehidupan yang hilang rasa empati kemanusiaanya. Dengan
kondisi kacau seperti ini bagaimana nasib adab generasi milenial nantinya.
Lebih bahaya lagi, jika perkelahian dunia digital dibawa hingga dunia nyata, adu
jotos karena debat berdasarkan hoaks,” paparan Fathul Wahid mengenai
bahayanya hoaks.
Era digital
memiliki dua mata pisau yang dapat mendorong manusia lebih bahagia, atau
sebaliknya membuat manusia tidak bahagia. Dampak yang mendominasi dengan adanya
hoaks, sebagian besar user merasa tidak bahagia. “Kategori tidak bahagia
adalah minimal perdebatan, maki-makian, atau unfriend. Kalau sudah unfriend,
maka terjadi polarisasi ‘aku dan kamu’. Sehingga informasi yang kita
dapatkan di branda kita menjadi informasi yang tidak beragam, hanya satu
orentasi narasi yaitu sesuai kecenderungan kita. Kita kehilangan referensi
informasi yang lain, sebab kita unfriend”, Fathul menegaskan dampak
adanya hoaks.
Sukamta
Anggota Komisi 1 DPR RI menjelaskan bahwa berkembangnya era digital
mengharuskan adanya peraturan khusus. Terlebih mengingat saat ini aturan
registrasi menggunakan NIK dan No.KK yang dua komponen data tersebut fungsinya
sangat krusial bagi pemiliknya. Regulasi khusus mengenai Keamanan Data sangat
diperlukan. Adapun teknis sistem keamanan, sepenuhnya adalah kewajiban
pemerintah, agar data tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak tertentu. Fungsi
utama lembaga negara adalah melindungi rakyatnya, serta membuat rakyat merasa
nyaman.
Dari
penjelasan Sukamta, melalui Pemerintah regulasi terkait Keamanan Data akan
segera diajukan kemudian dikaji oleh DPR. Dengan keyakinan bahwa aturan
registrasi yang diberlakukan baru-baru ini memang bertujuan baik, yaitu
mencegah tindak kejahatan memakai perangkat telekomunikasi. Berkaitan dengan
hoaks, Sukamta juga mengajak peserta Dialog untuk menjadi agen yang melawan
hoaks, dengan tidak mudah percaya dan harus melakukan pencermatan terhadap
sumber informasi, betapapun informasi itu didistribusikan oleh pihak otoritas. “Manusia
harus lebih smart dari pada smarphone-nya, waspadai hoaks dari
mana saja, kita harus lebih cerdas”, ucapnya.
Konsekuensi
Logis
Dialog ini,
menegaskan bahwa Indonesia sedang menempuh fase perkembangan dunia digital. Keberlangsungan
fase ini yang secara masif, sementara tidak mengimbanginya dengan regulasi yang
memadai, akan menghasilkan kegaduhan. Sejauh ini, kegaduhan sudah terjadi
melalui, misalnya penipuan modus telekomunikasi, peretasan akun, pemfitnahan
dan pendistribusian berita hoaks. Melalui Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2016
tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, pemerintah mendata pengguna
telekomunikasi, dengan maksud pelaku tindakan yang merugikan dapat segera
teridentifikasi.
Paling
tidak, ada dua konsekuensi logis yang harus diperhatikan Pemerintah dari aturan
ini yaitu; pertama, terdapat kemungkinan pengaksesan data krusial
pengguna telekomunikasi oleh pihak selain pemilik data tersebut; kedua, perilaku
pengguna meregistrasi dengan data (NIK dan No.KK) selain miliknya. Berkaitan
dengan permasalahan pertama, Pemerintah dan DPR nampaknya sudah memikirkan solusinya
dengan rancangan Regulasi Keamanan Data. Namun, terkait masalah kedua nampaknya
belum terdapat penjelasan spesifik untuk mengatasinya.
Maka
masukan kepada Pemerintah, semestinya dirancang pula sistem yang memungkinkan
bagi masyarakat untuk mengakses secara online ke data base yang terintegrasi. Dalam
data base tersebut harus terdapat aktivitas pengguna dengan identifikasi NIK, berkaitan;
nomor yang digunakan / diregistrasi, akun yang dimiliki, serta wilayah mana
yang disinggahi. Dengan data tersebut, selanjutnya pengguna berdasarkan NIK
dapat login dan melakukan pengawasan terhadap aktivitas NIK-nya. Sistem
ini akan mungkinkan adanya verifikasi secara pasti dan adil oleh pengguna asli
untuk mengakui aktivitas tersebut atau melaporkan aktivitas yang terdata kepada
pemerintah, alhasil pemerintah dapat dengan mudah mengetahui NIK mana
saja yang disalahgunakan.
Mantab jiwa
ReplyDeletepanjang umur perjuangan :D
Delete