Aturan Registrasi: Solusi Atau Masalah?

Yogyakarta, Kominfo-Kementrian Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia melalui Direktorat Jendral Informasi Dan Komunikasi Publik melaksanakan Dialog Publik dengan tema ‘Aturan Registrasi Kartu SIM Prabayar dan Single Account Media Sosial, Efektifkah Atasi Hoax?’. “Secara historis, aturan registrasi kartu SIM Prabayar ini sebenarnya sudah diberlakukan sejak tahun 2005, namun saat itu data yang digunakan untuk registrasi oleh pelanggan tidak disertai proses validasi dari pihak operator, sehingga berpeluang besar terjadinya manipulasi data. Sekalipun pelanggan melakukan registrasi dengan angka ngawur, operator hanya mengiyakan dan tidak memiliki refrensi untuk melakukan proses validasi. Tujuan registasi serta kejelasan identitas pun menjadi tidak valid,” kata Anggota BRTI (Badan Regulasi Telekomonikasi Indonesia) Agung Harsoyo, Yogyakarta, Sabtu (4/11).


registrasi

Registrasi Mempermudah
Proses registrasi kali ini dimaksudkan lebih efektif yaitu melengkapinya dengan tahap validasi. Pelanggan melakukan registrasi menggunakan NIK dan No. KK dikirimkan ke operator, selanjutnya operator mencocokkan data yang dimasukkan kepada Ditjen Dukcapil (Direktorat Jendral Kependudukan Dan Catatan Sipil), hasilnya adalah valid ataukah tidak komponen data yang dikirimkan tadi. Dalam hal ini, masing-masing pengguna dapat melakukan registrasi sendiri sebanyak 3 (tiga) nomor per 1 (satu) jenis operator, jika pengguna ingin melakukan registrasi keempat kalinya dengan jenis operator yang sudah sebanyak 3 (tiga) nomor teregistrasi, maka pengguna harus datang ke galeri operator tersebut membawa data diri dan dibantu oleh customer service. “Jika anda memiliki 3 (tiga) nomor dari 5 (lima) operator, artinya anda memiliki nomor berjumlah 15 (lima belas). Saya rasa itu too much,” canda Agung mengenai aturan ini.

Agung menjelaskan bahwa, secara filosofis, diberlakukannya regulasi terkait registrasi dengan langkah yang baru bertujuan untuk meminimalisir anonymous (pengguna tanpa ada identitas asli) di dunia maya. “Merespon laporan terkait kriminalitas dengan saranan mobile phone berupa panggilan atau pesan yang ternyata sudah berbentuk sindikat, maka BRTI kemudian memikirkan regulasi baru untuk membendung tindakan itu. Terlebih penggunaan internet yang sangat masif di era sekarang ini. Dunia digital adalah keniscayaan, jika tidak dari sekarang ditertibkan dalam proses registrasinya, maka kekacauan di masa depan juga sukar dihentikan,” tambahnya menegaskan.

Bahaya Hoaks
Hoaks menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) terbaru adalah berita palsu. Berkaitan dengan hoaks, Fathul Wahid Pakar IT mengajak peserta dialog mengkaji dunia maya secara interaksionisme simbolik. Hoaks adalah fenomena yang sebenarnya tidak baru, di berbagai negara selain Indonesia juga mengalami permasalahan ini. Dengan adanya hoaks, Interaksi antara pengguna di dunia maya menjadi bias. Informasi yang seharusnya bersifat mencerdaskan bagi pengguna menjadi tidak jelas.

Dahulu, masyarakat ingin mencari informasi harus menempuh tahap yang sulit, misalnya pergi ke kantor media massa atau paling tidak harus mencari dari sumber media massa dengan filter yang cukup memadai. Artinya aliran informasi zaman dahulu berbanding lurus dengan tingginya perhatian masyarakat terhadap informasi. Hasilnya, informasi yang didapatkan adalah minimal informasi yang sudah disaring secara sadar dan dengan penuh perhatian masyarakat pencari informasi.



Berbeda dengan era sekarang, masyarakat melalui dunia digital telah disuguhi informasi dengan aliran yang sangat deras dan tidak dibarengi dengan filter yang memadai. Sebab, tidak punya waktu yang lebih untuk memperhatikan kevalidan informasi tersebut. Tidak banyak waktu untuk melakukan verivikasi ke sumbernya, bahkan sekelas kaum intelektual.

Dampaknya adalah proses penerimaan atau pembenaran informasi tersebut lebih didominasi oleh penilaian-penilaian pribadi atau kecenderungan pribadi. Ketika, misalnya, seseorang cenderung percaya dengan narasi tertentu sebuah kelompok yang menyerang kelompok lain, celakanya saat itu yang mendistribusikan hoaks adalah kelompok itu, seorang ini akan percaya berdasarkan kecenderungan pribadinya. Bahwa konfirmasi penilaian seseorang terhadap derasnya informasi lebih kepada kecenderungan orentasi narasi tertentu atau pun afiliasi kelompok tertentu, bukan berdasarkan kebenaran sebagaimana mestinya sebuah informasi. Para pelaku hoaks menjadi mudah menjual informasinya, hanya dengan berselancar sesuai alur orentasi tertentu, lalu berhasil memberdaya ketidakjelian kelompok tertentu. Sehingga informasi di dunia maya menjadi bias.

“Seseorang yang melihat begitu banyaknya informasi di branda dengan versi yang berbeda-beda dalam satu hal yang sama, konfirmasi penerimaan informasi tersebut yang dapat digunakan akhirnya adalah kecenderungan pribadi, sekalipun itu ternyata hoaks. Dampak terdekat adalah perdebatan antar pengguna dengan sumber informasi sesuai kecenderungan. Berhenti di sini masih bagus. Celakanya, serting terjadi debat sambil maki-maki, setelah diusut ternyata akun anonymus. Nah, wajar dia berani begitu, karena orang sulit tahu siapa dia aslinya. Pada akhirnya, kehidupan dunia maya menjadi kehidupan yang hilang rasa empati kemanusiaanya. Dengan kondisi kacau seperti ini bagaimana nasib adab generasi milenial nantinya. Lebih bahaya lagi, jika perkelahian dunia digital dibawa hingga dunia nyata, adu jotos karena debat berdasarkan hoaks,” paparan Fathul Wahid mengenai bahayanya hoaks.



Era digital memiliki dua mata pisau yang dapat mendorong manusia lebih bahagia, atau sebaliknya membuat manusia tidak bahagia. Dampak yang mendominasi dengan adanya hoaks, sebagian besar user merasa tidak bahagia. “Kategori tidak bahagia adalah minimal perdebatan, maki-makian, atau unfriend. Kalau sudah unfriend, maka terjadi polarisasi ‘aku dan kamu’. Sehingga informasi yang kita dapatkan di branda kita menjadi informasi yang tidak beragam, hanya satu orentasi narasi yaitu sesuai kecenderungan kita. Kita kehilangan referensi informasi yang lain, sebab kita unfriend”, Fathul menegaskan dampak adanya hoaks.

Sukamta Anggota Komisi 1 DPR RI menjelaskan bahwa berkembangnya era digital mengharuskan adanya peraturan khusus. Terlebih mengingat saat ini aturan registrasi menggunakan NIK dan No.KK yang dua komponen data tersebut fungsinya sangat krusial bagi pemiliknya. Regulasi khusus mengenai Keamanan Data sangat diperlukan. Adapun teknis sistem keamanan, sepenuhnya adalah kewajiban pemerintah, agar data tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak tertentu. Fungsi utama lembaga negara adalah melindungi rakyatnya, serta membuat rakyat merasa nyaman.

Dari penjelasan Sukamta, melalui Pemerintah regulasi terkait Keamanan Data akan segera diajukan kemudian dikaji oleh DPR. Dengan keyakinan bahwa aturan registrasi yang diberlakukan baru-baru ini memang bertujuan baik, yaitu mencegah tindak kejahatan memakai perangkat telekomunikasi. Berkaitan dengan hoaks, Sukamta juga mengajak peserta Dialog untuk menjadi agen yang melawan hoaks, dengan tidak mudah percaya dan harus melakukan pencermatan terhadap sumber informasi, betapapun informasi itu didistribusikan oleh pihak otoritas. “Manusia harus lebih smart dari pada smarphone-nya, waspadai hoaks dari mana saja, kita harus lebih cerdas”, ucapnya.

Konsekuensi Logis
Dialog ini, menegaskan bahwa Indonesia sedang menempuh fase perkembangan dunia digital. Keberlangsungan fase ini yang secara masif, sementara tidak mengimbanginya dengan regulasi yang memadai, akan menghasilkan kegaduhan. Sejauh ini, kegaduhan sudah terjadi melalui, misalnya penipuan modus telekomunikasi, peretasan akun, pemfitnahan dan pendistribusian berita hoaks. Melalui Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, pemerintah mendata pengguna telekomunikasi, dengan maksud pelaku tindakan yang merugikan dapat segera teridentifikasi.

Paling tidak, ada dua konsekuensi logis yang harus diperhatikan Pemerintah dari aturan ini yaitu; pertama, terdapat kemungkinan pengaksesan data krusial pengguna telekomunikasi oleh pihak selain pemilik data tersebut; kedua, perilaku pengguna meregistrasi dengan data (NIK dan No.KK) selain miliknya. Berkaitan dengan permasalahan pertama, Pemerintah dan DPR nampaknya sudah memikirkan solusinya dengan rancangan Regulasi Keamanan Data. Namun, terkait masalah kedua nampaknya belum terdapat penjelasan spesifik untuk mengatasinya.


Maka masukan kepada Pemerintah, semestinya dirancang pula sistem yang memungkinkan bagi masyarakat untuk mengakses secara online ke data base yang terintegrasi. Dalam data base tersebut harus terdapat aktivitas pengguna dengan identifikasi NIK, berkaitan; nomor yang digunakan / diregistrasi, akun yang dimiliki, serta wilayah mana yang disinggahi. Dengan data tersebut, selanjutnya pengguna berdasarkan NIK dapat login dan melakukan pengawasan terhadap aktivitas NIK-nya. Sistem ini akan mungkinkan adanya verifikasi secara pasti dan adil oleh pengguna asli untuk mengakui aktivitas tersebut atau melaporkan aktivitas yang terdata kepada pemerintah, alhasil pemerintah dapat dengan mudah mengetahui NIK mana saja yang disalahgunakan. 

2 Responses to "Aturan Registrasi: Solusi Atau Masalah?"