Rempah Indonesia
Tuesday, October 3, 2017
Add Comment
Beberapa rempah-rempah (spices) memiliki harga tinggi. Termahal adalah Saffron. Saffron dipanen dari bunga Crocus. Per gram Saffron dihasilkan dari 150 bunga Crocus. Per bunga hanya menghasilkan 3 helai. Iran adalah negara penghasil Saffron terbanyak di dunia. Lebih dari 90% produksi Saffron dunia berasal dari Iran. Penanaman, pemanenan dan pengolahan hingga siap konsumsi hanya bisa dilakukan manual. Harga Saffron kualitas terbaik, per gramnya bisa tak jauh beda dengan emas. Per tahun produksi Saffron hanya 250-300 ton.
Berturut-turut rempah yang harganya juga terhitung mahal, walau tak semahal Saffron, adalah Vanilla (Vanili), Cengkeh (Clove), Kapulaga (Cardamom), Lada Hitam (Black Pepper). Seterus dalam tulisan ini, saya akan menggunakan nama komoditas dalam Bahasa Indonesia.
Vanili
Vanili diproduksi tidak begitu banyak di dunia. Bisa jadi cuma ada 8-10 ribu ton panenan biji Vanili per tahun. Sama dengan Saffron, penanaman, pemanenan Vanili membutuhkan banyak tenaga manusia. Terutama saat penyerbukan. Polinasi dilakukan manual satu per satu.
Tahukah anda negara penghasil Vanili terbanyak di dunia? Indonesia kita ini. Posisinya susul menyusul dengan Madagaskar. Indonesia dan Madagaskar menguasai 80% bahkan lebih, produksi Vanili dunia.
Cengkeh
Bunga Cengkeh yang belum mekar adalah komoditas yang dipanen. Cengkeh di dunia, digunakan untuk bumbu dan parfum. Anti oksidan dalam cengkeh juga lumayan tinggi. Di Indonesia, 90% produksi Cengkeh dikonsumsi hanya oleh satu industri: kretek.
Rasanya tidak sulit menebak negara penghasil Cengkeh terbanyak di dunia. Ya, Indonesia adalah produsen Cengkeh utama dunia. Dapat dikatakan 80-90% produksi Cengkeh dunia dihasilkan Indonesia. Sisanya Zanzibar, Tanzania, India, Pakistan dan Madagaskar dalam produksi yang sangat sangat kecil dibandingkan Indonesia.
Lahan Cengkeh nasional pernah mencapai puncaknya dengan luas 700 ribu hektar lebih. Sampai kemudian Pangeran Cendana yang diamini pengambil kebijakan membentuk BPPC. Petani kecewa dan menebangi pohon Cengkeh yang menjadi sandaran hidup mereka. Lahan Cengkeh terjun bebas ke 200rb hektar. Petani stress. Piye? Penak zamanku, to? Opo-opo iso diatur sak karep-karepe. Berani melawan? Bedil ndasmu.
Kalau tidak salah ingat, Gus Dur membubarkan BPPC. Harga Cengkeh mulai rebound, Cengkeh mulai ditanam lagi. Saat ini pun, luas lahan Cengkeh nasional belum menyamai lahan sebelum ada BPPC namun produktivitas per hektarnya jauh lebih tinggi.
Kapulaga
Rempah ini digunakan untuk berbagai bumbu kari dan briyani. Juga digunakan untuk memperkaya rasa kopi, teh dan kue-kue. Di Indonesia bersama dengan Cengkeh, Kapulaga digunakan juga untuk bahan campuran dalam rokok kretek.
Produksi Kapulaga nasional terus meningkat. Saat ini Indonesia ada di peringkat ketiga sebagai produsen Kapulaga terbanyak di dunia. Di bawah Guatemala dan India. Kalau melihat tren produksi Kapulaga, sepertinya Indonesia bisa menduduki ranking 2 di masa-masa yang akan datang.
Kayu Manis
Banyak cerita saya dapatkan dari Kayu Manis. Salah satunya adalah bumbu masak tertua yang pernah digunakan manusia. Kayu Manis digunakan di Mesir Kuno sekitar 5000 tahun lalu.
Kayu Manis juga dipercaya menjadi suplemen yang membantu meringankan berbagai macam sakit. Tentunya dipergunakan dengan campuran produk lainnya. Kayu Manis dengan madu misalnya, bisa mengurangi sakit radang sendi dan perut kembung. Tapi saya belum lihat/baca ada uji lab yang serius.
Lagi-lagi di salah satu rempah termahal ini, Indonesia menduduki ranking pertama. 43% Kayu Manis dunia berasal dari Indonesia. Disusul kemudian oleh China dengan produksi 33% dari total produksi global.
Produksi Kayu Manis Indonesia paling banyak dihasilkan dari sekitar Gunung Kerinci. Ada yang bilang 70% - 90% Kayu Manis Indonesia berasal dari sekitar Gunung Kerinci. Produksi nasional sekitar 90-100 ribu ton/tahun.
Lada Hitam
Indonesia menduduki peringkat kedua dunia dalam produksi Lada Hitam global. Ranking 1 adalah negara tetangga, Vietnam.
Indonesia memproduksi dua jenis lada, hitam dan putih. Lada Hitam terkenal adalah produksi Lampung, Lada Putih dari Bangka Belitung yang dikenal dunia dengan nama Muntok White Pepper. Saat ke Belitung, saya baru tahu jika Lada Hitam dan Lada Putih berasal dari Lada yang sama namun beda proses pengolahan. Yang putih lebih ribet. Walau menduduki ranking 2 dunia, produktivitas Lada Indonesia per hektar baru 0,8 ton. Jauh di bawah Vietnam dan Brasil yang sudah 2,1 ton dan China yang sudah 1,2 ton. Dengan luas lahan 165 ribu hektar lebih, jika produktivitas per hektar digenjot, maka bukan tidak mungkin Indonesia menduduki peringkat pertama produsen Lada dunia.
Yang unik, meskipun Vietnam adalah produsen Lada terbanyak di dunia, negara tersebut mengimpor Lada dari Indonesia. Vietnam adalah importer Lada Indonesia terbesar dengan nilai impor per 2015 mencapai $180 juta.
Kira-kira ketika Lada Indonesia sampai Vietnam, apa netizen Vietnam mencaci pemerintahnya dengan kalimat, Apa apa kok impor? Kapan negara ini swasembada? Negara gagal!
***
Selain rempah, Indonesia juga cukup berpengaruh di komoditas kopi, Kakao, Teh, Karet, Kelapa, Sagu, dan (uhuk) Kelapa Sawit. Belum termasuk tanaman bio farmaka seperti jahe, kunyit, laos, temulawak, dll.
Demikian besar berkah alam dalam bentuk komoditas di Indonesia. Rempah, hasil kebun, bio farmaka, juga beberapa buah tropis yang eksotik. Jika dikembangkan dengan strategi industri tengah dan final, nilai tambahnya akan kian besar. Tenaga kerja yang direkrut juga akan kian banyak. Mayoritas penghasil rempah juga masyarakat biasa, bukan konglomerasi.
Namun perhatian pemerintah rasanya sungguh minim. Informasi-informasi produk dalam negeri mendunia pun jarang. Justru negara sibuk komunikasi swasembada padi dan jagung yang entah swasembada beneran atau cuma angka di atas kertas. Tengok saja yang bilang swasembada beras dengan produksi Gabah Kering Giling (GKG) 80 juta ton. Itu setara beras 48-50 juta ton. Konsumsi 3,5 juta ton/bulan atau 42 juta ton. Harusnya di atas kertas berlebih 6-8 juta ton beras. Harusnya harga turun dan bahkan ekspor dalam jumlah besar. Nyatanya? Jagung katanya swasembada. Tanyalah peternak ayam petelur dan pedagang kelas kecil dan menengah yang anda kenal. Apakah harga jagung hari ini membahagiakan mereka? Yang pasti dana untuk swasembada-swasembadaan padi-jagung ini triliunan.
Swasembada omong kosong berikutnya adalah Bawang Putih yang 96-97% konsumsi dalam negeri dipenuhi impor. Juga kedelai yang 70% impor. Biaya untuk 'mengejar swasembada' ini triliunan dan entah hasilnya apa. Kalau gagal sekalipun tidak akan dianggap kerugian negara.
Yang tidak mungkin swasembada diuber-uber agar swasembada. Dibungkus casing nasionalisme dan atas nama rakyat. Kadang saya juga melihat hestek di media sosial bertaburan seolah sukses ini itu di pertanian. Duh, sungguh aku merasa embuh.
Yang jelas-jelas sudah mampu menorehkan produksi besar level global tak diurus sungguh cara ekspor agar lebih mudah. Tidak ada ajakan menarik investasi pengolah rempah dengan branding yang membuat nama Indonesia mendunia dan mengintegrasikannya dengan petani lokal.
Kadang kita sibuk mengejar apa yang tidak kita miliki. Sampai lupa dengan sedemikian banyak yang sudah ada dalam genggaman.
Penulis: Kokok Herdhianto Dirgantoro
Berturut-turut rempah yang harganya juga terhitung mahal, walau tak semahal Saffron, adalah Vanilla (Vanili), Cengkeh (Clove), Kapulaga (Cardamom), Lada Hitam (Black Pepper). Seterus dalam tulisan ini, saya akan menggunakan nama komoditas dalam Bahasa Indonesia.
Vanili
Vanili diproduksi tidak begitu banyak di dunia. Bisa jadi cuma ada 8-10 ribu ton panenan biji Vanili per tahun. Sama dengan Saffron, penanaman, pemanenan Vanili membutuhkan banyak tenaga manusia. Terutama saat penyerbukan. Polinasi dilakukan manual satu per satu.
Tahukah anda negara penghasil Vanili terbanyak di dunia? Indonesia kita ini. Posisinya susul menyusul dengan Madagaskar. Indonesia dan Madagaskar menguasai 80% bahkan lebih, produksi Vanili dunia.
Cengkeh
Bunga Cengkeh yang belum mekar adalah komoditas yang dipanen. Cengkeh di dunia, digunakan untuk bumbu dan parfum. Anti oksidan dalam cengkeh juga lumayan tinggi. Di Indonesia, 90% produksi Cengkeh dikonsumsi hanya oleh satu industri: kretek.
Rasanya tidak sulit menebak negara penghasil Cengkeh terbanyak di dunia. Ya, Indonesia adalah produsen Cengkeh utama dunia. Dapat dikatakan 80-90% produksi Cengkeh dunia dihasilkan Indonesia. Sisanya Zanzibar, Tanzania, India, Pakistan dan Madagaskar dalam produksi yang sangat sangat kecil dibandingkan Indonesia.
Lahan Cengkeh nasional pernah mencapai puncaknya dengan luas 700 ribu hektar lebih. Sampai kemudian Pangeran Cendana yang diamini pengambil kebijakan membentuk BPPC. Petani kecewa dan menebangi pohon Cengkeh yang menjadi sandaran hidup mereka. Lahan Cengkeh terjun bebas ke 200rb hektar. Petani stress. Piye? Penak zamanku, to? Opo-opo iso diatur sak karep-karepe. Berani melawan? Bedil ndasmu.
Kalau tidak salah ingat, Gus Dur membubarkan BPPC. Harga Cengkeh mulai rebound, Cengkeh mulai ditanam lagi. Saat ini pun, luas lahan Cengkeh nasional belum menyamai lahan sebelum ada BPPC namun produktivitas per hektarnya jauh lebih tinggi.
Kapulaga
Rempah ini digunakan untuk berbagai bumbu kari dan briyani. Juga digunakan untuk memperkaya rasa kopi, teh dan kue-kue. Di Indonesia bersama dengan Cengkeh, Kapulaga digunakan juga untuk bahan campuran dalam rokok kretek.
Produksi Kapulaga nasional terus meningkat. Saat ini Indonesia ada di peringkat ketiga sebagai produsen Kapulaga terbanyak di dunia. Di bawah Guatemala dan India. Kalau melihat tren produksi Kapulaga, sepertinya Indonesia bisa menduduki ranking 2 di masa-masa yang akan datang.
Kayu Manis
Banyak cerita saya dapatkan dari Kayu Manis. Salah satunya adalah bumbu masak tertua yang pernah digunakan manusia. Kayu Manis digunakan di Mesir Kuno sekitar 5000 tahun lalu.
Kayu Manis juga dipercaya menjadi suplemen yang membantu meringankan berbagai macam sakit. Tentunya dipergunakan dengan campuran produk lainnya. Kayu Manis dengan madu misalnya, bisa mengurangi sakit radang sendi dan perut kembung. Tapi saya belum lihat/baca ada uji lab yang serius.
Lagi-lagi di salah satu rempah termahal ini, Indonesia menduduki ranking pertama. 43% Kayu Manis dunia berasal dari Indonesia. Disusul kemudian oleh China dengan produksi 33% dari total produksi global.
Produksi Kayu Manis Indonesia paling banyak dihasilkan dari sekitar Gunung Kerinci. Ada yang bilang 70% - 90% Kayu Manis Indonesia berasal dari sekitar Gunung Kerinci. Produksi nasional sekitar 90-100 ribu ton/tahun.
Lada Hitam
Indonesia menduduki peringkat kedua dunia dalam produksi Lada Hitam global. Ranking 1 adalah negara tetangga, Vietnam.
Indonesia memproduksi dua jenis lada, hitam dan putih. Lada Hitam terkenal adalah produksi Lampung, Lada Putih dari Bangka Belitung yang dikenal dunia dengan nama Muntok White Pepper. Saat ke Belitung, saya baru tahu jika Lada Hitam dan Lada Putih berasal dari Lada yang sama namun beda proses pengolahan. Yang putih lebih ribet. Walau menduduki ranking 2 dunia, produktivitas Lada Indonesia per hektar baru 0,8 ton. Jauh di bawah Vietnam dan Brasil yang sudah 2,1 ton dan China yang sudah 1,2 ton. Dengan luas lahan 165 ribu hektar lebih, jika produktivitas per hektar digenjot, maka bukan tidak mungkin Indonesia menduduki peringkat pertama produsen Lada dunia.
Yang unik, meskipun Vietnam adalah produsen Lada terbanyak di dunia, negara tersebut mengimpor Lada dari Indonesia. Vietnam adalah importer Lada Indonesia terbesar dengan nilai impor per 2015 mencapai $180 juta.
Kira-kira ketika Lada Indonesia sampai Vietnam, apa netizen Vietnam mencaci pemerintahnya dengan kalimat, Apa apa kok impor? Kapan negara ini swasembada? Negara gagal!
***
Selain rempah, Indonesia juga cukup berpengaruh di komoditas kopi, Kakao, Teh, Karet, Kelapa, Sagu, dan (uhuk) Kelapa Sawit. Belum termasuk tanaman bio farmaka seperti jahe, kunyit, laos, temulawak, dll.
Demikian besar berkah alam dalam bentuk komoditas di Indonesia. Rempah, hasil kebun, bio farmaka, juga beberapa buah tropis yang eksotik. Jika dikembangkan dengan strategi industri tengah dan final, nilai tambahnya akan kian besar. Tenaga kerja yang direkrut juga akan kian banyak. Mayoritas penghasil rempah juga masyarakat biasa, bukan konglomerasi.
Namun perhatian pemerintah rasanya sungguh minim. Informasi-informasi produk dalam negeri mendunia pun jarang. Justru negara sibuk komunikasi swasembada padi dan jagung yang entah swasembada beneran atau cuma angka di atas kertas. Tengok saja yang bilang swasembada beras dengan produksi Gabah Kering Giling (GKG) 80 juta ton. Itu setara beras 48-50 juta ton. Konsumsi 3,5 juta ton/bulan atau 42 juta ton. Harusnya di atas kertas berlebih 6-8 juta ton beras. Harusnya harga turun dan bahkan ekspor dalam jumlah besar. Nyatanya? Jagung katanya swasembada. Tanyalah peternak ayam petelur dan pedagang kelas kecil dan menengah yang anda kenal. Apakah harga jagung hari ini membahagiakan mereka? Yang pasti dana untuk swasembada-swasembadaan padi-jagung ini triliunan.
Swasembada omong kosong berikutnya adalah Bawang Putih yang 96-97% konsumsi dalam negeri dipenuhi impor. Juga kedelai yang 70% impor. Biaya untuk 'mengejar swasembada' ini triliunan dan entah hasilnya apa. Kalau gagal sekalipun tidak akan dianggap kerugian negara.
Yang tidak mungkin swasembada diuber-uber agar swasembada. Dibungkus casing nasionalisme dan atas nama rakyat. Kadang saya juga melihat hestek di media sosial bertaburan seolah sukses ini itu di pertanian. Duh, sungguh aku merasa embuh.
Yang jelas-jelas sudah mampu menorehkan produksi besar level global tak diurus sungguh cara ekspor agar lebih mudah. Tidak ada ajakan menarik investasi pengolah rempah dengan branding yang membuat nama Indonesia mendunia dan mengintegrasikannya dengan petani lokal.
Kadang kita sibuk mengejar apa yang tidak kita miliki. Sampai lupa dengan sedemikian banyak yang sudah ada dalam genggaman.
Penulis: Kokok Herdhianto Dirgantoro
0 Response to "Rempah Indonesia"
Post a Comment