Huntington, Sen, Islam
Wednesday, September 20, 2006
Add Comment
Lebih satu dekade sejak dicetuskan oleh Samuel Huntington, tesis “the clash of civilizations” telah menyedot aminan maupun sanggahan dari para cendekiawan dunia. Di Indonesia, sejak tahun pertama kemunculannya dalam bentuk artikel panjang di Jurnal Foreign Affairs, kaum intelektual kita pun sudah menyambut tesis ganjil itu dengan keriuhan luar biasa. Selain dalam Jurnal Ulumul Qur’an, misalnya, belum lama ini PPIM-UIN Jakarta pun bahkan menerbitkan buku berisi hasil penelitian cukup ekstensif perihal respons komunitas akademis kita atas tesis Huntington itu.
Jika diperas, tesis Huntington sebenarnya berupa nujuman bahwa setelah berakhirnya “perang dingin” dengan penyokong demokrasi liberal dan kapitalisme sebagai pemenangnya, perang baru yang akan mewarnai panggung dunia adalah peperangan antara peradaban “Barat” versus peradaban “Non-Barat”---antara the West dan the Rest, demikian Huntington mengistilahkanya. Setelah tamatnya pertikaian ideologis itu---the end of history, kata Francis Fukuyama---“Barat”, “Islam”, “Hindu”, “Buddha”, dan demikian seterusnya, harus dipandang sebagai peradaban-peradaban yang akan berkontestasi memperebutkan pengaruh dengan pelbagai kekerasan yang menyertainya.
Ilusi Ketunggalan Identitas
Ada beragam persoalaan serius yang sebenarnya layak diperiksa ulang dalam kategorisasi peradaban ala Huntington itu. Tapi noktah terpentingnya yang harus ditampik terletak dalam kegegabahannya menunjuk anasis-anasir pembentuk peradaban. Karena serakan simplifikasi yang membalut pekat tesisnya itu, dalam Identity and Violence, the Illusion of Destiny, Amartya Sen menilai Huntington sebagai ilmuan yang terhinggapi--apa yang disebutnya--“the illusion of singular identity” (2006: 45).
Padahal, dalam pandangan peraih Nobel Ekonomi 1998 tersebut, cacat epistemologis yang bernapsu merampatpapankan identitas manusia itu hanya akan mereduksi umat manusia menjelma sosok-sosok satu-dimensi. Apalagi, dengan titik tekannya yang terlalu memberat pada identitas keagamaan, mengiyakan paradigma Huntingtonian itu tak akan membuahkan apa pun selain mengubur identitas-identitas lain yang dalam satu tarikan nafas yang sama sebenarnya bisa saja disandang oleh seseorang.
Bagi Sen, sejatinya ada beragam kategori yang dalam waktu bersamaan bisa teranyam dalam diri seseorang. Dan Sen sendiri, saya kira, adalah eksemplarnya yang baik di sini. Ekonom yang masyhur di seantero jagat sebagai pembela nasib orang-orang tersisih itu, sebagaimana diakuinya, adalah “seorang warga negara India yang tinggal di Inggris dan AS, seorang penulis dan pemeluk teguh sekulerisme serta demokrasi, seorang laki-laki-cum-feminis, seorang heteroseksual yang gigih mendukung hak-hak kaum lesbian dan gay, seorang berlatar belakang Hindu non-Brahmin dengan gaya hidup yang tak-religius serta tak percaya pada kehidupan setelah-mati” (Ibid: 19).
Maka alih-alih menerima cara pandang yang disebutnya sebagai pendekatan “solitarist” itu, Sen pun menegaskan pentingnya merayakan keragaman identitas yang bisa disandang seseorang dalam waktu bersamaan sembari menampik keras tesis Huntington yang menurutnya hanya mengurung manusia dalam sangkar-sangkar sempit kategorisasi peradaban “Barat”, “Islam,” “Hindu,” dan seterusnya, yang diandaikan sebagai entitas homogen serta memustahilkan terbukanya ruang bagi tumbuhnya pelbagai identitas lain. Sebuah pandangan reduksionis yang, dalam kaca mata Sen, hanya memangkirakan dan menggiring keragaman identitas umat manusia dalam iring-iringan gerombolan yang direpresi berbendera identitas seragam.
Kategorisasi ala Huntington itu, menurut Sen, sebenarnya dengan nyata mempertontonkan cacatnya yang fatal jika kita memeriksa dengan saksama apa yang ditunjuk sebagai “peradaban Hindu”, misalnya. Sebab, dengan menganggap India sebagai ranah peradaban Hindu, ia sejatinya mengalpakan eksistensi lebih dari 145 juta penduduk India lain yang beragama Islam.
Pentingnya menampik paradigma Huntingtonian itu kian tak bisa ditawar karena retorika “peradaban Hindu” itulah yang belakangan kian kerap dikutip para penggiat gerakan Hindutva untuk mewujudkan cita-cita menyulap India sebagai “negara Hindu” sambil berharap melenyapkan kehadiran pemeluk agama lain. Pun stigmatisasi Islam sebagai teroris, militant Islam, atau penggunaan istilah-istilah stereotif seperti--pinjam istilah Bush saat mengomentari penangkapan orang-orang yang dicurigai pelaku teror di Inggris 10 Agustus lalu—“Islamic fascist”, misalnya.
Konsistensi Sen dalam menyerukan pentingnya kemajemukan identitas (multiple identities) seraya tak henti-hentinya mengingatkan kita tentang malapetaka kemanusiaan yang potensial lahir akibat dirayakannya ketunggalan identitas (singular identity)--yang eksemplarnya diwakili gagasan pemilahan umat manusia dalam kotak-kotak sempit peradaban seperti dibuat Huntington--merupakan pesan mulia yang bisa kita pungut dari gagasan Sen.
Pesan mulia yang semangatnya juga muncul dalam kritik Sen atas praksis multikulturalisme di Inggris yang belakangan membuka sekolah-sekolah agama dengan membagi-bagi siswa berdasarkan agama. Sebab, bagi Sen, saat pentingnya melebarkan cakrawala pemahaman atas orang dan kelompok “lain” serta kemampuan membuat keputusan rasional perihal identitas merupakan keniscayaan, kebijakan multikulturalisme ala Inggris itu justru berpeluang menyempitkan kesempatan para siswa untuk melazimkan pilihan-pilihan rasional dalam menentukan prioritas-prioritas kehidupan mereka.
Apalagi, ada kecenderungan, sekolah-sekolah agama itu pun acap gagal merayakan kesadaran akan pentingnya merawat keragaman identitas--bahasa, etnik, agama, dan seterusnya--yang dalam waktu bersamaan (seharusnya) disandang para siswa itu.
Tak hanya berhenti di situ, paradigma Huntingtonian pun digugat Sen berkaitan dengan klaim-klaim keunikan yang selama ini didaku sebagai “nilai-nilai Barat” dan dianggap tak pernah muncul sebelumnya di dunia non-Barat. Melalui penelusuran yang “objektif”, menurut Sen, sejatinya akan tersurat gamblang bahwa konsep-konsep seperti demokrasi, sekulerisme dan toleransi yang diagung-agungkan sebagai sumbangan khas Barat itu sebenarnya bukan tak memiliki preseden historisnya dalam perjalanan sejarah panjang peradaban umat manusia.
Toleransi dan sekulerisme, misalnya, bisa ditemukan akar-akarnya dalam sejarah India di bawah kekuasaan kaisar Ashoka sejak lebih dari 2.300 tahun lampau yang jejaknya dilanjutkan Akbar pada abad XVI Masehi atau keterbukaan Salahuddin al-Ayyubi yang memberikan suaka politik bagi Maimondas yang diancam inkuisisi Eropa. Sedangkan benih-benih konsep demokrasi juga mulai bersemi baik dalam amalan politik yang dijalankan Ashoka pada abad III SM maupun pangeran Shotoku di Jepang di fajar abad VI Masehi. Pun capaian sains dan teknologi yang berkahnya kini dinikmati seluruh penghuni dunia bukanlah kontribusi khas dunia Barat.
Identitas Warna-warni
Walhasil, rasanya tak sulit mengamini konstatasi Sen yang menuding praduga dangkal bahwa manusia secara unik bisa dikategorisasikan berdasarkan agama dan kebudayaan sebagai penyebab utama beragam konflik di zaman kita yang terus rusuh ini. Sebab itu, menurutnya, dalam kerelaan dan pengakuan kita atas kemajemukan identitas serta penolakan atas penunggalan identitas itulah ikhtiar kita mewujudkan kedamaian dunia seharusnya bermula.
Seruan yang sebenarnya seia-sekata dengan Edward Said yang mengatakan bahwa “tak seorang pun di hari ini yang secara murni, secara utuh, terdiri dari satu hal saja”--‘none is today purely one thing”. Pesan yang juga muncul dalam petikan kalimat Oscar Wilde yang disitir Amartya Sen di bagian paling awal buku yang saya jadikan sandaran utama untuk tulisan ini. “Kebanyakan orang adalah orang lain,” kata Oscar Wilde--“Most people are other people”. Sebab, lanjutnya, “their thoughts are someone else’s opinion, their lives a mimicry, their passions a quotation.”
Jika diperas, tesis Huntington sebenarnya berupa nujuman bahwa setelah berakhirnya “perang dingin” dengan penyokong demokrasi liberal dan kapitalisme sebagai pemenangnya, perang baru yang akan mewarnai panggung dunia adalah peperangan antara peradaban “Barat” versus peradaban “Non-Barat”---antara the West dan the Rest, demikian Huntington mengistilahkanya. Setelah tamatnya pertikaian ideologis itu---the end of history, kata Francis Fukuyama---“Barat”, “Islam”, “Hindu”, “Buddha”, dan demikian seterusnya, harus dipandang sebagai peradaban-peradaban yang akan berkontestasi memperebutkan pengaruh dengan pelbagai kekerasan yang menyertainya.
Ilusi Ketunggalan Identitas
Ada beragam persoalaan serius yang sebenarnya layak diperiksa ulang dalam kategorisasi peradaban ala Huntington itu. Tapi noktah terpentingnya yang harus ditampik terletak dalam kegegabahannya menunjuk anasis-anasir pembentuk peradaban. Karena serakan simplifikasi yang membalut pekat tesisnya itu, dalam Identity and Violence, the Illusion of Destiny, Amartya Sen menilai Huntington sebagai ilmuan yang terhinggapi--apa yang disebutnya--“the illusion of singular identity” (2006: 45).
Padahal, dalam pandangan peraih Nobel Ekonomi 1998 tersebut, cacat epistemologis yang bernapsu merampatpapankan identitas manusia itu hanya akan mereduksi umat manusia menjelma sosok-sosok satu-dimensi. Apalagi, dengan titik tekannya yang terlalu memberat pada identitas keagamaan, mengiyakan paradigma Huntingtonian itu tak akan membuahkan apa pun selain mengubur identitas-identitas lain yang dalam satu tarikan nafas yang sama sebenarnya bisa saja disandang oleh seseorang.
Bagi Sen, sejatinya ada beragam kategori yang dalam waktu bersamaan bisa teranyam dalam diri seseorang. Dan Sen sendiri, saya kira, adalah eksemplarnya yang baik di sini. Ekonom yang masyhur di seantero jagat sebagai pembela nasib orang-orang tersisih itu, sebagaimana diakuinya, adalah “seorang warga negara India yang tinggal di Inggris dan AS, seorang penulis dan pemeluk teguh sekulerisme serta demokrasi, seorang laki-laki-cum-feminis, seorang heteroseksual yang gigih mendukung hak-hak kaum lesbian dan gay, seorang berlatar belakang Hindu non-Brahmin dengan gaya hidup yang tak-religius serta tak percaya pada kehidupan setelah-mati” (Ibid: 19).
Maka alih-alih menerima cara pandang yang disebutnya sebagai pendekatan “solitarist” itu, Sen pun menegaskan pentingnya merayakan keragaman identitas yang bisa disandang seseorang dalam waktu bersamaan sembari menampik keras tesis Huntington yang menurutnya hanya mengurung manusia dalam sangkar-sangkar sempit kategorisasi peradaban “Barat”, “Islam,” “Hindu,” dan seterusnya, yang diandaikan sebagai entitas homogen serta memustahilkan terbukanya ruang bagi tumbuhnya pelbagai identitas lain. Sebuah pandangan reduksionis yang, dalam kaca mata Sen, hanya memangkirakan dan menggiring keragaman identitas umat manusia dalam iring-iringan gerombolan yang direpresi berbendera identitas seragam.
Kategorisasi ala Huntington itu, menurut Sen, sebenarnya dengan nyata mempertontonkan cacatnya yang fatal jika kita memeriksa dengan saksama apa yang ditunjuk sebagai “peradaban Hindu”, misalnya. Sebab, dengan menganggap India sebagai ranah peradaban Hindu, ia sejatinya mengalpakan eksistensi lebih dari 145 juta penduduk India lain yang beragama Islam.
Pentingnya menampik paradigma Huntingtonian itu kian tak bisa ditawar karena retorika “peradaban Hindu” itulah yang belakangan kian kerap dikutip para penggiat gerakan Hindutva untuk mewujudkan cita-cita menyulap India sebagai “negara Hindu” sambil berharap melenyapkan kehadiran pemeluk agama lain. Pun stigmatisasi Islam sebagai teroris, militant Islam, atau penggunaan istilah-istilah stereotif seperti--pinjam istilah Bush saat mengomentari penangkapan orang-orang yang dicurigai pelaku teror di Inggris 10 Agustus lalu—“Islamic fascist”, misalnya.
Konsistensi Sen dalam menyerukan pentingnya kemajemukan identitas (multiple identities) seraya tak henti-hentinya mengingatkan kita tentang malapetaka kemanusiaan yang potensial lahir akibat dirayakannya ketunggalan identitas (singular identity)--yang eksemplarnya diwakili gagasan pemilahan umat manusia dalam kotak-kotak sempit peradaban seperti dibuat Huntington--merupakan pesan mulia yang bisa kita pungut dari gagasan Sen.
Pesan mulia yang semangatnya juga muncul dalam kritik Sen atas praksis multikulturalisme di Inggris yang belakangan membuka sekolah-sekolah agama dengan membagi-bagi siswa berdasarkan agama. Sebab, bagi Sen, saat pentingnya melebarkan cakrawala pemahaman atas orang dan kelompok “lain” serta kemampuan membuat keputusan rasional perihal identitas merupakan keniscayaan, kebijakan multikulturalisme ala Inggris itu justru berpeluang menyempitkan kesempatan para siswa untuk melazimkan pilihan-pilihan rasional dalam menentukan prioritas-prioritas kehidupan mereka.
Apalagi, ada kecenderungan, sekolah-sekolah agama itu pun acap gagal merayakan kesadaran akan pentingnya merawat keragaman identitas--bahasa, etnik, agama, dan seterusnya--yang dalam waktu bersamaan (seharusnya) disandang para siswa itu.
Tak hanya berhenti di situ, paradigma Huntingtonian pun digugat Sen berkaitan dengan klaim-klaim keunikan yang selama ini didaku sebagai “nilai-nilai Barat” dan dianggap tak pernah muncul sebelumnya di dunia non-Barat. Melalui penelusuran yang “objektif”, menurut Sen, sejatinya akan tersurat gamblang bahwa konsep-konsep seperti demokrasi, sekulerisme dan toleransi yang diagung-agungkan sebagai sumbangan khas Barat itu sebenarnya bukan tak memiliki preseden historisnya dalam perjalanan sejarah panjang peradaban umat manusia.
Toleransi dan sekulerisme, misalnya, bisa ditemukan akar-akarnya dalam sejarah India di bawah kekuasaan kaisar Ashoka sejak lebih dari 2.300 tahun lampau yang jejaknya dilanjutkan Akbar pada abad XVI Masehi atau keterbukaan Salahuddin al-Ayyubi yang memberikan suaka politik bagi Maimondas yang diancam inkuisisi Eropa. Sedangkan benih-benih konsep demokrasi juga mulai bersemi baik dalam amalan politik yang dijalankan Ashoka pada abad III SM maupun pangeran Shotoku di Jepang di fajar abad VI Masehi. Pun capaian sains dan teknologi yang berkahnya kini dinikmati seluruh penghuni dunia bukanlah kontribusi khas dunia Barat.
Identitas Warna-warni
Walhasil, rasanya tak sulit mengamini konstatasi Sen yang menuding praduga dangkal bahwa manusia secara unik bisa dikategorisasikan berdasarkan agama dan kebudayaan sebagai penyebab utama beragam konflik di zaman kita yang terus rusuh ini. Sebab itu, menurutnya, dalam kerelaan dan pengakuan kita atas kemajemukan identitas serta penolakan atas penunggalan identitas itulah ikhtiar kita mewujudkan kedamaian dunia seharusnya bermula.
Seruan yang sebenarnya seia-sekata dengan Edward Said yang mengatakan bahwa “tak seorang pun di hari ini yang secara murni, secara utuh, terdiri dari satu hal saja”--‘none is today purely one thing”. Pesan yang juga muncul dalam petikan kalimat Oscar Wilde yang disitir Amartya Sen di bagian paling awal buku yang saya jadikan sandaran utama untuk tulisan ini. “Kebanyakan orang adalah orang lain,” kata Oscar Wilde--“Most people are other people”. Sebab, lanjutnya, “their thoughts are someone else’s opinion, their lives a mimicry, their passions a quotation.”

0 Response to "Huntington, Sen, Islam"
Post a Comment