Sebuah Risalah tentang Identitas
Sunday, November 26, 2006
Add Comment
Judul buku:
Identity and Violence, the Illusion of Destiny
Penulis: Amartya Sen
Penerbit: Allen Lane Penguin, London
Tebal: xx + 215 halaman
Masyhur di seantero dunia sebagai pemikir ekonomi garda depan yang memberikan pembelaan gamblang atas nasib orang-orang tersisih, tahun ini Amartya Sen menerbitkan buku terbarunya perihal kompleksitas identitas yang akhir-akhir ini memang jadi topik perbincangan di mana-mana.
Perhatian Amartya Sen atas isu-isu seputar identitas sebenarnya memiliki sejarah panjang. Sebab, bagi peraih Nobel Ekonomi tahun 1998 tersebut, wajah enigmatik identitas--yang bisa menjadi sumber inspirasi perekat solidaritas sosial antarsesama tapi acapkali juga jadi pemantik kekerasan terhadap kelompok masyarakat lain yang kebetulan berlainan identitas--bukan sekadar perkara yang dijadikannya objek telaah akademis. Lebih dari itu, sebagai seorang yang lahir di India, sebuah kawasan subur tempat berseminya etnik, budaya, dan agama yang begitu majemuk, ia sempat menyaksikan sendiri praktik kekerasan atas nama identitas itu saat usianya belum lagi beranjak sebelas tahun.
Alkisah, suatu siang di tahun 1944, saat kerusuhan sosial Hindu-Muslim tengah berkecamuk di India, Sen muda dikagetkan oleh seorang lelaki dengan tubuh bersimbah darah yang datang meminta tolong di gerbang rumahnya. Setelah dibawa ke rumah sakit oleh ayah Sen, lelaki malang itu akhirnya tak tertolong nyawanya.
Lelaki itu bernama Kader Mia. Seorang buruh harian beragama Islam yang terpaksa harus masuk ke kawasan konflik karena hanya dengan cara itulah ia bisa mengais nafkah bagi keluarganya. Sang istri, menurut penuturan Kader Mia kepada ayah Sen dalam perjalanan menuju rumah sakit, sebenarnya bersikeras mencegahnya masuk ke kawasan konflik itu. Tapi ia bergeming karena tak tersedia lagi secuil pun makanan untuknya sekeluarga.
Begitulah, ungkap Sen dalam bab terakhir berjudul “Freedom to Think,” Kader Mia menjadi korban kekerasan yang dilakukan orang-orang Hindu karena ia kebetulah beridentitas Islam. Di tengah konflik yang melihat agama sebagai satu-satunya identitas yang dilekatkan kepada tiap orang itu, hanya identitas Hindu atau Islam-lah memang yang menentukan nasib seseorang. Sedangkan kesamaan identitas kelas sosial sebagai sesama buruh harian, misalnya, ditampik oleh para penganut Hindu maupun Islam sebagai perekat kebersamaan di antara mereka (h. 170-173).
Cara pandang yang memandang manusia semata-mata dengan mengacu pada identitas agama itulah yang digugat Sen sepanjang buku ini. Maka alih-alih menerima cara pandang yang disebutnya sebagai pendekatan “solitarist” itu, Sen menegaskan pentingnya merayakan keragaman identitas yang bisa disandang seseorang dalam waktu bersamaan.
Bagi Sen, sebenarnya ada beragam kategori yang dalam satu tarikan nafas yang sama bisa disandang seseorang. Sen sendiri, sebagaimana diakuinya, adalah seorang warga negara India yang tinggal di Inggris dan Amerika, seorang penulis dan pemeluk teguh sekulerisme serta demokrasi, seorang laki-laki sekaligus feminis, seorang heteroseksual yang gigih mendukung hak-hak kaum lesbian dan gay, seorang berlatar belakang Hindu non-Brahmin dengan gaya hidup tak-religius serta tak percaya pada kehidupan setelah-mati (h. 19).
Di titik inilah Sen menampik keras tesis “benturan antarperadaban”-nya Huntington yang menurutnya hanya mengerangkeng manusia dalam sekat-sekat sempit kategorisasi “peradaban Barat”, “peradaban Islam,” “peradaban Hindu,” dan seterusnya, yang diandaikan sebagai entitas homogen serta memustahilkan terbukanya ruang bagi tumbuhnya pelbagai identitas lain. Sebuah pandangan reduksionis yang, dalam kaca mata Sen, mereduksi umat manusia dalam kotak-kotak sempit berdimensi tunggal (h. 10-11, 41).
Kategorisasi ala Huntington itu, menurut Sen, sebenarnya dengan nyata menunjukkan cacatnya yang fatal jika kita bersedia memeriksa dengan saksama apa yang ditunjuknya sebagai “peradaban Hindu”, misalnya. Sebab, dengan menganggap India sebagai ranah “peradaban Hindu,” Huntington sejatinya mengabaikan eksistensi lebih dari 145 juta penduduk India lain yang beragama Islam.
Secara tegas, Sen bahkan menyatakan mustahilnya memahami peradaban India kontemporer tanpa menengok peran penting kaum muslim India di dalamnya. Pun kaum Sikh, Jain, dan Buddha yang juga bukan tak menunjukkan sumbangan berharganya dalam memperkaya khazanah peradaban India.
Pentingnya menampik paradigma Huntingtonian itu kian tak bisa ditawar karena retorika “peradaban Hindu” itulah, menurut Sen, yang belakangan kian kencang ditadaruskan para pendukung gerakan Hindutva untuk mewujudkan cita-cita menyulap India sebagai “negara Hindu” yang menampik kehadiran pemeluk agama lain (h. 47-48).
Konsistensi Sen dalam menyerukan pentingnya kemajemukan identitas (multiple identities) seraya tak henti-hentinya mengingatkan kita tentang malapetaka kemanusiaan yang potensial lahir akibat dirayakannya ketunggalan identitas (singular identity) yang eksemplarnya diwakili gagasan pemilahan umat manusia dalam kotak-kotak sempit peradaban seperti dibuat Huntington merupakan pesan dasar yang membalut sekujur buku ini.
Semangat itu pula yang memunculkan kritik Sen atas praktik multikulturalisme di Inggris yang membuka sekolah-sekolah agama dengan membagi-bagi siswa berdasarkan agama. Sebab, bagi Sen, saat pentingnya melebarkan cakrawala pemahaman atas orang dan kelompok “lain” serta kemampuan membuat keputusan rasional perihal identitas merupakan keniscayaan, kebijakan tersebut justru berpeluang menyempitkan kesempatan para siswa untuk melazimkan pilihan-pilihan rasional dalam menentukan prioritas-prioritas kehidupan mereka. Apalagi, ada kecenderungan, sekolah-sekolah agama itu pun acap gagal menumbuhkembangkan kesadaran akan pentingnya merawat keragaman identitas---bahasa, etnik, agama, dan seterusnya--yang dalam waktu bersamaan disandang para siswa itu (h. 117-118).
Tak hanya berhenti di situ, dalam buku yang semula merupakan naskah-naskan ceramahnya di beragam universitas ternama dunia ini, Sen pun memerkarakan ulang klaim-klaim keunikan yang selama ini didaku sebagai “nilai-nilai Barat” dan dianggap tak pernah muncul sebelumnya di dunia non-Barat. Lewat penelusurannya yang cukup telaten, Sen menunjukkan bahwa konsep-konsep seperti demokrasi, sekulerisme dan toleransi yang diagung-agungkan sebagai sumbangan khas dunia Barat itu bukan tak memiliki preseden historisnya dalam perjalanan sejarah panjang peradaban umat manusia.
Toleransi dan sekulerisme, misalnya, bisa ditemukan akar-akarnya dalam sejarah India di bawah kekuasaan kaisar Ashoka sejak lebih dari 2.300 tahun lampau yang jejaknya dilanjutkan Akbar pada abad XVI Masehi dan diamini India hingga saat ini. Praktik toleransi amat gamblang juga tampak dalam keterbukaan Salahuddin al-Ayyubi yang memberikan suaka politik bagi filsuf Yahudi Maimondas dari ancaman inkuisisi di Eropa. Sedangkan benih-benih konsep demokrasi sudah mulai bersemi baik dalam amalan politik yang dijalankan Ashoka pada abad III Sebelum Masehi maupun pangeran Shotoku di Jepang di fajar abad VI Masehi (h. 50, 53).
Walhasil, rasanya tak sulit mengamini konstatasi Sen yang menuding praduga dangkal bahwa manusia secara unik bisa dikategorisasikan berdasarkan agama dan kebudayaan merupakan penyebab utama beragam konflik di zaman kita yang terus rusuh ini. Karena itu, menurut cendekiawan yang menghabiskan waktu sepanjang tahun dengan mengunjungi satu kampus ke kampus lain di seluruh dunia itu, dalam kerelaan dan pengakuan kita atas kemajemukan identitas serta penolakan atas penunggalan identitas itulah ikhtiar kita mewujudkan kedamaian dunia seharusnya bermula (h. xviii).
Damanhuri, jurnalis lepas
Identity and Violence, the Illusion of Destiny
Penulis: Amartya Sen
Penerbit: Allen Lane Penguin, London
Tebal: xx + 215 halaman
Masyhur di seantero dunia sebagai pemikir ekonomi garda depan yang memberikan pembelaan gamblang atas nasib orang-orang tersisih, tahun ini Amartya Sen menerbitkan buku terbarunya perihal kompleksitas identitas yang akhir-akhir ini memang jadi topik perbincangan di mana-mana.
Perhatian Amartya Sen atas isu-isu seputar identitas sebenarnya memiliki sejarah panjang. Sebab, bagi peraih Nobel Ekonomi tahun 1998 tersebut, wajah enigmatik identitas--yang bisa menjadi sumber inspirasi perekat solidaritas sosial antarsesama tapi acapkali juga jadi pemantik kekerasan terhadap kelompok masyarakat lain yang kebetulan berlainan identitas--bukan sekadar perkara yang dijadikannya objek telaah akademis. Lebih dari itu, sebagai seorang yang lahir di India, sebuah kawasan subur tempat berseminya etnik, budaya, dan agama yang begitu majemuk, ia sempat menyaksikan sendiri praktik kekerasan atas nama identitas itu saat usianya belum lagi beranjak sebelas tahun.
Alkisah, suatu siang di tahun 1944, saat kerusuhan sosial Hindu-Muslim tengah berkecamuk di India, Sen muda dikagetkan oleh seorang lelaki dengan tubuh bersimbah darah yang datang meminta tolong di gerbang rumahnya. Setelah dibawa ke rumah sakit oleh ayah Sen, lelaki malang itu akhirnya tak tertolong nyawanya.
Lelaki itu bernama Kader Mia. Seorang buruh harian beragama Islam yang terpaksa harus masuk ke kawasan konflik karena hanya dengan cara itulah ia bisa mengais nafkah bagi keluarganya. Sang istri, menurut penuturan Kader Mia kepada ayah Sen dalam perjalanan menuju rumah sakit, sebenarnya bersikeras mencegahnya masuk ke kawasan konflik itu. Tapi ia bergeming karena tak tersedia lagi secuil pun makanan untuknya sekeluarga.
Begitulah, ungkap Sen dalam bab terakhir berjudul “Freedom to Think,” Kader Mia menjadi korban kekerasan yang dilakukan orang-orang Hindu karena ia kebetulah beridentitas Islam. Di tengah konflik yang melihat agama sebagai satu-satunya identitas yang dilekatkan kepada tiap orang itu, hanya identitas Hindu atau Islam-lah memang yang menentukan nasib seseorang. Sedangkan kesamaan identitas kelas sosial sebagai sesama buruh harian, misalnya, ditampik oleh para penganut Hindu maupun Islam sebagai perekat kebersamaan di antara mereka (h. 170-173).
Cara pandang yang memandang manusia semata-mata dengan mengacu pada identitas agama itulah yang digugat Sen sepanjang buku ini. Maka alih-alih menerima cara pandang yang disebutnya sebagai pendekatan “solitarist” itu, Sen menegaskan pentingnya merayakan keragaman identitas yang bisa disandang seseorang dalam waktu bersamaan.
Bagi Sen, sebenarnya ada beragam kategori yang dalam satu tarikan nafas yang sama bisa disandang seseorang. Sen sendiri, sebagaimana diakuinya, adalah seorang warga negara India yang tinggal di Inggris dan Amerika, seorang penulis dan pemeluk teguh sekulerisme serta demokrasi, seorang laki-laki sekaligus feminis, seorang heteroseksual yang gigih mendukung hak-hak kaum lesbian dan gay, seorang berlatar belakang Hindu non-Brahmin dengan gaya hidup tak-religius serta tak percaya pada kehidupan setelah-mati (h. 19).
Di titik inilah Sen menampik keras tesis “benturan antarperadaban”-nya Huntington yang menurutnya hanya mengerangkeng manusia dalam sekat-sekat sempit kategorisasi “peradaban Barat”, “peradaban Islam,” “peradaban Hindu,” dan seterusnya, yang diandaikan sebagai entitas homogen serta memustahilkan terbukanya ruang bagi tumbuhnya pelbagai identitas lain. Sebuah pandangan reduksionis yang, dalam kaca mata Sen, mereduksi umat manusia dalam kotak-kotak sempit berdimensi tunggal (h. 10-11, 41).
Kategorisasi ala Huntington itu, menurut Sen, sebenarnya dengan nyata menunjukkan cacatnya yang fatal jika kita bersedia memeriksa dengan saksama apa yang ditunjuknya sebagai “peradaban Hindu”, misalnya. Sebab, dengan menganggap India sebagai ranah “peradaban Hindu,” Huntington sejatinya mengabaikan eksistensi lebih dari 145 juta penduduk India lain yang beragama Islam.
Secara tegas, Sen bahkan menyatakan mustahilnya memahami peradaban India kontemporer tanpa menengok peran penting kaum muslim India di dalamnya. Pun kaum Sikh, Jain, dan Buddha yang juga bukan tak menunjukkan sumbangan berharganya dalam memperkaya khazanah peradaban India.
Pentingnya menampik paradigma Huntingtonian itu kian tak bisa ditawar karena retorika “peradaban Hindu” itulah, menurut Sen, yang belakangan kian kencang ditadaruskan para pendukung gerakan Hindutva untuk mewujudkan cita-cita menyulap India sebagai “negara Hindu” yang menampik kehadiran pemeluk agama lain (h. 47-48).
Konsistensi Sen dalam menyerukan pentingnya kemajemukan identitas (multiple identities) seraya tak henti-hentinya mengingatkan kita tentang malapetaka kemanusiaan yang potensial lahir akibat dirayakannya ketunggalan identitas (singular identity) yang eksemplarnya diwakili gagasan pemilahan umat manusia dalam kotak-kotak sempit peradaban seperti dibuat Huntington merupakan pesan dasar yang membalut sekujur buku ini.
Semangat itu pula yang memunculkan kritik Sen atas praktik multikulturalisme di Inggris yang membuka sekolah-sekolah agama dengan membagi-bagi siswa berdasarkan agama. Sebab, bagi Sen, saat pentingnya melebarkan cakrawala pemahaman atas orang dan kelompok “lain” serta kemampuan membuat keputusan rasional perihal identitas merupakan keniscayaan, kebijakan tersebut justru berpeluang menyempitkan kesempatan para siswa untuk melazimkan pilihan-pilihan rasional dalam menentukan prioritas-prioritas kehidupan mereka. Apalagi, ada kecenderungan, sekolah-sekolah agama itu pun acap gagal menumbuhkembangkan kesadaran akan pentingnya merawat keragaman identitas---bahasa, etnik, agama, dan seterusnya--yang dalam waktu bersamaan disandang para siswa itu (h. 117-118).
Tak hanya berhenti di situ, dalam buku yang semula merupakan naskah-naskan ceramahnya di beragam universitas ternama dunia ini, Sen pun memerkarakan ulang klaim-klaim keunikan yang selama ini didaku sebagai “nilai-nilai Barat” dan dianggap tak pernah muncul sebelumnya di dunia non-Barat. Lewat penelusurannya yang cukup telaten, Sen menunjukkan bahwa konsep-konsep seperti demokrasi, sekulerisme dan toleransi yang diagung-agungkan sebagai sumbangan khas dunia Barat itu bukan tak memiliki preseden historisnya dalam perjalanan sejarah panjang peradaban umat manusia.
Toleransi dan sekulerisme, misalnya, bisa ditemukan akar-akarnya dalam sejarah India di bawah kekuasaan kaisar Ashoka sejak lebih dari 2.300 tahun lampau yang jejaknya dilanjutkan Akbar pada abad XVI Masehi dan diamini India hingga saat ini. Praktik toleransi amat gamblang juga tampak dalam keterbukaan Salahuddin al-Ayyubi yang memberikan suaka politik bagi filsuf Yahudi Maimondas dari ancaman inkuisisi di Eropa. Sedangkan benih-benih konsep demokrasi sudah mulai bersemi baik dalam amalan politik yang dijalankan Ashoka pada abad III Sebelum Masehi maupun pangeran Shotoku di Jepang di fajar abad VI Masehi (h. 50, 53).
Walhasil, rasanya tak sulit mengamini konstatasi Sen yang menuding praduga dangkal bahwa manusia secara unik bisa dikategorisasikan berdasarkan agama dan kebudayaan merupakan penyebab utama beragam konflik di zaman kita yang terus rusuh ini. Karena itu, menurut cendekiawan yang menghabiskan waktu sepanjang tahun dengan mengunjungi satu kampus ke kampus lain di seluruh dunia itu, dalam kerelaan dan pengakuan kita atas kemajemukan identitas serta penolakan atas penunggalan identitas itulah ikhtiar kita mewujudkan kedamaian dunia seharusnya bermula (h. xviii).
Damanhuri, jurnalis lepas

0 Response to "Sebuah Risalah tentang Identitas"
Post a Comment