Belajar Agraria Lewat Film Dokumenter
Saturday, April 16, 2016
Add Comment
Tradisi studi agraria kini semakin berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Soal-soal agraraia kinitak lagi hanya didapat dari buku-buku, jurnal maupun laporan penelitian. Beberapa tahun terakhir , kehadiran media sosial dan para videografer secara perlahan mengubah cara belajar publik terhadap soal-soal agraria yang seringkali dimaknai dengan penuh kerumitan.
Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz misalnya lewat Ekspedisi Indonesia Biru mencoba mengangkat persoalan-persoalan agraria lewat film-film dokumenternya. Sebut saja Samin Vs Semen, Kala Benoa,The Mahuzes dan lain-lain sontak menggugah kesadaran publik untuk mendiskusikan soal-soal agraria baik di ruang-ruang ilmiah maupun di lesehan. Film-film dokumeter yang diunggah ke youtube kini marak diperbincangkan di berbagai kota.
Ditingkat lokal Lampung juga misalnya, kehadiran Miftahudin lewat film Jangan Tutup Sekolah Kami mampu memberikan sebuah perspektif baru tentang dampak konflik agraria bagi anak-anak yang berada di wilayah konflik agraria.
The Mahuzes
The Mahuzes menjadi film dokumenter kelima yang dihasilkan selama delapan bulan Ekspedisi Indonesia. Sebelumnya, Dandhy dan Suparta Arz, telah melajhirkan film dokumenter Samin vs Semen, Kala Benoa, Baduy, dan Lewa di Lembata.
The Mahuzes sendiri merupakan dokumenter yang bercerita tentang sebuah suku di Merauke, Papua, mempertahankan lahannya dari gempuran para pengusaha sawit. Lahan-lahan suku Mahuze yang selama ini ditanami sagu terancam punah. Padahal, bagi Mahuze, alam menjadi tempat mereka berkeluh-kesah.
Menurut Dandhy, sejak resmi bergabung dengan Indonesia pada 1960, sampai 2005, di Papua baru ada tujuh perusahaan kelapa sawit, Namun pada 2014, jumlahnya telah mencapai 21 perusahaan, dengan 20 perusahaan lainnya dalam tahap siap beroperasi
Film dokumenter The Mahuzes yang menampilkan fenomena Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE) di Papua misalnya mengingatkan publik tentang fenomena land grabbing atau akuisisi lahan sebagaimana dikaji oleh Grain (2008). Film ini secara gamblang menggambarkan pengambilalihan lahan-lahan secara masif. Hal yang menarik dari kajian Grain yang juga tergambar dalam film ini adalah fakta di mana dalam setiap proses land grabbing swasta selalu memegang kendali di balik proses akuisisi tanah yang diaktori negara.
Bagi orang kebanyakan, Film-film dokumenter yang dibuat Dandhy Dwi Laksono tentu saja lebih mudah dicerna bila dibandingkan dengan mendengarkan ceramah ilmiah Profesor Tania Murray Li tentang di dinamika kontemporer land grabbing Universitas Sussex, Inggris misalnya.
Kembali ke film The Mahuzes, konversi lahan besar-besaran ini tak terlepas dari program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang tengah gencar dilakukan Pemerintah Pusat. Pada program MIFEE ini akan ada proyek konversi sawah sejuta hektare berbasis perusahaan. Targetnya, untuk memenuhi 30 persen kebutuhan beras nasional dan ekspor.
Menonton film ini, penulis teringat film Burning Season pada tahun 1994an karya sutradara John Frankenheimer. Meski bukan film dokumenter, film The Burning Season adalah film yang diambil dari kisah nyata yang terjadi pada masyarakat Cachoeira, sekitaran hutan hujan Amazon, Brazil, antara 1951 – 1990an. Film ini menceritakan perjuangan seorang bernama Chico Mendes beserta para penyadap karet untuk menghentikan eksploitasi hutan yang dilakukan oleh perusahaan besar.
Film The Mahuzes dan The Burning Season juga sama-sama menunjukan peran gereja dan tokoh agama lokal dalam mendampingi perjuangan masyarakat. Beberapa adegan dalam kedua film ini jelas menunjukan peran gereja dalam perjuangan menuntut keadilan.
Nalar Publik
Bagi para pengajar agraria kehadiran film-film dokumenter bertema agaria ini sesungguhnya memudahkan untuk menjelaskan persoalan-persoalan agraria dalam ranah yang kontekstual. Demikian pula bagi para pegiat agraria kehadiran film dokumenter menjadi medium yang efektif untuk membangun nalar publik terkait persoalan agraria yang dihadapi di lapangan.
Istilah nalar publik sendiri pertama kali diucapkan oleh Immanuel Kant dalam tajuk rencana yang ia tulis pada tahun 1784, untuk menjawab pertanyaan ‘Apa itu Renaisans?‘. Public reason sendiri dapat membenarkan aneka pendapat dalam aneka kasus dengan alasan yang dapat diterima oleh bermacam-macam orang.
Para pembuat film dokumenter seperti Dandy Dwi Laksono dll tampaknya sangat menyadari bahwa keadaan harus segera diubah. Lewat film-flm dokumenternya nalar politik rakyat harus terus diasah dan dipertajam. Film-film dokumenter yang mereka produksi dijadikan medium pendidikan yang mencerahkan (Aufklarung) dan membebaskan ansich merupakan jawaban dalam mengasah nalar politik dan membaca naluri publik.
Bagi penulis , film-film dokumenter yang diproduksi Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz tidak sekedar menawarkan informasi yang berangkat dari riset tapi juga sebuah pendekatan hati guna mengetuk nalar dan hati para penontonnya. Menutup tulisan ini penulis teringat pesan (Alm) Prof. Soetandyo Wignyosoebroto bahwasannya pendidikan adalah untuk “educating the brain and heart” pendidikan itu mendidik otak dan hati sekaligus. Film ini berusaha menyentuh keduannya secara bersamaan.
Penulis : Oki Hajiansyah Wahab (Pegiat Pojoksamber.com, Mengajar di Universitas Muhammadiyah Metro)
Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz misalnya lewat Ekspedisi Indonesia Biru mencoba mengangkat persoalan-persoalan agraria lewat film-film dokumenternya. Sebut saja Samin Vs Semen, Kala Benoa,The Mahuzes dan lain-lain sontak menggugah kesadaran publik untuk mendiskusikan soal-soal agraria baik di ruang-ruang ilmiah maupun di lesehan. Film-film dokumeter yang diunggah ke youtube kini marak diperbincangkan di berbagai kota.
Ditingkat lokal Lampung juga misalnya, kehadiran Miftahudin lewat film Jangan Tutup Sekolah Kami mampu memberikan sebuah perspektif baru tentang dampak konflik agraria bagi anak-anak yang berada di wilayah konflik agraria.
The Mahuzes
The Mahuzes menjadi film dokumenter kelima yang dihasilkan selama delapan bulan Ekspedisi Indonesia. Sebelumnya, Dandhy dan Suparta Arz, telah melajhirkan film dokumenter Samin vs Semen, Kala Benoa, Baduy, dan Lewa di Lembata.
The Mahuzes sendiri merupakan dokumenter yang bercerita tentang sebuah suku di Merauke, Papua, mempertahankan lahannya dari gempuran para pengusaha sawit. Lahan-lahan suku Mahuze yang selama ini ditanami sagu terancam punah. Padahal, bagi Mahuze, alam menjadi tempat mereka berkeluh-kesah.
Menurut Dandhy, sejak resmi bergabung dengan Indonesia pada 1960, sampai 2005, di Papua baru ada tujuh perusahaan kelapa sawit, Namun pada 2014, jumlahnya telah mencapai 21 perusahaan, dengan 20 perusahaan lainnya dalam tahap siap beroperasi
Film dokumenter The Mahuzes yang menampilkan fenomena Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE) di Papua misalnya mengingatkan publik tentang fenomena land grabbing atau akuisisi lahan sebagaimana dikaji oleh Grain (2008). Film ini secara gamblang menggambarkan pengambilalihan lahan-lahan secara masif. Hal yang menarik dari kajian Grain yang juga tergambar dalam film ini adalah fakta di mana dalam setiap proses land grabbing swasta selalu memegang kendali di balik proses akuisisi tanah yang diaktori negara.
Bagi orang kebanyakan, Film-film dokumenter yang dibuat Dandhy Dwi Laksono tentu saja lebih mudah dicerna bila dibandingkan dengan mendengarkan ceramah ilmiah Profesor Tania Murray Li tentang di dinamika kontemporer land grabbing Universitas Sussex, Inggris misalnya.
Kembali ke film The Mahuzes, konversi lahan besar-besaran ini tak terlepas dari program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang tengah gencar dilakukan Pemerintah Pusat. Pada program MIFEE ini akan ada proyek konversi sawah sejuta hektare berbasis perusahaan. Targetnya, untuk memenuhi 30 persen kebutuhan beras nasional dan ekspor.
Menonton film ini, penulis teringat film Burning Season pada tahun 1994an karya sutradara John Frankenheimer. Meski bukan film dokumenter, film The Burning Season adalah film yang diambil dari kisah nyata yang terjadi pada masyarakat Cachoeira, sekitaran hutan hujan Amazon, Brazil, antara 1951 – 1990an. Film ini menceritakan perjuangan seorang bernama Chico Mendes beserta para penyadap karet untuk menghentikan eksploitasi hutan yang dilakukan oleh perusahaan besar.
Film The Mahuzes dan The Burning Season juga sama-sama menunjukan peran gereja dan tokoh agama lokal dalam mendampingi perjuangan masyarakat. Beberapa adegan dalam kedua film ini jelas menunjukan peran gereja dalam perjuangan menuntut keadilan.
Nalar Publik
Bagi para pengajar agraria kehadiran film-film dokumenter bertema agaria ini sesungguhnya memudahkan untuk menjelaskan persoalan-persoalan agraria dalam ranah yang kontekstual. Demikian pula bagi para pegiat agraria kehadiran film dokumenter menjadi medium yang efektif untuk membangun nalar publik terkait persoalan agraria yang dihadapi di lapangan.
Istilah nalar publik sendiri pertama kali diucapkan oleh Immanuel Kant dalam tajuk rencana yang ia tulis pada tahun 1784, untuk menjawab pertanyaan ‘Apa itu Renaisans?‘. Public reason sendiri dapat membenarkan aneka pendapat dalam aneka kasus dengan alasan yang dapat diterima oleh bermacam-macam orang.
Para pembuat film dokumenter seperti Dandy Dwi Laksono dll tampaknya sangat menyadari bahwa keadaan harus segera diubah. Lewat film-flm dokumenternya nalar politik rakyat harus terus diasah dan dipertajam. Film-film dokumenter yang mereka produksi dijadikan medium pendidikan yang mencerahkan (Aufklarung) dan membebaskan ansich merupakan jawaban dalam mengasah nalar politik dan membaca naluri publik.
Bagi penulis , film-film dokumenter yang diproduksi Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz tidak sekedar menawarkan informasi yang berangkat dari riset tapi juga sebuah pendekatan hati guna mengetuk nalar dan hati para penontonnya. Menutup tulisan ini penulis teringat pesan (Alm) Prof. Soetandyo Wignyosoebroto bahwasannya pendidikan adalah untuk “educating the brain and heart” pendidikan itu mendidik otak dan hati sekaligus. Film ini berusaha menyentuh keduannya secara bersamaan.
Penulis : Oki Hajiansyah Wahab (Pegiat Pojoksamber.com, Mengajar di Universitas Muhammadiyah Metro)
0 Response to "Belajar Agraria Lewat Film Dokumenter"
Post a Comment