Melawan Diskriminasi
Saturday, February 4, 2017
Add Comment
Pada tahun 2000, ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat menjadi presiden Indonesia, undang-undang (UU) No 14 tahun 1967, sebagai undang-undang yang melandasi diskriminasi kepada warga keturunan Tionghoa akhirnya dicabut. Pencabutan UU itu menjadi awal terlepasnya warga keturunan Tionghoa dari balutan diskriminasi undang-undang bentukan rezim orde baru yang despotik.
Dalam rentetan sejarah Indonesia, warga keturunan Tionghoa banyak mengalami diskriminasi. Kebijakan yang mengarah kepada pendiskriminasian yang diarahkan kepada warga keturunan Tionghoa di Indonesia sudah ada sejak masa kolonialisme Hindia Belanda. Warga keturunan Tionghoa oleh Belanda dinilai berbahaya karena mempunyai kemampuan dalam penguasaan bidang perdagangan, yang ditakutkan akan mengancam perekonomian pemerintahan negeri jajahan Hindia Belanda.
Zaman penjajahan Hindia Belanda kala itu, kalangan Tionghoa dilarang untuk tinggal dipemukiman yang berbaur dengan warga pribumi dan eropa. Warga Tionghoa ditempatkan di pemukiman yang terpisah dari orang-orang pribumi. Kebijakan seperti ini mempunyai dampak jangka panjang yang kurang konstruktif dalam hubungan sosial-kebudayaan kita. Dimana tidak terjadinya pembauran kebudayaan antara kebudayaan pribumi dengan kebudayaan Tionghoa. Akhirnya, tidak heran kemudian hingga saat ini banyak dari orang-orang disekitar kita masih menganggaap kalau warga keturunan Tionghoa bukan bagian dari saudara setanah air kita.
Ternyata, efek dari tatanan sosial yang diskriminatif untuk warga keturunan Tionghoa masa Kolonialis Hindia Belanda dan Orde Baru Suharto tersebut mempunyai dampak hingga saat ini. Antara kebudayaan pribumi dengan Tionghoa tidak terjadi pembauran kebudayaan, dampak yang cukup serius adalah tidak terjadinya asimilasi kebudayaan antara keduanya. Hingga akhirnya, hal ini berdampak pada hubungan sosial antara keduanya. Rasa persaudaraan antara keduanya sulit untuk bisa dimunculkan. Dampak negatif dalam skala berbangsa kita adalah hubungan sosial yang tidak mempunyai rasa persaudaraan dan saling memiliki, yang kemudian memungkinkan munculnya perilaku diskriminasi yang besar. Terutama akan banyak diderita oleh kaum minoritasnya, yaitu kalangan Tionghoa.
Seperti yang sudah disinggung diatas, sekat-sekat kebudayaan seperti itu berusaha untuk diubah oleh Gus Dur. Yang dulunya (zaman kolonial dan orde baru), warga keturunan Tionghoa dilarang merayakan hari-hari besarnya dalam ranah publik, akhirnya sekarang kebebasan itu sekarang dapat dinikmati.
Walaupun demikian, pekerjaan rumah yang harus kita perbaiki tentunya masih banyak. Perilaku diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa hingga saat ini masih banyak terjadi. Upaya-upaya untuk melawan diskriminasi memang harus terus banyak diupayakan.
Peran-peran masyarakat sipil dalam penegakan toleransi dalam konteks alam reformasi saat ini tentunya sangatlah penting. Dimana kran-kran demokrasi dibuka seluas-luasnya. Dalam alam demokrasi seperti ini, peran masyarakat sipil bukan hanya dibutuhkan hanya saat waktu Pemilihan Umum (Pemilu) saja. Gerakan-gerakan sosial yang terorganisir berbasis masyarakat sipil mempunyai peranan yang penting untuk terlibat secara aktif dalam mendorong perwujudan toleransi dalam lingkungan berbangsa kita.
Yang seringkali menjadi korban tindakan diskriminatif dan intoleran tentunya adalah kalangan minoritas, baik aliran keagamaan, kepercayaan maupun kesukuan. Ahmadiyah di Jawa Barat, Syi’ah di Madura, komunitas kepercayaan Gafatar, komunitas LGBT, dan warga keturunan Tionghoa kerapkali menjadi korban tindakan-tindakan diskriminatif dan intoleran.
Tindakan diskriminatif dan intoleran yang dilakukan oleh kalangaan tertentu, seringkali tidak hanya diskriminasi dalam bentuk kekerasan psikis saja. Tetapi seringkali tindakan-tindakan kekerasan fisik kerapkali digunakan. Tindakan kekerasan seperti ini tentunya sudah masuk dalam kategori tindakan intoleran tingkat tinggi. Tindakan intoleran berbentuk kekerasan fisik bahkan sampai mengancam terjadinya korban nyawa seperti ini tentunya harus terus kita upayakan untuk dilawan.
****
Selain itu, perlu diperhatikan juga, ternyata bentuk-bentuk diskriminasi tidak hanya dalam ranah hubungan sosial saja. Tetapi, perilaku diskriminatif dalam ranah yang lain harus banyak diperhatikan juga. Dalam ranah ekonomi misalnya, seringkali juga menjadi lahan diskriminatif yang membahayakan juga.
Monopoli penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh sekelompok kecil kalangan saja, hingga mengakibatkan kerugian bagi banyak kalangan juga merupakan suatu perilaku diskriminatif . Monopoli ekonomi seperti ini memungkinkan terjadinya perilaku-prilaku hubungan ekonomi yang menindas banyak kalangan. Kekayaan yang hanya dikuasai segelintir orang saja, pasti kemudian akan memunculkan gap kekayaan yang tinggi antara yang kaya dengan yang miskin. Hal ini akan berdampak dalam hubungan sosial-ekonomi yang merugikan kepada pihak yang lemah kemampuan ekonominya (baca : miskin). Pembedaan dalam ranah sosial yang disebabkan oleh tingkat kekayaan ekonomi sering terjadi.
Konflik-konflik agraria yang akhir-akhir ini banyak terjadi di tanah air,semisal Penolakan Pabrik Semen oleh petani Kendeng di Jawa Tengah, Urut Sewu Kebumen, Penggusuran Kampung Pulo, Reklamasi Pantai Utara Jakarta, Penolakan Reklamasi di Teluk Benoa oleh warga Bali, Penolakan Petani Kulon Progo dan Sukamulya terhadap penggusuran tanah mereka atas pembanguna Bandara dan masih banyak kasus agraria lainnya merupakan dampak rill rentetan hubungan sosio-ekonomi. Perlawanan yang dilakukan oleh petani dan korban penggusuran ini dilatarbelangi oleh pencaplokan lahannya oleh kekuatan besar yang mempunyai dominasi kuat dalam sektor ekonomi.
Dominasi ekonomi oleh segelintir pihak ini mempunyai rentetan dampak panjang dalam tata sosial kita. Misalnya, kecenderungan kebijakan publik oleh pemerintah seringkali menyisihkan pihak-pihak yang secara kapasitas ekonominya lemah (baca : miskin). Bentuk-bentuk kebijakan seperti penggusuran yang kerapkali diiringi oleh tindakan kekerasan oleh aparat penegak hukum akhir-akhir ini merupakan dampak dari jaringan relasi kuasa ekonomi yang dimonopoli oleh segelintir orang saja.
Pembacaan terhadap diskriminasi ekonomi seperti ini tentunya sedikit lebih memerlukan ketelatenan dalam pembacaan berbasis ekonomi-politik. Bentuk penindasan berbasis diskriminasi ekonomi ini hanya bisa dibaca dalam kerangka ekonomi-politik, dengan melihat relasi kuasa ekonomi pemilik modal dan ketidakadilan yang diterima oleh kalangan ekonomi lemah (baca: miskin) dalam konteks kebijakan publik yang tidakmenguntungkanrakyat kecil.
Diskriminasi ekonomi seperti ini tentunya juga tidak kalah menyakitkan dibandingkan dengan diskriminasi dalam ranah sosial. Penggusuran dan pengusiran paksa petani dan penduduk dari sumber penghidupannya secara paksa merupakan bagian dari ketidakadilan dan pelanggaran kemanusiaan yang nyata juga.
Kedua bentuk diskriminasi ini mempunyai tingkat ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sama-sama perlu diperhatikan. Keduanya tidak bisa dipisahkan dan diperdebatkan mana yang lebih penting. Kedua bentuk diskriminasi ini mempunyai porsi yang sama-sama penting untuk terus dilawan. []
Penulis: M. Fakhru Riza
Dalam rentetan sejarah Indonesia, warga keturunan Tionghoa banyak mengalami diskriminasi. Kebijakan yang mengarah kepada pendiskriminasian yang diarahkan kepada warga keturunan Tionghoa di Indonesia sudah ada sejak masa kolonialisme Hindia Belanda. Warga keturunan Tionghoa oleh Belanda dinilai berbahaya karena mempunyai kemampuan dalam penguasaan bidang perdagangan, yang ditakutkan akan mengancam perekonomian pemerintahan negeri jajahan Hindia Belanda.
Zaman penjajahan Hindia Belanda kala itu, kalangan Tionghoa dilarang untuk tinggal dipemukiman yang berbaur dengan warga pribumi dan eropa. Warga Tionghoa ditempatkan di pemukiman yang terpisah dari orang-orang pribumi. Kebijakan seperti ini mempunyai dampak jangka panjang yang kurang konstruktif dalam hubungan sosial-kebudayaan kita. Dimana tidak terjadinya pembauran kebudayaan antara kebudayaan pribumi dengan kebudayaan Tionghoa. Akhirnya, tidak heran kemudian hingga saat ini banyak dari orang-orang disekitar kita masih menganggaap kalau warga keturunan Tionghoa bukan bagian dari saudara setanah air kita.
Ternyata, efek dari tatanan sosial yang diskriminatif untuk warga keturunan Tionghoa masa Kolonialis Hindia Belanda dan Orde Baru Suharto tersebut mempunyai dampak hingga saat ini. Antara kebudayaan pribumi dengan Tionghoa tidak terjadi pembauran kebudayaan, dampak yang cukup serius adalah tidak terjadinya asimilasi kebudayaan antara keduanya. Hingga akhirnya, hal ini berdampak pada hubungan sosial antara keduanya. Rasa persaudaraan antara keduanya sulit untuk bisa dimunculkan. Dampak negatif dalam skala berbangsa kita adalah hubungan sosial yang tidak mempunyai rasa persaudaraan dan saling memiliki, yang kemudian memungkinkan munculnya perilaku diskriminasi yang besar. Terutama akan banyak diderita oleh kaum minoritasnya, yaitu kalangan Tionghoa.
Seperti yang sudah disinggung diatas, sekat-sekat kebudayaan seperti itu berusaha untuk diubah oleh Gus Dur. Yang dulunya (zaman kolonial dan orde baru), warga keturunan Tionghoa dilarang merayakan hari-hari besarnya dalam ranah publik, akhirnya sekarang kebebasan itu sekarang dapat dinikmati.
Walaupun demikian, pekerjaan rumah yang harus kita perbaiki tentunya masih banyak. Perilaku diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa hingga saat ini masih banyak terjadi. Upaya-upaya untuk melawan diskriminasi memang harus terus banyak diupayakan.
Peran-peran masyarakat sipil dalam penegakan toleransi dalam konteks alam reformasi saat ini tentunya sangatlah penting. Dimana kran-kran demokrasi dibuka seluas-luasnya. Dalam alam demokrasi seperti ini, peran masyarakat sipil bukan hanya dibutuhkan hanya saat waktu Pemilihan Umum (Pemilu) saja. Gerakan-gerakan sosial yang terorganisir berbasis masyarakat sipil mempunyai peranan yang penting untuk terlibat secara aktif dalam mendorong perwujudan toleransi dalam lingkungan berbangsa kita.
Yang seringkali menjadi korban tindakan diskriminatif dan intoleran tentunya adalah kalangan minoritas, baik aliran keagamaan, kepercayaan maupun kesukuan. Ahmadiyah di Jawa Barat, Syi’ah di Madura, komunitas kepercayaan Gafatar, komunitas LGBT, dan warga keturunan Tionghoa kerapkali menjadi korban tindakan-tindakan diskriminatif dan intoleran.
Tindakan diskriminatif dan intoleran yang dilakukan oleh kalangaan tertentu, seringkali tidak hanya diskriminasi dalam bentuk kekerasan psikis saja. Tetapi seringkali tindakan-tindakan kekerasan fisik kerapkali digunakan. Tindakan kekerasan seperti ini tentunya sudah masuk dalam kategori tindakan intoleran tingkat tinggi. Tindakan intoleran berbentuk kekerasan fisik bahkan sampai mengancam terjadinya korban nyawa seperti ini tentunya harus terus kita upayakan untuk dilawan.
****
Selain itu, perlu diperhatikan juga, ternyata bentuk-bentuk diskriminasi tidak hanya dalam ranah hubungan sosial saja. Tetapi, perilaku diskriminatif dalam ranah yang lain harus banyak diperhatikan juga. Dalam ranah ekonomi misalnya, seringkali juga menjadi lahan diskriminatif yang membahayakan juga.
Monopoli penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh sekelompok kecil kalangan saja, hingga mengakibatkan kerugian bagi banyak kalangan juga merupakan suatu perilaku diskriminatif . Monopoli ekonomi seperti ini memungkinkan terjadinya perilaku-prilaku hubungan ekonomi yang menindas banyak kalangan. Kekayaan yang hanya dikuasai segelintir orang saja, pasti kemudian akan memunculkan gap kekayaan yang tinggi antara yang kaya dengan yang miskin. Hal ini akan berdampak dalam hubungan sosial-ekonomi yang merugikan kepada pihak yang lemah kemampuan ekonominya (baca : miskin). Pembedaan dalam ranah sosial yang disebabkan oleh tingkat kekayaan ekonomi sering terjadi.
Konflik-konflik agraria yang akhir-akhir ini banyak terjadi di tanah air,semisal Penolakan Pabrik Semen oleh petani Kendeng di Jawa Tengah, Urut Sewu Kebumen, Penggusuran Kampung Pulo, Reklamasi Pantai Utara Jakarta, Penolakan Reklamasi di Teluk Benoa oleh warga Bali, Penolakan Petani Kulon Progo dan Sukamulya terhadap penggusuran tanah mereka atas pembanguna Bandara dan masih banyak kasus agraria lainnya merupakan dampak rill rentetan hubungan sosio-ekonomi. Perlawanan yang dilakukan oleh petani dan korban penggusuran ini dilatarbelangi oleh pencaplokan lahannya oleh kekuatan besar yang mempunyai dominasi kuat dalam sektor ekonomi.
Dominasi ekonomi oleh segelintir pihak ini mempunyai rentetan dampak panjang dalam tata sosial kita. Misalnya, kecenderungan kebijakan publik oleh pemerintah seringkali menyisihkan pihak-pihak yang secara kapasitas ekonominya lemah (baca : miskin). Bentuk-bentuk kebijakan seperti penggusuran yang kerapkali diiringi oleh tindakan kekerasan oleh aparat penegak hukum akhir-akhir ini merupakan dampak dari jaringan relasi kuasa ekonomi yang dimonopoli oleh segelintir orang saja.
Pembacaan terhadap diskriminasi ekonomi seperti ini tentunya sedikit lebih memerlukan ketelatenan dalam pembacaan berbasis ekonomi-politik. Bentuk penindasan berbasis diskriminasi ekonomi ini hanya bisa dibaca dalam kerangka ekonomi-politik, dengan melihat relasi kuasa ekonomi pemilik modal dan ketidakadilan yang diterima oleh kalangan ekonomi lemah (baca: miskin) dalam konteks kebijakan publik yang tidakmenguntungkanrakyat kecil.
Diskriminasi ekonomi seperti ini tentunya juga tidak kalah menyakitkan dibandingkan dengan diskriminasi dalam ranah sosial. Penggusuran dan pengusiran paksa petani dan penduduk dari sumber penghidupannya secara paksa merupakan bagian dari ketidakadilan dan pelanggaran kemanusiaan yang nyata juga.
Kedua bentuk diskriminasi ini mempunyai tingkat ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sama-sama perlu diperhatikan. Keduanya tidak bisa dipisahkan dan diperdebatkan mana yang lebih penting. Kedua bentuk diskriminasi ini mempunyai porsi yang sama-sama penting untuk terus dilawan. []
Penulis: M. Fakhru Riza
0 Response to "Melawan Diskriminasi"
Post a Comment