Trump, Belajarlah dari Sarbjit
Saturday, February 4, 2017
Add Comment
Telpon itu berdering dengan cukup keras memecah keheningan dalam ruang tamu sebuah keluarga, ketika diangkat telepon tersebut rupanya sang ayah yang ingin mengabarkan perjalanannya ke luar negeri. Sang ayah rupanya sedang melakukan perjalanan ke Jordania untuk mencoba masuk ke daerah Palestina, di kabar itulah sang anak mengetahui bahwa sang ayah sudah berada di Gaza, salah satu daerah di Palestina.
Dalam telpon singkat tersebut demi menghemat pembayaran telepon yang membengkak, sang ayah menceritakan bahwa ia beserta ibu ketika melewati checkpoint pemeriksaan imigrasi itu memakan waktu selama 10 jam, hanya untuk memeriksa 50 orang dari rombongan tersebut. “semua orang yang beragama Islam, harus diperiksa dengan sangat ketat bahkan terlalu ketat” begitu cerita sang ayah di telpon tersebut.
Sekitar 4000 km dari asal telpon tersebut, pernah berdiri sebuah dinding yang dibangun atas perintah Walter Ulbricht membentang sepanjang 155 km. pemerintah sosialis Jerman Timur waktu itu menganggap bahwa Berlin adalah lubang bagi daerah mereka sehingga mereka berinisiatif untuk membangun tembok yang diawali dari pembangunan kawat berduri sebagai pemisah.
Tak sedikit kisah yang menyertai perjalanan tembok yang dikenal dengan tembok berlin, seorang presiden Amerika pun pernah berpidato di tembok tersebut dengan diktum yang masyhur masa itu “An Evil Empire”, untuk menyebut pemerintahan sosialis di Jerman Timur kala itu. Kebencian para politikus saat itu diamini dengan terjadinya sebuah “Keajaiban Ekonomi” di Jerman Barat yang menggoda para rakyat Jerman Timur kala itu banyak yang berpindah diam-diam ke Jerman Barat. Dari yang terbunuh hingga yang dihukum karena melakukan penerobosan dinding tersebut, ada sekitar ratusan orang yang menjadi korban penerobosan dinding tersebut.
Minggu lalu selain kabar tertangkap tangannya seorang hakim Mahkamah Konstitusi berinisial PA, kabar yang sedang naik daun adalah ditandatanganinya peraturan yang melarang dan membatasi kunjungan dengan alasan apapun ke Amerika Serikat. Adapun negara-negara yang diberlakukan penundaan visa selama 90 hari ke depan adalah negara-negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, seperti Somalia, Yaman, Suriah, Libia, Sudan, Iran dan Irak.
Sebagai presiden yang baru saja dilantik beberapa hari, Trump seakan-akan tak mau menunggu lama untuk menjalankan janji-janji politiknya, diantaranya memberlakukan larangan visa bagi tujuh negara dan membangun tembok pembatas di perbatasan Amerika-Meksiko. Dalam janji politiknya Trump menegaskan bahwa akan membatasi masuknya para imigran muslim ke amerika khususnya bagi negara-negara yang dicurigai sebagai sarangnya teroris. Selain itu Trump juga ingin membatasi keluar masuknya orang-orang meksiko ke wilayahnya, dengan alasan bahwa merekalah yang membawa kerusakan di Amerika Serikat diantaranya karena masalah obat-obatan.
Antara Trump, Sarbjit dan Gandhi
Seperti biasa, sebuah keputusan presiden akan mendapatkan respon pro dan kontra. Dalam kasus keputusan pembatasan visa ini, Trump mendapatkan penolakan yang cukup massif dari masyarakatnya. Rakyat Amerika menggangap bahwa peraturan yang dibuat oleh Trump tersebut mengkhianati apa yang menjadi dasar kehidupan di Amerika yaitu kesetaraan dan pluralitas.
Penolakan bukan hanya dari kalangan masyarakat yang merasakan imbasnya yaitu masyarakat muslim, karena semua negara yang dilarang masuk ke Amerika adalah negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim. Penolakan ini juga datang dari mereka yang berbeda latarnya, suku, agama, ras dan lain sebagainya. Bahkan isu yang beredar di rakyat Amerika, pelarangan ini akan menyasar kepada pemeluk agama Islam.
Pelarangan masyarakat muslim memasuki daerah Amerika Serikat, merupakan isu yang dihembuskan karena kebencian Trump sudah terendus sejak ia mencalonkan diri menjadi presiden Amerika Serikat. Kebencian seperti ini seakan-akan membumbui orang-orang yang memang sudah memiliki pandangan yang antipasti terhadap pemeluk agama lain.
Penembakan yang terjadi di Quebec daerah bagian Kanada, disebut-sebut sebagai salah satu reaksi dari keputusan Trump yang didasari atas kebenciannya terhadap pemeluk agama lain. Selain memberlakukan larangan visa terhadap tujuh negara yang dianggap penyuplai teroris, Trump juga mengutarakan keinginan untuk membangun tembok sepanjang perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko dan menambah pasukan yang menjaga perbatasan tersebut.
Dengan alasan penduduk Meksikolah yang membawa narkoba, ganja dan obat-obatan terlarang untuk merusak penduduk Amerika Serikat, Trump ingin membatasi keluar-masuknya para penduduk Meksiko ke Amerika Serikat dengan membangun tembok yang kalau dihitung-hitung panjangnya hampir 4000km. Usulan Trump itu sudah masuk ke kongres Amerika, tinggal dibahas disana namun masih terkendala dana pembangunan.
Jika kita mau melihat ke Indonesia dan berkaca ke kasus Trump di Amerika Serikat, maka kita sebenarnya bisa melihat perilaku yang sama namun dalam bentuk yang berbeda dan kasus yang berbeda lagi. Di Indonesia ini, kita sekarang melihat kebencian dan rasa memusuhi mulai diarahkan kepada salah satu etnis atau agama tertentu. Seakan-akan jika Belanda dulu susah payah memberlakukan politik belah bambu, namun jika Belanda tak perlu susah payah karena kita sekarang sudah melakukan pembelahan.
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. Dalam sejarah dunia, banyak mencatat akibat dari doktrin rasisme ini, Kigali, Pakistan dan Chili.
Beberapa penulis dalam berbagai novel atau tulisan-tulisan serius menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri (etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe)
Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial.
Tanggal 30 Januari tadi kita sebagai orang yang menjunjung nilai humanisme seharusnya memperingati meninggalnya salah satu tokoh yang paling menentang doktrin rasisme ini yaitu Mahatma Gandhi, beliau meninggal akibat ditembak oleh seorang lelaki hindu yang marah kepadanya karena terlalu memihak kepada Muslim. Gandhi sudah banyak mengajarkan kepada kita bahwa kebencian kepada orang lain akan membawa bencana bukan membawa kebaikan.
Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan, di sinilah Gandhi menekankan bahwa Cinta adalah kunci kehidupan manusia bukanlah kebencian.
Saya akan menutup tulisan ini dengan mengusulkan sebuah film sangat bagus dalam memperlihatkan bagaimana sebuah tembok perbatasan yang telah banyak menimbulkan masalah kemanusiaan, film itu berjudul Sarbjit, film ini menceritakan bagaimana rasa permusuhan yang dipelihara selama ini banyak menimbulkan masalah, diantaranya adalah Sarbjit. Sarbjit adalah seorang rakyat India yang ditahan selama hampir 40 tahun di penjara Pakistan, yang dituduh atas kesalahan yang tidak lakukan. Film ini ditutup dengan menuliskan per 1 Juli 2015, ada ratusan rakyat India yang dipenjara atas kesalahan yang belum terbukti atau dipaksa untuk diakui, begitu juga sebaliknya. []
Supriansyah
Dalam telpon singkat tersebut demi menghemat pembayaran telepon yang membengkak, sang ayah menceritakan bahwa ia beserta ibu ketika melewati checkpoint pemeriksaan imigrasi itu memakan waktu selama 10 jam, hanya untuk memeriksa 50 orang dari rombongan tersebut. “semua orang yang beragama Islam, harus diperiksa dengan sangat ketat bahkan terlalu ketat” begitu cerita sang ayah di telpon tersebut.
Sekitar 4000 km dari asal telpon tersebut, pernah berdiri sebuah dinding yang dibangun atas perintah Walter Ulbricht membentang sepanjang 155 km. pemerintah sosialis Jerman Timur waktu itu menganggap bahwa Berlin adalah lubang bagi daerah mereka sehingga mereka berinisiatif untuk membangun tembok yang diawali dari pembangunan kawat berduri sebagai pemisah.
Tak sedikit kisah yang menyertai perjalanan tembok yang dikenal dengan tembok berlin, seorang presiden Amerika pun pernah berpidato di tembok tersebut dengan diktum yang masyhur masa itu “An Evil Empire”, untuk menyebut pemerintahan sosialis di Jerman Timur kala itu. Kebencian para politikus saat itu diamini dengan terjadinya sebuah “Keajaiban Ekonomi” di Jerman Barat yang menggoda para rakyat Jerman Timur kala itu banyak yang berpindah diam-diam ke Jerman Barat. Dari yang terbunuh hingga yang dihukum karena melakukan penerobosan dinding tersebut, ada sekitar ratusan orang yang menjadi korban penerobosan dinding tersebut.
Minggu lalu selain kabar tertangkap tangannya seorang hakim Mahkamah Konstitusi berinisial PA, kabar yang sedang naik daun adalah ditandatanganinya peraturan yang melarang dan membatasi kunjungan dengan alasan apapun ke Amerika Serikat. Adapun negara-negara yang diberlakukan penundaan visa selama 90 hari ke depan adalah negara-negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, seperti Somalia, Yaman, Suriah, Libia, Sudan, Iran dan Irak.
Sebagai presiden yang baru saja dilantik beberapa hari, Trump seakan-akan tak mau menunggu lama untuk menjalankan janji-janji politiknya, diantaranya memberlakukan larangan visa bagi tujuh negara dan membangun tembok pembatas di perbatasan Amerika-Meksiko. Dalam janji politiknya Trump menegaskan bahwa akan membatasi masuknya para imigran muslim ke amerika khususnya bagi negara-negara yang dicurigai sebagai sarangnya teroris. Selain itu Trump juga ingin membatasi keluar masuknya orang-orang meksiko ke wilayahnya, dengan alasan bahwa merekalah yang membawa kerusakan di Amerika Serikat diantaranya karena masalah obat-obatan.
Antara Trump, Sarbjit dan Gandhi
Seperti biasa, sebuah keputusan presiden akan mendapatkan respon pro dan kontra. Dalam kasus keputusan pembatasan visa ini, Trump mendapatkan penolakan yang cukup massif dari masyarakatnya. Rakyat Amerika menggangap bahwa peraturan yang dibuat oleh Trump tersebut mengkhianati apa yang menjadi dasar kehidupan di Amerika yaitu kesetaraan dan pluralitas.
Penolakan bukan hanya dari kalangan masyarakat yang merasakan imbasnya yaitu masyarakat muslim, karena semua negara yang dilarang masuk ke Amerika adalah negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim. Penolakan ini juga datang dari mereka yang berbeda latarnya, suku, agama, ras dan lain sebagainya. Bahkan isu yang beredar di rakyat Amerika, pelarangan ini akan menyasar kepada pemeluk agama Islam.
Pelarangan masyarakat muslim memasuki daerah Amerika Serikat, merupakan isu yang dihembuskan karena kebencian Trump sudah terendus sejak ia mencalonkan diri menjadi presiden Amerika Serikat. Kebencian seperti ini seakan-akan membumbui orang-orang yang memang sudah memiliki pandangan yang antipasti terhadap pemeluk agama lain.
Penembakan yang terjadi di Quebec daerah bagian Kanada, disebut-sebut sebagai salah satu reaksi dari keputusan Trump yang didasari atas kebenciannya terhadap pemeluk agama lain. Selain memberlakukan larangan visa terhadap tujuh negara yang dianggap penyuplai teroris, Trump juga mengutarakan keinginan untuk membangun tembok sepanjang perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko dan menambah pasukan yang menjaga perbatasan tersebut.
Dengan alasan penduduk Meksikolah yang membawa narkoba, ganja dan obat-obatan terlarang untuk merusak penduduk Amerika Serikat, Trump ingin membatasi keluar-masuknya para penduduk Meksiko ke Amerika Serikat dengan membangun tembok yang kalau dihitung-hitung panjangnya hampir 4000km. Usulan Trump itu sudah masuk ke kongres Amerika, tinggal dibahas disana namun masih terkendala dana pembangunan.
Jika kita mau melihat ke Indonesia dan berkaca ke kasus Trump di Amerika Serikat, maka kita sebenarnya bisa melihat perilaku yang sama namun dalam bentuk yang berbeda dan kasus yang berbeda lagi. Di Indonesia ini, kita sekarang melihat kebencian dan rasa memusuhi mulai diarahkan kepada salah satu etnis atau agama tertentu. Seakan-akan jika Belanda dulu susah payah memberlakukan politik belah bambu, namun jika Belanda tak perlu susah payah karena kita sekarang sudah melakukan pembelahan.
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. Dalam sejarah dunia, banyak mencatat akibat dari doktrin rasisme ini, Kigali, Pakistan dan Chili.
Beberapa penulis dalam berbagai novel atau tulisan-tulisan serius menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri (etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe)
Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial.
Tanggal 30 Januari tadi kita sebagai orang yang menjunjung nilai humanisme seharusnya memperingati meninggalnya salah satu tokoh yang paling menentang doktrin rasisme ini yaitu Mahatma Gandhi, beliau meninggal akibat ditembak oleh seorang lelaki hindu yang marah kepadanya karena terlalu memihak kepada Muslim. Gandhi sudah banyak mengajarkan kepada kita bahwa kebencian kepada orang lain akan membawa bencana bukan membawa kebaikan.
Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan, di sinilah Gandhi menekankan bahwa Cinta adalah kunci kehidupan manusia bukanlah kebencian.
Saya akan menutup tulisan ini dengan mengusulkan sebuah film sangat bagus dalam memperlihatkan bagaimana sebuah tembok perbatasan yang telah banyak menimbulkan masalah kemanusiaan, film itu berjudul Sarbjit, film ini menceritakan bagaimana rasa permusuhan yang dipelihara selama ini banyak menimbulkan masalah, diantaranya adalah Sarbjit. Sarbjit adalah seorang rakyat India yang ditahan selama hampir 40 tahun di penjara Pakistan, yang dituduh atas kesalahan yang tidak lakukan. Film ini ditutup dengan menuliskan per 1 Juli 2015, ada ratusan rakyat India yang dipenjara atas kesalahan yang belum terbukti atau dipaksa untuk diakui, begitu juga sebaliknya. []
Supriansyah
0 Response to "Trump, Belajarlah dari Sarbjit"
Post a Comment