Bubur Lemu Gibran dan Nasi Goreng Cikeas
Friday, August 11, 2017
Add Comment
Pertemuan AHY dan Presiden Jokowi memunculkan banyak makna. Pertama, Jokowi bukanlah tipe presiden yang protokoler. Bila memang waktu dan kesempatan memungkinkan, yang mau bertemu dengannya diterima. AHY pun diterima. Apalagi bapaknya. Maka menjadi aneh ketika beberapa waktu lalu, SBY mengeluh sulit bertemu Jokowi. Bahkan melempar tuduhan bahwa ada beberapa pihak yang menghalanginya. Tokh kenyataannya, Jokowi menerima kehadiran SBY.
Kedua, kedatangan AHY bermaksud mengundang Jokowi selaku presiden menghadiri peresmian Yudhoyono Institute. Juga, mungkin saja "Diplomasi Undangan" sebagai upaya menyudahi ketegangan. Sebab publik juga tau, belum berselang lama SBY dan Prabowo melempar tuduhan keras kepada Jokowi, yang disebut abuse of power dan sejenisnya.
Tokh Jokowi dengan tangan terbuka menyambut AHY. Salam SBY yang disampaikan melalui AHY diterima dengan senang hati. Jokowi pun menitipkan salam balik untuk SBY.
AHY memang menjabat Direktur Eksekutif Yudhoyono Institute. Tapi menjadi elok bila SBY datang ke Istana bersama AHY. Bisa jadi, SBY sungkan. Selain tuduhannya mengada-ada, SBY seperti melempar bumerang. Tuduhannya justru menuai banyak kecaman. Maka AHY yang diutus menyampaikan undangan kepada Jokowi.
Ketiga, Jokowi tampaknya jeli membaca gelagat. Kehadiran AHY diterimanya tidak dalam balutan politik. Apa lagi urusan Pilpres. Jokowi lebih suka bicara perlunya peran kaum muda. Tapi itu justru mendapat pujian oleh AHY, yang menyebut Jokowi bersikap demokratis, mau membuka ruang dialog dengan siapa saja. AHY juga sepertinya paham sikap Sang Tuan Rumah. Secara diplomatis dia mengatakan kedatangannya tidak ada kaitannya dengan Partai Demokrat.
Keempat, kehadiran Gibran dalam pertemuan itu tentu saja tidak sekadar menyajikan Bubur Lemu. Gibran, seperti Sang Ayah, tidak ingin kehadiran AHY membawa pesan politik. Sebagai anak, Gibran tentu risih bapaknya terus diserang. Bahasa tubuh Gibran bisa mengkonfirmasi hal itu. Maka Gibran merasa perlu ada di Istana. Wong yang datang anaknya SBY, ya, wajar Gibran sebagai anaknya Jokowi ada di situ. Jadi, itu sesungguhnya sebatas pertemuan antara anak mantan presiden dengan anaknya presiden. Tidak boleh lebih dari itu. "Santai saja, Mas," ujar Gibran kepada AHY yang tampak formal, seperti pakaian yang dikenakannya. Sebaliknya, Gibran tampil rileks dengan pakaian kasual .
Dari momentum pertemuan itu, harus diakui bahwa Jokowi berada di atas angin. Jokowi tidak terpengaruh oleh tuduhan SBY dan Prabowo. Episode "Nasi Goreng Cikeas" ditanggapi santai oleh Jokowi. Bahkan dalam beberapa kesempatan Jokowi malah bisa berguyon ihwal tuduhan bahwa dirinya diktator. "Lihat wajah saya. Apakah seperti diktator?"
Bahwa Jokowi tidak bisa hadir dalam acara peresmian Yudhoyono Institute lebih karena kesibukan. Bukan tidak menghargai "Diplomasi Undangan." Bila waktu dan kesempatan memungkinkan, tentu Jokowi hadir.
Penulis: Jalil Hakim
Kedua, kedatangan AHY bermaksud mengundang Jokowi selaku presiden menghadiri peresmian Yudhoyono Institute. Juga, mungkin saja "Diplomasi Undangan" sebagai upaya menyudahi ketegangan. Sebab publik juga tau, belum berselang lama SBY dan Prabowo melempar tuduhan keras kepada Jokowi, yang disebut abuse of power dan sejenisnya.
Tokh Jokowi dengan tangan terbuka menyambut AHY. Salam SBY yang disampaikan melalui AHY diterima dengan senang hati. Jokowi pun menitipkan salam balik untuk SBY.
AHY memang menjabat Direktur Eksekutif Yudhoyono Institute. Tapi menjadi elok bila SBY datang ke Istana bersama AHY. Bisa jadi, SBY sungkan. Selain tuduhannya mengada-ada, SBY seperti melempar bumerang. Tuduhannya justru menuai banyak kecaman. Maka AHY yang diutus menyampaikan undangan kepada Jokowi.
Ketiga, Jokowi tampaknya jeli membaca gelagat. Kehadiran AHY diterimanya tidak dalam balutan politik. Apa lagi urusan Pilpres. Jokowi lebih suka bicara perlunya peran kaum muda. Tapi itu justru mendapat pujian oleh AHY, yang menyebut Jokowi bersikap demokratis, mau membuka ruang dialog dengan siapa saja. AHY juga sepertinya paham sikap Sang Tuan Rumah. Secara diplomatis dia mengatakan kedatangannya tidak ada kaitannya dengan Partai Demokrat.
Keempat, kehadiran Gibran dalam pertemuan itu tentu saja tidak sekadar menyajikan Bubur Lemu. Gibran, seperti Sang Ayah, tidak ingin kehadiran AHY membawa pesan politik. Sebagai anak, Gibran tentu risih bapaknya terus diserang. Bahasa tubuh Gibran bisa mengkonfirmasi hal itu. Maka Gibran merasa perlu ada di Istana. Wong yang datang anaknya SBY, ya, wajar Gibran sebagai anaknya Jokowi ada di situ. Jadi, itu sesungguhnya sebatas pertemuan antara anak mantan presiden dengan anaknya presiden. Tidak boleh lebih dari itu. "Santai saja, Mas," ujar Gibran kepada AHY yang tampak formal, seperti pakaian yang dikenakannya. Sebaliknya, Gibran tampil rileks dengan pakaian kasual .
Dari momentum pertemuan itu, harus diakui bahwa Jokowi berada di atas angin. Jokowi tidak terpengaruh oleh tuduhan SBY dan Prabowo. Episode "Nasi Goreng Cikeas" ditanggapi santai oleh Jokowi. Bahkan dalam beberapa kesempatan Jokowi malah bisa berguyon ihwal tuduhan bahwa dirinya diktator. "Lihat wajah saya. Apakah seperti diktator?"
Bahwa Jokowi tidak bisa hadir dalam acara peresmian Yudhoyono Institute lebih karena kesibukan. Bukan tidak menghargai "Diplomasi Undangan." Bila waktu dan kesempatan memungkinkan, tentu Jokowi hadir.
Penulis: Jalil Hakim
0 Response to "Bubur Lemu Gibran dan Nasi Goreng Cikeas"
Post a Comment