Metro dan Wisata Pengetahuan

Artikel ini mencoba meneruskan artikel Antara Leiden dan Metro sebelumnya. Di artikel awal telah dijelaskan secara singkat bagaimana Leiden tumbuh dan mengembangkan diri sebagai kota global namun tetap memiliki karakteristik yang unik. Leiden berhasil tumbuh dan mengembangkan diri sebagai kota pengetahuan dan seni.

Artikel berjudul Museum Sastra Andrea Hirata yag ditulis oleh Farid Gaban memberikan pemahaman segar bahwasannya memajukan wisata sebuah daerah tak melulu soal pembangunan infrastruktur dan promosi berbiaya tinggi.Lewat imajinasi dan kecerdasan Andrea membuka mata kita, memperkenalkan makna baru tentang museum kreatif yang bisa dibuat siapa saja, di mana saja dan tentang apa saja.

Andrea berhasil mengubah rumah sederhana, beratap seng dan berdinding kayu menjadi pojok panggung musik, baca puisi, dan pemutaran film. Ada pojok foto dan deskripsi sastrawan dunia. Ada pojok dokumentasi bahasa-bahasa yang terancam punah. Ada juga ruang tempat pengunjung bisa menikmati kopi di warung kopi Kupi Kuli. Hal yang tak kalah penting adalah ruangan khusus untuk membaca dan menulis.

Kesan kesederhanaan dimunculkan meski di wilayah sekitar museum terus dikembangkan sebagai sebagai kawasan wisata Belitung Timur, yang akan segera dilengkapi hotel, tempat konvensi, dan marina untuk kapal pesiar.Logika ini adalah logika bagaimana menciptakan hal menarik terlebih dahulu maka pengunjung akan datang dan selanjutnya baru infrastruktur dikembangkan sesuai kebutuhan. Pemerintah pusat belum lama ini menobatkan Bangka Belitung sebagai satu dari 10 tujuan wisata terpenting, setelah Bali dan Pulau Komodo.Walhasil, kunjungan wisata ke Belitung, pulau yang dulunya kurang dikenal, terus meningkat.

Kembali ke Leiden, sebagai kota destinasi pelajar dari seluruh dunia Leiden juga menyediakan banyak jenis makanan dari seluruh dunia seperti Chinese, Indonesia, India, Yunani, Italia, Perancis, International, dan masih banyak lagi. Mirip dengan Metro bukan yang penuh dengan kuliner meski gaya kulinernya baru sekedar replikasi dari apa yang sedang trend dikota lain. Hal ini menunjukan bahwa sesungguhnya peradaban kita masih dalam tahap replikator, bukan inovator.

Hal lain yang unik sebagaimana dijelaskan sebelumnya dimana sepeda adalah mode transpotrasi favorit di Leiden. Kebanyakan jenis sepeda yang digunakan di Belanda adalah sepeda jenis klasik yang di Indonesia biasa disebut “sepeda kumbang”, “sepeda tukang ikan”, atau “sepeda tukang sayur”. Di Belanda sendiri sepeda jenis ini disebut “oomafiets” atau sepeda nenek-nenek.

Ini menjadi keunikan sendiri bagi setiap orang yang datang ke Leiden. Leiden berhasil membrntuk gaya hidup tersendir yang menjadikannya dkenal dan dikenang. Seorang kolega sampai mengirimkan sepedanya dari Leiden ke Batam kampungnya untuk mengenang kehidupan di Leiden. Guru saya almarhum Profesor Soetandyo bercerita setelah 12 tahun meninggalkan sepedannya di Leiden, keponakannya yang berkuliah di Belanda menemukan sepedanya.”Heran saya tidak pindah tempat parkirnya, persis disitu hanya bannya sudah kempes dan catnya mengelupas karena cuaca,” ujarnya.

Bagaimana Metro?

Imajinasi dan inovasi adalah hal paling krusial di kota ini. Keterbatasan anggaran serigkali menjadi kambing hitam kegagalan pengembanan visi wisata keluarga. Ini adalah akibat ketika pengembangan pariwisata dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur sementara kita memiliki keterbatasan anggaran.

Imajinasi dan inovasi lahir dari pengetahuan dan pengalaman berkelana ke berbagai tempat dan mempelajarinya secara seksama bagaimana denyut nadi kota dikembangkan. Anda mungkin tak percaya bila Amsterdam memiliki dua walikota, walikota pagi yang bekerja secara reguler dan “walikota malam. 3/4 pendapatan Amsterdam berasal dari denyut nadi kota di malam hari.

Tahun lalu saat saya kembali mengunjungi Amsterdam saya menjadi paham bagaimana kota ini memiliki pendaaan yang luar biasa. Meski ini tidak cocok dikembangkan di Metro tapi pesan penting yang saya dapat adalah bahwa sebuah kota perlu dibangun dengan imajinasi, pengetahuan dan inovasi tiada henti.

Predikat kota pendidikan gagal dikelola untuk menuju kota wisata sebagaimana dilakukkan Leiden. Ukuran sebuah destinasi wisata berskala global adalah berapa banyak review tentang destinasi atau kota tersebut di situs-situs semacam TripAdvisor. Kehandalan sumber daya manusia di Metro tampaknya belum diangap sebagai modal sosial. Padahal dalam tradisi traveling global, seseorang akan mencari informasi tentang destinasi yanga akan dikunjunginya melalui internet.

Di Lampung Timur kesadaran untuk mempromosikan daerah mulai tumbuh, relawan pengerak wisata, blogger hingga jurnalis didatangkan dan didorong untuk menulis tentang berbagai destinasi wisata di Lampung Timur yang notabene juga secara infrastruktur belumlah siap. Mengapa demikian?karena pemimpinnya adalah seorang traveler yang berkelana ke banyak kota dan negara untuk belajar bagaimana sebuah daerah dikembangkan. Ia uga rajin mengirimkan para ASNnya belajar ke berbagai negara untuk memahamkan imajinasii dan pengetahuan.

Artikel Andrea yang saya sebutkan diatas menyadarkan pada kita bahwa kota-kota kecil juga bisa membangun museum sederhana untuk menonjolkan keunikan lokal. Bahkan, jika bukan untuk menarik wisatawan, museum penting untuk melestarikan kenangan terhadap tempat-tempat, komunitas, sejarah, ataupun budaya.

Penggalian sejarah kota menjadi penting untuk menemukan hal-ha unik yang layak dipasarkan sebagai destinasi wisata. Pengetahuan sejarah akan membawa kita pada imajinasi bagaimana sebuah kota tumbuh dan berkembang dalam zaman. Kita perlu menemukan strategi transformasi bagaimana kota pendidikan dikembangkan menjadi kota wisata keluarga. Sebagai contoh taukah Anda dimana toko buku pertama di Metro?

Andrea Hirata menyadarkan Metro bahwa pada dasarnya memperluas objek wisata yang tidak melulu bicara fisik, tapi juga budaya, sejarah, dan bahkan sastra. Bagaimanapun orang tak akan menemukan pantai, gunung dan tempat-tempat eksotik lainnya di Metro. Orang juga tak akan mencari infrastruktur terbaik di Metro. Pertanyaanya, mampukah Metro mengembangkan diri sebagaimana Leiden mengembangkan kota dan membuat setiap orang menambatkan hatinya di Metro?

Penulis: Oki Hajiansyah Wahab

0 Response to "Metro dan Wisata Pengetahuan"

Post a Comment