Pak Tani yang Ketar-Ketir Saat Panen Tiba

Akhir-akhir ini jeritan pak tani makin sering kita dengar. Keluh kesah yang berseliweran mendenging di sudut-sudut pematang sawah. Persoalan yang menjerat pak tani makin lama makin beragam saja. Predikat tinggal di wilayah dengan julukan “negara agraris” tak sertamerta membuat pak tani diistimewakan dan merasa nyaman dengan profesinya. Acapkalai mereka justru berada pada posisi yang inferior, dipinggirkan oleh manusia-manusia sialan yang menstigmatisasi petani sebagai profesi orang-orang marjinal.

Ada banyak problem yang dialami petani di negara kita. Jika diurai, persoalan besar itu dapat dikelompokan ke dalam tiga bentuk: pemerataan kepemilikan lahan, faktor produksi yang mahal, dan pangsa pasar produk pertanian. Jadi bukan hanya gagal panen saja seperti yang selama ini kita kenal sebagai momok petani. Bahkan pada saat panen melimpah sekalipun petani bisa merugi. Mengapa bisa demikian?

Dalam ilmu ekonomi, dikenal konsep elastisitas. Secara sederhana elastisitas dapat diartikan sebagai derajat kepekaan suatu gejala ekonomi terhadap perubahan gejala ekonomi lain. Pengertian lain elastisitas dapat diartikan sebagai tingkat kepekaan perubahan kuantitas suatu barang yang disebabkan oleh adanya perubahan faktor-faktor lain. Ukuran yang dipakai untuk mengukur derajat kepekaan digunakan rasio/perbandingan persentase perubahan kuantitas barang yang diminta atau barang yang ditawarkan dengan persentase perubahan faktor-faktor yang menyebabkan kuantitas barang itu berubah.

Mengapa saat panen berlimpah sekalipun, tidak ada korelasi positifnya terhadap pendapat petani? Penyebabnya, komoditas pertanian, terutama pertanian pangan memiliki penawaran dan permintaan yang inelastis. Artinya, baik elastisitas permintaan maupun elastisitas penawaran (harga dan pendapatan) pada umumnya memiliki rasio hasil perhitungan lebih dari 1. Apa artinya?

Elastisitas penawaran yang lebih kecil dari 1, mempunyai makna apabila harga naik 10%, maka jumlah baranag pertanian yang ditawarkan tidak lebih dari 10%. Petani tidak bisa merespon kenaikan harga hasil pertanian tersebut dengan memproduksi hasil yang lebih banyak. Penyebabnya adalah: pertama, kegiatan produksi pertanian di negara kita masih sangat bergantung pada kemurahan alam, baik keadaan tanah atau air. Kedua, teknologi yang digunakan masih sangat sederhana, sehingga produktivitas tidak serta merta bisa digenjot ketika harga naik. Ketiga, skala usaha yang kecil menyebabkan kegiatan bertani tidak efisien. Ke-empat, jenis pertanian (terutama pangan) membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memasuki masa panen, sehingga terkadang saat panen tiba, harganya sudah berubah. Berbeda dengan industri tekstil misalnya, saat harga naik, mereka langsung bisa memproduksi lebih banyak barang.

Elastisitas pendapatan yang lebih kecil dari 1 mempunyai makna, bila pendapatan masyarakat naik 10% maka permintaan pangan hanya akan naik kurang dari 10%. Berdasarkan hal ini, peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak akan memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan permintaan pangan. Ilustrasinya, jika pendapatan masyarakat naik, masyarakat tidak akan mengonsumsi nasi lebih banyak dari biasanya. Masyarakat lebih tertarik untuk membelanjakan uangnya pada kebutuhan sekunder dan tersier.

Yang terakhir, elastisitas harga yang lebih dari 1 menunjukan bahwa jika harga komoditas pertanian turun 10%, maka jumlah yang diminta tidak akan naik lebih dari 10%. Saat harga komoditas pertanian murah, masyarakat tidak akan serta merta memborong komoditas itu. Pada kasus beras misalnya, saat harga beras turun, masyarakat dak akan makan beras lebih banyak dari takaran biasanya. Meskipun ada peningkatan konsumsi, jumlahnya tidak signifikan, karena masyarakat membeli apa yang sebatas mereka butuhkan. Terkadang karena harga komoditas pangan turun, masyarakat akan megalihkan konsumsinya ke barang lain, karena ada surplus pendapatan yang diperoleh dari harga komoditas pertanian yang turun.

Elastisitas harga  ini bila dilihat dari sisi produksi, akan diperoleh kesimpulan yang lebih mengenaskan. Artinya, jika produksi atau panen meningkat sebanyak 10%, maka agar tambahan produksi terjual habis, maka harga jual harus diturunkan lebih dari 10%. Dengan demikian, saat hasil panen melimpah, justru petani makin gelisah.

Dari uraian ini, maka persoalan yang tidak kalah urgen dari sekadar menggenjot hasil panen petani adalah tentang bagaimana produk petani tersebut dapat diserap oleh pasar. Jangan sampai saat panen melimpah petani justru makin was-was karena harga jualnya babak belur. Ditambah ulah pejabat gila yang justru membuka kran impor saat harga komoditas pertanian sedang tidak stabil.

Penulis: Tomi Nurrohman

0 Response to "Pak Tani yang Ketar-Ketir Saat Panen Tiba"

Post a Comment