Cerita Kota & Ketakutan
Friday, August 4, 2017
Add Comment
Lebih dari puluhan hari saya berada di kota ini. Jakarta, ternyata tak begitu menyeramkan. Ia hanya kota yang terserang obesitas. Plus sedikit kudis di bagian pangkal betisnya yang terus dicuekin. Tak ada yang berbeda dari jakarta jika di bandingkan Jogja, tempat saya dulu. orang masih makan, kerja siang malam, serta ada saja yang tak memperoleh nasib untung.
Dari kali ciliwung, kota ini berkembang. Jakarta adalah kota yang sudah tiga belas kali berganti nama. sesuai keinginan pemenang. di sinilah hukum ‘sejarah ditulis oleh orang yang menang’ berlaku. ketika masih berada dalam kekuasaan kerajan hindu Padjajaran, kota ini bernama sunda kelapa. lalu diganti oleh Fatahillah, menjadi Jayakarta, oleh Belanda di ganti menjadi Batavia, oleh Jepang di ganti menjadi Jakarta Toko Betsu Shi dan seterusnya hingga ditetapkan kembali menjadi jakarta.
Beberapa hari ini, di kota Fatahillah ini pulalah saya mengalami hal-hal yang menarik. seorang lelaki yang kegagahannya telah habis digrogoti masa datang menemui saya di stasiun pondok ranji, Tanggerang. Saat itu saya ingin memesan tiket comuter line di sebuah mesin yang disediakan oleh pihak pengelola. laki-laki itu mendekat, langkahnya tak tegas.
“tolong pesenin tiket ke cilejit” katanya sambil menyodorkan kepengengan uang logam.
“baik” saya mantap mengira ia lelaki yang sudah tak sepaham dengan teknologi.
Setelah proses pemesanan dan tiba proses pembayaran, saya terima uangnya. dan setelah saya hitung, ternyata kurang sekitar berapa ribu rupiah.
“cuma ada segitu” ujarnya melongos.
“baiklah, saya tambahi” proses selesai dan kartu tiketnya pun keluar. ia pun pergi dan saya melanjutkan pemesanan tiket saya yang terkendala.
Saya kemudian masuk ke lokasi penungguan kereta. Saya sempat menyapu ke segala penjuru dan sedikit heran kenapa lelaki tua itu tidak ada. apa mungkin dia tidak jadi berangkat? rasanya tidak ada alasan utuk itu. pikiran buruk saya tetap muncul walaupun mati-matian saya lawan. Apakah mungkin lelaki tua itu menipu saya? bagaimana cara kerjanya? mudah, dia tinggal menjual kartu tiket itu lagi. Karena kemanapun tujuannya, harga yang dibandrol tetaplah sama untuk beberapa tujuan terntentu.
Saya tidak menyimpulkan lelaki tua itu berbuat culas. Karena kelakuan seperti itu tak cocok lagi dilakukan oleh orang yang urat-uratnya sudah berontak ingin keluar. Dan coba untuk saya diamkan. Namun dari kejadian ini saya cenderung lebih berhati-hati lagi.
Di satu malam yang tak berisik. selepas isya, di sekitaran bungur, pasar senen jakarta pusat, saya mendatangi sebuah warteg untuk mengisi perut yang sedari tadi telah menggerutu. Makanannya tidak terlalu enak tapi untuk perut yang telah lama kosong bukanlah masalah. Di samping saya seorang ibu muda telah selesai dari piringnya. wajahnya biasa-biasa saja. Tidak mewah apalagi megah. saya taksir ia orang yang tak terlalu punya.
“jangan lama-lam ya buk?” ujar pemilik warung kepada ibu muda tersebut.
Saya masih terus makan....
“Ia buk, barangkali sebentar lagi” Kata si ibu muda kemudian.
selapas meneguk teh tawar yang rasanya biasa saja saya iseng bertanya.
“mau kemana buk?”
“nunggu teman”
“ibu udah makan?” basa-basi sudah mendarah daging.
“sudah, tapi ini saya menunggu teman yang mau jemput, uang saya kurang” katanya sambil merogoh tas kumalnya.
“emang ibu darimana? bukan orang sini?”
“saya dari bogor mau ketempat teman, saya cuma ada segini kurang beberapa rupiah lagi”
"saya nunggu dia" tambahnya.
saya pun diam...
“ya udah, ini biar saya bayarin sekalian”
saya beranjak...
"buk ini sekalian sama ibuk itu" saya cabut.
Dari dua cerita ini saya bukan hendak menekankan mengenai apa yang saya lakukan. Saya terlalu kotor untuk menjadi orang sebaik itu.
Cuman yang ingin saya ceritakan adalah perasaan saya ketika melakukan itu.
Ketika beranjak dari warteg, pikiran-pikiran aneh di kepala pun mulai muncul. pertanyaan-pertanyaa saling tindih. Berkelahi satu sama lain. “Bagaimana seandainya saya ditipu, bagiamana kalau ibu itu hanya...., bagimana, bagaimana....?”
Uang segitu tentulah taklah seberapa, tapi perasaan merasa dibohongi ataupun ditipu adalah penindasan terhdap kecerdasan. Orang yang tertipu adalah orang ditindas secara akal dan dihegemoni secara emosional. Dengan kata lain ia tak punya kuasa terhadap dirinya sendiri. Dan itu sangat memalukan.
Dari kejadian itu saya menangkap sebuah clue yang cukup kuat dan bermanfaat. Bahwa kota yang terserang obesitas plus kudis yang menganga membuat orang diserang ketakutan. Ketakutan untuk berbuat baik tapi tidak untuk berbuat jahat.
Penulis: Ali Akbar Hasibuan
Dari kali ciliwung, kota ini berkembang. Jakarta adalah kota yang sudah tiga belas kali berganti nama. sesuai keinginan pemenang. di sinilah hukum ‘sejarah ditulis oleh orang yang menang’ berlaku. ketika masih berada dalam kekuasaan kerajan hindu Padjajaran, kota ini bernama sunda kelapa. lalu diganti oleh Fatahillah, menjadi Jayakarta, oleh Belanda di ganti menjadi Batavia, oleh Jepang di ganti menjadi Jakarta Toko Betsu Shi dan seterusnya hingga ditetapkan kembali menjadi jakarta.
Beberapa hari ini, di kota Fatahillah ini pulalah saya mengalami hal-hal yang menarik. seorang lelaki yang kegagahannya telah habis digrogoti masa datang menemui saya di stasiun pondok ranji, Tanggerang. Saat itu saya ingin memesan tiket comuter line di sebuah mesin yang disediakan oleh pihak pengelola. laki-laki itu mendekat, langkahnya tak tegas.
“tolong pesenin tiket ke cilejit” katanya sambil menyodorkan kepengengan uang logam.
“baik” saya mantap mengira ia lelaki yang sudah tak sepaham dengan teknologi.
Setelah proses pemesanan dan tiba proses pembayaran, saya terima uangnya. dan setelah saya hitung, ternyata kurang sekitar berapa ribu rupiah.
“cuma ada segitu” ujarnya melongos.
“baiklah, saya tambahi” proses selesai dan kartu tiketnya pun keluar. ia pun pergi dan saya melanjutkan pemesanan tiket saya yang terkendala.
Saya kemudian masuk ke lokasi penungguan kereta. Saya sempat menyapu ke segala penjuru dan sedikit heran kenapa lelaki tua itu tidak ada. apa mungkin dia tidak jadi berangkat? rasanya tidak ada alasan utuk itu. pikiran buruk saya tetap muncul walaupun mati-matian saya lawan. Apakah mungkin lelaki tua itu menipu saya? bagaimana cara kerjanya? mudah, dia tinggal menjual kartu tiket itu lagi. Karena kemanapun tujuannya, harga yang dibandrol tetaplah sama untuk beberapa tujuan terntentu.
Saya tidak menyimpulkan lelaki tua itu berbuat culas. Karena kelakuan seperti itu tak cocok lagi dilakukan oleh orang yang urat-uratnya sudah berontak ingin keluar. Dan coba untuk saya diamkan. Namun dari kejadian ini saya cenderung lebih berhati-hati lagi.
Di satu malam yang tak berisik. selepas isya, di sekitaran bungur, pasar senen jakarta pusat, saya mendatangi sebuah warteg untuk mengisi perut yang sedari tadi telah menggerutu. Makanannya tidak terlalu enak tapi untuk perut yang telah lama kosong bukanlah masalah. Di samping saya seorang ibu muda telah selesai dari piringnya. wajahnya biasa-biasa saja. Tidak mewah apalagi megah. saya taksir ia orang yang tak terlalu punya.
“jangan lama-lam ya buk?” ujar pemilik warung kepada ibu muda tersebut.
Saya masih terus makan....
“Ia buk, barangkali sebentar lagi” Kata si ibu muda kemudian.
selapas meneguk teh tawar yang rasanya biasa saja saya iseng bertanya.
“mau kemana buk?”
“nunggu teman”
“ibu udah makan?” basa-basi sudah mendarah daging.
“sudah, tapi ini saya menunggu teman yang mau jemput, uang saya kurang” katanya sambil merogoh tas kumalnya.
“emang ibu darimana? bukan orang sini?”
“saya dari bogor mau ketempat teman, saya cuma ada segini kurang beberapa rupiah lagi”
"saya nunggu dia" tambahnya.
saya pun diam...
“ya udah, ini biar saya bayarin sekalian”
saya beranjak...
"buk ini sekalian sama ibuk itu" saya cabut.
Dari dua cerita ini saya bukan hendak menekankan mengenai apa yang saya lakukan. Saya terlalu kotor untuk menjadi orang sebaik itu.
Cuman yang ingin saya ceritakan adalah perasaan saya ketika melakukan itu.
Ketika beranjak dari warteg, pikiran-pikiran aneh di kepala pun mulai muncul. pertanyaan-pertanyaa saling tindih. Berkelahi satu sama lain. “Bagaimana seandainya saya ditipu, bagiamana kalau ibu itu hanya...., bagimana, bagaimana....?”
Uang segitu tentulah taklah seberapa, tapi perasaan merasa dibohongi ataupun ditipu adalah penindasan terhdap kecerdasan. Orang yang tertipu adalah orang ditindas secara akal dan dihegemoni secara emosional. Dengan kata lain ia tak punya kuasa terhadap dirinya sendiri. Dan itu sangat memalukan.
Dari kejadian itu saya menangkap sebuah clue yang cukup kuat dan bermanfaat. Bahwa kota yang terserang obesitas plus kudis yang menganga membuat orang diserang ketakutan. Ketakutan untuk berbuat baik tapi tidak untuk berbuat jahat.
Penulis: Ali Akbar Hasibuan
0 Response to "Cerita Kota & Ketakutan"
Post a Comment