Dendam
Monday, August 7, 2017
Add Comment
Hari-hari ini ingatan saya ditarik pada sebuah cerpen lama karya Pramoedya Ananta Toer bertajuk “Dendam”. Cerpen ini merupakan salah satu dari tiga cerpen karyanya yang terbit tahun 1950 dan termuat dalam kumpulan Subuh. Kejadiannya mungkin di sebuah pemberhentian kereta api, di kawasan Cikampek, tak jauh dari Jakarta.
Cerpen ini pada intinya menuturkan dilema psikologis “Aku”, seorang prajurit yang baru bergabung dengan salah satu kompi tentara Indonesia di masa revolusi fisik, sekitar November 1945. Di satu pihak, “Aku” sangat ingin sekali membela tanah air dan mengikuti panggilan revolusi, tapi di pihak lain, nuraninya sangat menolak kekejaman dan kebusukan yang ditimbulkan perang.
Puncak dari dilemanya terjadi ketika, pada hari ketujuh ia menjadi prajurit, ia menyaksikan teman-teman satu kompinya menyiksa dengan kejam --“tak ubahnya dengan penjajah dan dijajahnya”-- seorang haji yang dicurigai sebagai pengkhianat.
Haji itu tertangkap dalam razia para penumpang kereta api malam yang menuju kota Mojokerto, ketika singgah di kota X. Digambarkan haji itu memakai, “sorban kuning tebal…kemeja putih yang disilangi sarung berkotak-kotak ungu dan merah dan kuning….” Kendati demikian, seorang prajurit mengenali wajahnya.
“Anjing Inggris. Ketangkap juga, lu, keparat! Gua nggak bisa lupa sama tampang lu. Gua kenal lu.”
Ketika haji itu digiring para prajurit dan massa yang mabok dan emosi, berhamburan sumpah-serapah. Di antaranya ada yang melontarkan caci, “Haji babi dia”, dan “Tu dia mata-matanya. Haji apa tu! Sorbannya aja yang tebal”.
Haji yang setelah dirayu-rayu akhirnya mengakui sebagai mata-mata Inggris itu, disiksa dengan sangat kejam. Ia diikat pada tiang listrik dan ditusuk dengan bambu runcing pada perutnya. Tapi haji itu tidak terluka sama sekali. Lalu bambu runcing itu kemudian ditusukkan pada matanya. Ia tetap saja hidup. Para pengeroyoknya malah jadi takut, kalau-kalau si haji akan melawan, apalagi setelah tali pengikat tangannya lepas. Tapi tali yang masih mengingat kakinya kemudian dihubungkan dengan sebuah truk. Ia kemudian diseret truk yang dipacu dengan kencang. Tetapi ia tetap tak mati, bahkan terlukapun tidak.
Tetapi kekebalan itu hancur juga, ketika seorang prajurit dengan memekikkan semacam mantra “kembali jadi tanah” menusukkan samurai harakiri Jepang ke tubuh haji itu. Haji itu akhirnya mati, dengan “usus dan isi perut terbuang-buang”.
Anda tentu mafhum mengapa saya jadi ingat cerpen ini. Ya, tak lain karena peristiwa pemukulan hingga pembakaran seorang laki-laki yang dituduh mencuri ampli masjid. Terdapat kesejajaran pola peristiwanya: seorang laki-laki yang dituduh sebagai mata-mata/laki-laki yang dituduh mencuri ampli; dipukuli tentara/dipukuli massa; dan sama-sama tewas mengenaskan. Dan kita semua yang membaca berita pembakaran lelaki yang dituduh mencuri ampli itu adalah “Aku” yang tak bisa berbuat apa-apa dan hanya termangu menyaksikan penyiksaan itu.
Jika kita memperlakukan karya sastra sebagai suatu dokumen sosial, maka bisa dinyatakan bahwa cerita Pram ini – di luar detil-detilnya—benar-benar pernah terjadi. Dalam sebuah esainya, Pram menyatakan bahwa peristiwa sejarah atau kejadian sosial adalah “kebenaran hulu” dan respon pengarang dalam karya sastra adalah “kebenaran hilir”. Ini adalah visinya tentang hubungan karya sastra dan aspek di luarnya.
Peristiwa yang diceritakan Pram dalam cerpen ini menyiratkan bahwa kita memiliki sejarah sosial yang panjang, yang ganas, yang penuh darah, dan bau kematian dalam tradisi pengeroyokan yang disusul dengan penyiksaan dan pembunuhan. Pengeroyokan bisa terjadi di mana saja: di pasar, di stasiun, di terminal, di jalan, dan bahkan di dekat rumah ibadah. Sebabnya pun bisa apa saja. Meski demikian, pengeroyokan selalu dilakukan terhadap orang-orang kecil dan tidak berdaya.
Pram memberi judul cerpennya “Dendam”. Dalam cerita dijelaskan: karena pengkhianatan itu, “satu senapan mesin kerampas. Dua truk. Satu sedan komandan front. Sebelas gugur. Limapuluh setel uniform abis dibakar.” Tetapi bagaimana memahami ‘dendam’ di dalam kasus pembakaran lelaki yang dituduh mencuri ampli itu? Dendam kepada siapa. Dendam terhadap apa? Kita mau tidak mau harus mengakui bahwa mentalitas kita memang mengidap dan memelihara rasa dendam dan kusumat yang tak pernah ada tuntasnya. Dendam yang ditumbuhkan oleh kenyataan sosial dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam hal-hal absurd seperti ini dendam sosial itu ditumpahkan. Revolusi melahirkan dendam.
Peristiwa yang diceritakan Pram, pembakaran yang dilakukan massa thd pencuri ampli kemarin, yang sebenarnya banyak dan sering terjadi di Indonesia ini terhdp maling ayam, helm atau copet yg sial, pembunuhan warga ahmadi di Cikeusik, penghancuran, pembakaran dan pengusiran komunitas-komunitas kecil yang dianggap sesat, hingga tragedi 1965 itu, untuk menyebut beberapa, adalah pengulangan tradisi pengeroyokan dan pelampiasan dendam peninggalan revolusi.
Ben Anderson dalam sebuah esainya, “Sembah-Sumpah...” menyebut cerpen Pramoedya ini sebagai suatu cara bagaimana Pramoedya menggunakan Bahasa Indonesia untuk menentang Bahasa Jawa. Pernyataan ini harus dipahami dalam konteks luas esai tersebut, tapi satu hal penting yang dinyatakan Ben adalah “... baik haji maupun orang banyak yang menjadi penyiksa dan algojo itu adalah orang-orang Jawa.” Apakah bisa kita lekatkan juga untuk kasus pembakaran si pencuri ampli itu “orang-orang Indonesia, orang-orang yang beragama.” Setidaknya secara formal tak ada seorang ateis pun sekarang di Indonesia. Semua orang mencantumkan agama di dalam KTP-nya dan sebagian besarnya bahkan taat menjalankan kewajiban ibadah.
Sebagai protes atas hilangnya kemanusiaan, Pram menutup cerpennya dengan kalimat, “haji, hakimnya, algojonya dan aku sendiri bodoh.”
Jangan-jangan kita semua memang bodoh!
Hairus Salim
Cerpen ini pada intinya menuturkan dilema psikologis “Aku”, seorang prajurit yang baru bergabung dengan salah satu kompi tentara Indonesia di masa revolusi fisik, sekitar November 1945. Di satu pihak, “Aku” sangat ingin sekali membela tanah air dan mengikuti panggilan revolusi, tapi di pihak lain, nuraninya sangat menolak kekejaman dan kebusukan yang ditimbulkan perang.
Puncak dari dilemanya terjadi ketika, pada hari ketujuh ia menjadi prajurit, ia menyaksikan teman-teman satu kompinya menyiksa dengan kejam --“tak ubahnya dengan penjajah dan dijajahnya”-- seorang haji yang dicurigai sebagai pengkhianat.
Haji itu tertangkap dalam razia para penumpang kereta api malam yang menuju kota Mojokerto, ketika singgah di kota X. Digambarkan haji itu memakai, “sorban kuning tebal…kemeja putih yang disilangi sarung berkotak-kotak ungu dan merah dan kuning….” Kendati demikian, seorang prajurit mengenali wajahnya.
“Anjing Inggris. Ketangkap juga, lu, keparat! Gua nggak bisa lupa sama tampang lu. Gua kenal lu.”
Ketika haji itu digiring para prajurit dan massa yang mabok dan emosi, berhamburan sumpah-serapah. Di antaranya ada yang melontarkan caci, “Haji babi dia”, dan “Tu dia mata-matanya. Haji apa tu! Sorbannya aja yang tebal”.
Haji yang setelah dirayu-rayu akhirnya mengakui sebagai mata-mata Inggris itu, disiksa dengan sangat kejam. Ia diikat pada tiang listrik dan ditusuk dengan bambu runcing pada perutnya. Tapi haji itu tidak terluka sama sekali. Lalu bambu runcing itu kemudian ditusukkan pada matanya. Ia tetap saja hidup. Para pengeroyoknya malah jadi takut, kalau-kalau si haji akan melawan, apalagi setelah tali pengikat tangannya lepas. Tapi tali yang masih mengingat kakinya kemudian dihubungkan dengan sebuah truk. Ia kemudian diseret truk yang dipacu dengan kencang. Tetapi ia tetap tak mati, bahkan terlukapun tidak.
Tetapi kekebalan itu hancur juga, ketika seorang prajurit dengan memekikkan semacam mantra “kembali jadi tanah” menusukkan samurai harakiri Jepang ke tubuh haji itu. Haji itu akhirnya mati, dengan “usus dan isi perut terbuang-buang”.
Anda tentu mafhum mengapa saya jadi ingat cerpen ini. Ya, tak lain karena peristiwa pemukulan hingga pembakaran seorang laki-laki yang dituduh mencuri ampli masjid. Terdapat kesejajaran pola peristiwanya: seorang laki-laki yang dituduh sebagai mata-mata/laki-laki yang dituduh mencuri ampli; dipukuli tentara/dipukuli massa; dan sama-sama tewas mengenaskan. Dan kita semua yang membaca berita pembakaran lelaki yang dituduh mencuri ampli itu adalah “Aku” yang tak bisa berbuat apa-apa dan hanya termangu menyaksikan penyiksaan itu.
Jika kita memperlakukan karya sastra sebagai suatu dokumen sosial, maka bisa dinyatakan bahwa cerita Pram ini – di luar detil-detilnya—benar-benar pernah terjadi. Dalam sebuah esainya, Pram menyatakan bahwa peristiwa sejarah atau kejadian sosial adalah “kebenaran hulu” dan respon pengarang dalam karya sastra adalah “kebenaran hilir”. Ini adalah visinya tentang hubungan karya sastra dan aspek di luarnya.
Peristiwa yang diceritakan Pram dalam cerpen ini menyiratkan bahwa kita memiliki sejarah sosial yang panjang, yang ganas, yang penuh darah, dan bau kematian dalam tradisi pengeroyokan yang disusul dengan penyiksaan dan pembunuhan. Pengeroyokan bisa terjadi di mana saja: di pasar, di stasiun, di terminal, di jalan, dan bahkan di dekat rumah ibadah. Sebabnya pun bisa apa saja. Meski demikian, pengeroyokan selalu dilakukan terhadap orang-orang kecil dan tidak berdaya.
Pram memberi judul cerpennya “Dendam”. Dalam cerita dijelaskan: karena pengkhianatan itu, “satu senapan mesin kerampas. Dua truk. Satu sedan komandan front. Sebelas gugur. Limapuluh setel uniform abis dibakar.” Tetapi bagaimana memahami ‘dendam’ di dalam kasus pembakaran lelaki yang dituduh mencuri ampli itu? Dendam kepada siapa. Dendam terhadap apa? Kita mau tidak mau harus mengakui bahwa mentalitas kita memang mengidap dan memelihara rasa dendam dan kusumat yang tak pernah ada tuntasnya. Dendam yang ditumbuhkan oleh kenyataan sosial dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam hal-hal absurd seperti ini dendam sosial itu ditumpahkan. Revolusi melahirkan dendam.
Peristiwa yang diceritakan Pram, pembakaran yang dilakukan massa thd pencuri ampli kemarin, yang sebenarnya banyak dan sering terjadi di Indonesia ini terhdp maling ayam, helm atau copet yg sial, pembunuhan warga ahmadi di Cikeusik, penghancuran, pembakaran dan pengusiran komunitas-komunitas kecil yang dianggap sesat, hingga tragedi 1965 itu, untuk menyebut beberapa, adalah pengulangan tradisi pengeroyokan dan pelampiasan dendam peninggalan revolusi.
Ben Anderson dalam sebuah esainya, “Sembah-Sumpah...” menyebut cerpen Pramoedya ini sebagai suatu cara bagaimana Pramoedya menggunakan Bahasa Indonesia untuk menentang Bahasa Jawa. Pernyataan ini harus dipahami dalam konteks luas esai tersebut, tapi satu hal penting yang dinyatakan Ben adalah “... baik haji maupun orang banyak yang menjadi penyiksa dan algojo itu adalah orang-orang Jawa.” Apakah bisa kita lekatkan juga untuk kasus pembakaran si pencuri ampli itu “orang-orang Indonesia, orang-orang yang beragama.” Setidaknya secara formal tak ada seorang ateis pun sekarang di Indonesia. Semua orang mencantumkan agama di dalam KTP-nya dan sebagian besarnya bahkan taat menjalankan kewajiban ibadah.
Sebagai protes atas hilangnya kemanusiaan, Pram menutup cerpennya dengan kalimat, “haji, hakimnya, algojonya dan aku sendiri bodoh.”
Jangan-jangan kita semua memang bodoh!
Hairus Salim
0 Response to "Dendam"
Post a Comment