Ideologi Boleh Sempit, Pergaulan Jangan.
Thursday, August 10, 2017
Add Comment
HP berdetak, sebuah pesan whatsapp timbul. Pesan itu dari ketum organisasi tempat saya berlabuh, pesan singkat yang ia teruskan dari orangnya Akbar Tandjung Institute. Sehari sebelumnya, memang saya mendaftarkan diri sebagai peserta SKPB (Sekolah Kepemimpinan Politik Bangsa) yang digagas oleh Akbar Tandjung Institute. Program rutin yang sudah berjalan sebanyak tiga kali angkatan. Saya tertarik mengikutinya karena nama-nama pengajar yang disodorkan cukup mentereng dan kompeten di bidangnya masing-masing. Seperti Yudi Latif, Franz Magnis Suseno, Prof Jimly Sidiqie, Mahfud MD juga Akbar Tandjung sendiri.
“Untuk calon peserta SKPB, wawancara dilaksanakan hari ini pukul 11:00 sd 13:00” itu berarti satu jam lagi akan dimulai, sungguh pesan yang tak punya perasaan. Saya pun bangkit menuju kamar mandi dengan kemalasan luar biasa. Pesan ini tak mau tau, kalau saya baru tidur selama empat jam, sejak subuh. Karena malamnya harus begadang untuk menyelesaikan satu hal.
“Baiklah saya turuti, tanggung”
Dengan kerepotan luar biasa, saya melaju dengan ojek online. Dan tentu saja untuk beberapa menit sang driver harus menunggu saya. Saya berdo’a sang driver bukanlah driver baru yang baru belajar naik motor ketika mendaftar sebagai driver ojek. Sehingga ia tau jalan pintas dan kami tak perlu menikmati kemacetan yang tentu saja membosankan. karena berdua-duaan di atas motor dengan sang driver bukanlah kebanggaan. Do’a saya terkabul, sang driver bukanlah driver amatiran. Ia tancap gas, meliuk-liuk membelah jalan sesekali ia juga nekat melawan arah. Sial, dia tampak keren.
Kantor Akbar Tandjung Institute berada di kompleks Liga Mas Indah, Jakarta Selatan. Sebenarnya kantor itu hanyalah sebuah rumah hunian yang dirombak jadi kantor. Tidak ada yang istimewa, mewah juga tidak. Hanya sekitar sepersekian jam, saya tiba di tujuan. Melepas helm hijau yang motifnya selalu sama, di dalam ruang tunggu, sudah hadir beberapa orang dari lintas organisasi. Saya mengucap salam, mereka pun membalas. Saya menyasar kursi lalu diam, mereka pun diam. Sungguh, orang-orang yang pengertian.
Saya tau, di dalam ruangan sebelah seseorang sedang diwawancarai. Kami juga sama, hanya menunggu giliran. Tapi, suasana kami ini sungguh membosankan. Masing-masing orang terpaku dengan HP pintarnya. Walaupun sebenarnya saya yakin tak ada yang penting yang sedang mereka kerjakan.
“Dari organisasi apa?” tanya saya sok akrab. “GMKI” “oh GMKI. dari Sumut ya?” “ia, aku dari Siantar” jawabnya mulai tertarik. Sejak awal saya sudah menebak, bahwa orang-orang di hadapan saya ini berdarah Sumatera. Rahang yang tegas serta mata yang sedikit menyipit sudah lebih dari cukup untuk memvonisnya
“Saya punya sodara di Siantar” ujar saya menimpali.
“Siantarnya di mana?” “Ah saya lupa, tapi tidak berapa jauh dari toko roti ganda”.
Roti ganda ini sering saya jadikan patokan, karena sangat jarang orang Siantar tidak tau dengan roti ganda. Roti yang rasanya lumer dimulut itu sering dijadikan orang sebagai buah tangan buat sanak sodara. Yang belakangan hari saya tau, konon kabarnya roti tersebut tidak memiliki sertikat halal dari MUI. Karena konon kabarnya lagi, proses pembuatan roti ganda tersebut dicampur tuak, sejenis minuman fermentasi nira yang memabukkan.
Setelah berbincang-bincang yang tak berfaedah, kini tibalah giliran saya. Nama saya dipanggil untuk menghadap. Saya masuk dengan percaya diri, di dalam ruangan saya mendapati tiga orang dengan postur biasa-biasa saja. Mereka memperkenalkan diri, satu orang dengan kulit agak coklat berkacamata adalah direkturnya Akbar Tandjung Institute. Satu lagi dengan rambut belah pinggir bekerja di kantor tersebut dan yang satu lagi dengan tubuh yang agak tambun berkulit cerah serta berkepala plontos adalah direktur SKPB.
“Silahkan perkenalkan diri anda, motivasi mengikuti sekolah ini dan sebagainya”
“baik” saya kemudian menjawab sekenanya sebagaimana yang mereka minta.
Namun yang menjadi menarik adalah ketika yang menjadi pembicaraan bukan lagi tentang saya melainkan tentang mereka. Mereka tampak antusias berbicara, mulai dari A sampai Z. Tentu saja saya mendengarkan. saya jadi berfikir sepertinya saya yang sedang mewawancarai mereka, bukan saya yang diwawancarai.
“Begawan Ekonomi itu pak Sumitro, kalau begawan politik itu ya Akbar Tandjung Institute” ujar salah seorang dari mereka. “Sumitro Djojohadikusumo?” untung saya sedikit tau tentang orang ini. Dia adalah salah satu aktor intelektual di tahun-tahun itu. Dia juga berteman dengan Soe Hok Gie.
Dalam film Gie, yang diperankan oleh Nikolas Sahputra, Sumitro memang kerap kali mendatangi Soe Hok Gie yang aktifis sosialis itu. Mereka bersahabat, karena Gie tergabung ke dalam Gerakan Pembaruan bentukannya Sumitro. Soe Hok Gie juga sering datang kerumahnya Sumitro. Disinilah ia pertama kali bertemu dengan anak lelakinya Sumitro, Prabowo Subianto. Dalam catatan hariannya, 25 mei 1969, Gie menggambarkan Prabowo sebagai anak muda yang cerdas, tapi juga naif, katanya.
“Memang jarang sekali tokoh politik berinisiatif membuat sekolah seperti ini” ujar saya.
“Partai Perind* juga buat sebenarnya, tapi setelah itu jadi kadernya”
saya hanya tersenyum.
“Saya mengikuti sekolah ini karena melihat pemateri-pematerinya yang kompeten di bidangnya”
“Ia, karena kita sudah janji sama mereka-mereka, asal waktu cocok mereka pasti mau” pria tambun berkepala agak plontos ikut menambahi. Pembicaraan itu berlanjut ke berbagai tema yang tidak ada kaitannya dengan wawancara saya. Mereka juga bercerita banyak tentang buku dan jurnal. Hingga akhirnya saya diberi sebuah buku oleh direktur SKPB. “Bagaimana Saya Menulis” begitu judul yang tertera.
-10 Agustus 2017
Penulis: Ali Akbar Hasibuan
“Untuk calon peserta SKPB, wawancara dilaksanakan hari ini pukul 11:00 sd 13:00” itu berarti satu jam lagi akan dimulai, sungguh pesan yang tak punya perasaan. Saya pun bangkit menuju kamar mandi dengan kemalasan luar biasa. Pesan ini tak mau tau, kalau saya baru tidur selama empat jam, sejak subuh. Karena malamnya harus begadang untuk menyelesaikan satu hal.
“Baiklah saya turuti, tanggung”
Dengan kerepotan luar biasa, saya melaju dengan ojek online. Dan tentu saja untuk beberapa menit sang driver harus menunggu saya. Saya berdo’a sang driver bukanlah driver baru yang baru belajar naik motor ketika mendaftar sebagai driver ojek. Sehingga ia tau jalan pintas dan kami tak perlu menikmati kemacetan yang tentu saja membosankan. karena berdua-duaan di atas motor dengan sang driver bukanlah kebanggaan. Do’a saya terkabul, sang driver bukanlah driver amatiran. Ia tancap gas, meliuk-liuk membelah jalan sesekali ia juga nekat melawan arah. Sial, dia tampak keren.
Kantor Akbar Tandjung Institute berada di kompleks Liga Mas Indah, Jakarta Selatan. Sebenarnya kantor itu hanyalah sebuah rumah hunian yang dirombak jadi kantor. Tidak ada yang istimewa, mewah juga tidak. Hanya sekitar sepersekian jam, saya tiba di tujuan. Melepas helm hijau yang motifnya selalu sama, di dalam ruang tunggu, sudah hadir beberapa orang dari lintas organisasi. Saya mengucap salam, mereka pun membalas. Saya menyasar kursi lalu diam, mereka pun diam. Sungguh, orang-orang yang pengertian.
Saya tau, di dalam ruangan sebelah seseorang sedang diwawancarai. Kami juga sama, hanya menunggu giliran. Tapi, suasana kami ini sungguh membosankan. Masing-masing orang terpaku dengan HP pintarnya. Walaupun sebenarnya saya yakin tak ada yang penting yang sedang mereka kerjakan.
“Dari organisasi apa?” tanya saya sok akrab. “GMKI” “oh GMKI. dari Sumut ya?” “ia, aku dari Siantar” jawabnya mulai tertarik. Sejak awal saya sudah menebak, bahwa orang-orang di hadapan saya ini berdarah Sumatera. Rahang yang tegas serta mata yang sedikit menyipit sudah lebih dari cukup untuk memvonisnya
“Saya punya sodara di Siantar” ujar saya menimpali.
“Siantarnya di mana?” “Ah saya lupa, tapi tidak berapa jauh dari toko roti ganda”.
Roti ganda ini sering saya jadikan patokan, karena sangat jarang orang Siantar tidak tau dengan roti ganda. Roti yang rasanya lumer dimulut itu sering dijadikan orang sebagai buah tangan buat sanak sodara. Yang belakangan hari saya tau, konon kabarnya roti tersebut tidak memiliki sertikat halal dari MUI. Karena konon kabarnya lagi, proses pembuatan roti ganda tersebut dicampur tuak, sejenis minuman fermentasi nira yang memabukkan.
Setelah berbincang-bincang yang tak berfaedah, kini tibalah giliran saya. Nama saya dipanggil untuk menghadap. Saya masuk dengan percaya diri, di dalam ruangan saya mendapati tiga orang dengan postur biasa-biasa saja. Mereka memperkenalkan diri, satu orang dengan kulit agak coklat berkacamata adalah direkturnya Akbar Tandjung Institute. Satu lagi dengan rambut belah pinggir bekerja di kantor tersebut dan yang satu lagi dengan tubuh yang agak tambun berkulit cerah serta berkepala plontos adalah direktur SKPB.
“Silahkan perkenalkan diri anda, motivasi mengikuti sekolah ini dan sebagainya”
“baik” saya kemudian menjawab sekenanya sebagaimana yang mereka minta.
Namun yang menjadi menarik adalah ketika yang menjadi pembicaraan bukan lagi tentang saya melainkan tentang mereka. Mereka tampak antusias berbicara, mulai dari A sampai Z. Tentu saja saya mendengarkan. saya jadi berfikir sepertinya saya yang sedang mewawancarai mereka, bukan saya yang diwawancarai.
“Begawan Ekonomi itu pak Sumitro, kalau begawan politik itu ya Akbar Tandjung Institute” ujar salah seorang dari mereka. “Sumitro Djojohadikusumo?” untung saya sedikit tau tentang orang ini. Dia adalah salah satu aktor intelektual di tahun-tahun itu. Dia juga berteman dengan Soe Hok Gie.
Dalam film Gie, yang diperankan oleh Nikolas Sahputra, Sumitro memang kerap kali mendatangi Soe Hok Gie yang aktifis sosialis itu. Mereka bersahabat, karena Gie tergabung ke dalam Gerakan Pembaruan bentukannya Sumitro. Soe Hok Gie juga sering datang kerumahnya Sumitro. Disinilah ia pertama kali bertemu dengan anak lelakinya Sumitro, Prabowo Subianto. Dalam catatan hariannya, 25 mei 1969, Gie menggambarkan Prabowo sebagai anak muda yang cerdas, tapi juga naif, katanya.
“Memang jarang sekali tokoh politik berinisiatif membuat sekolah seperti ini” ujar saya.
“Partai Perind* juga buat sebenarnya, tapi setelah itu jadi kadernya”
saya hanya tersenyum.
“Saya mengikuti sekolah ini karena melihat pemateri-pematerinya yang kompeten di bidangnya”
“Ia, karena kita sudah janji sama mereka-mereka, asal waktu cocok mereka pasti mau” pria tambun berkepala agak plontos ikut menambahi. Pembicaraan itu berlanjut ke berbagai tema yang tidak ada kaitannya dengan wawancara saya. Mereka juga bercerita banyak tentang buku dan jurnal. Hingga akhirnya saya diberi sebuah buku oleh direktur SKPB. “Bagaimana Saya Menulis” begitu judul yang tertera.
-10 Agustus 2017
Penulis: Ali Akbar Hasibuan
0 Response to "Ideologi Boleh Sempit, Pergaulan Jangan."
Post a Comment