Pride
Wednesday, August 9, 2017
Add Comment
Dengan hati yang berat, pria muda berangkat ke medan perang. Meninggalkan istrinya yang tengah hamil tua.
Dua tahun berlalu, bersama anaknya yang masih balita, sang istri menemui suaminya yang baru saja kembali dari medan tempur di sebuah barak militer.
Pertemuan syahdu. Mereka menangis bersama, lalu beranjak pulang.
"Istriku, kebahagiaan ini harus kita syukuri di depan altar leluhur kita. Pergilah ke pasar, belilah dupa dan perlengkapan sembahyang," ujar pria muda itu kepada istrinya.
Sang istri pun patuh. Sore itu dia langsung beranjak ke pasar.
Sembari menunggu istrinya, pria muda itu bermain-main dengan anaknya.
"Anakku, panggilah aku ayah," pinta pria muda.
Namun, sang anak menolak. "Tuan, kamu bukan ayahku. Ayahku seseorang yang lain. Dia mengunjungi kami setiap malam. Ibuku berbicara kepadanya pada setiap malam itu, sampai kemudian menangis," jawab anak itu.
Balita itu melanjutkan, "Dan setiap waktu ibuku duduk, lelaki itu pun duduk. Saat ibuku rebah, dia pun juga merebahkan diri."
Demi mendengar ucapan sang bocah, pria itu tersentak bukan kepalang. Hatinya hancur. Dia merasa dipermainkan oleh istri yang disayanginya.
Tak berapa lama, istrinya tiba. Dengan wajah ceria, dia menghampiri suami dan anaknya.
"Suamiku, semuanya sudah siap. Mari kita segera sembahyang di depan altar leluhur kita untuk kebahagiaan ini," ucap sang istri.
Dengan wajah penuh kekecewaan dan amarah, pria muda itu menghardik istrinya, "Kamu membohongiku. Anak ini bukan anakku."
Dengan gontai, pria itu berlalu pergi meninggalkan istri dan bocah itu. Di sebuah bar, dia menghabiskan malam itu dengan bergelas-gelas minuman keras. Kekecewaan meremukkan hatinya.
Di rumah, sang istri disergap kebingungan atas sikap suaminya. Hatinya pun hancur. Dia sungguh tidak tahu mengapa pria yang dicintainya itu begitu marah dan sedih. Hari-harinya diliputi derita.
Dalam kekalutan dan keputusasaan, perempuan muda itu lalu pergi ke sungai. Dia menceburkan diri. Hanyut dan meninggal. Bunuh diri.
Kabar kematian sang istri akhirnya terdengar oleh pria muda itu. Dia tersentak dan segera berlari ke rumah. Namun, segalanya telah terlambat. Perempuan yang dicintainya itu telah dimakamkan.
Malam tiba, pria muda itu lalu menyalakan lampu kamar istrinya. Tiba-tiba, bocah itu menangis seraya berkata, "Tuan, Tuan. Itu ayahku. Dia pulang." Saat berkata demikian, bocah itu menunjukkan jarinya ke arah bayangan pria muda itu di tembok.
"Anda tahu Tuan? Ayahku datang setiap malam. Ibuku selalu berbicara kepadanya dan terkadang ibuku menangis; dan setiap waktu dia duduk, dan ayahku ikut duduk pula," lanjut bocah itu.
Rupanya, bocah kecil itu selama ini mengira bayangan ibunya di tembok sebagai ayahnya. Karena, tiap kali bayangan itu tiba, ibunya selalu berkata:
"Kekasihku, kamu begitu jauh dariku. Bagaimana aku dapat membesarkan anak kita tanpamu? Bagaimana bisa aku hidup sendiri tanpamu? Pulanglah segera ke kami."
Seiring ucapan tersebut, ibunya menangis dan jatuh terduduk. Seturut itu, sosok bayangan di tembok tersebut ikut terduduk.
Mendengar penuturan sang bocah, pria muda itu runtuh hatinya. Dia telah salah persepsi. Istrinya tak pernah mengkhianatinya. Bahkan, mencintainya lebih dari apapun. Namun, segalanya telah terlambat. Istrinya sudah tiada.
**********
'True Love', begitu penulis asal Vietnam, Thich Nhat Hanh, memberi judul untuk kisah tersebut.
Mispersepsi adalah racun dalam kehidupan. Tak hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam kehidupan sosial yang lebih luas.
Hari-hari ini, mispersepsi bergerak ringan laksana udara dalam kehidupan kita, baik dunia maya maupun nyata. Kita menelan informasi bukan untuk menyelamatkan diri dari dan menerangi gelapnya ketidaktahuan, melainkan sekadar untuk membenarkan kebencian dan fanatisme. Situasi yang sesungguhnya jauh lebih gelap dan jahanam dari mispersepsi yang dialami pria muda dalam kisah 'True Love' itu.
Dalam mispersepsi yang pekat, dengan ringan kita merisak orang yang berbeda, menghujamkan olokan, hingga memfitnah buta.
Dalam hidup yang semakin tak pernah mudah, penuh kecurigaan, dan terkotak-kotak, tragedi mispersepsi itu terjadi dengan sangat telanjang: seorang pria dibakar hidup-hidup atas tuduhan yang dia tak sempat sangkal. Celakanya, bencana mispersepsi itu tak berhenti sampai di situ.
Tragedi senja hari di sudut kota Planet Bekasi itu bergulir menjadi serpihan-serpihan informasi yang mengeruh bersama persepsi dan kebencian. Hingga, tragedi yang semestinya terbahasakan dalam renungan dan introspeksi itu justru menjelma sebagai bola liar saling silang ejekan dan penyudutan antar fanatikus.
Mispersepsi serupa setan yang bisa kapan saja datang. Maka, Islam pun menuntun tentang krusialnya tabayyun. Sementara, Budha mengingatkan, hal terdekat dalam hidup kita yang perlu disikapi sangat hati-hati adalah persepsi dalam kepala kita. Salah persepsi awal penderitaan diri dan orang lain..
Entah berapa banyak tragedi di dunia ini yang bermula dari mispersepsi. Bahkan, pembunuhan pertama dalam kisah kehidupan manusia--tragedi Habil (Abel) dan Qabil (Cain)-- pun berangkat dari kesalahan persepsi. Entah brrapa banyak pasangan suami-istri harus terpisah tersebab mispersepsi, hingga meninggalkan generasi yang tumbuh dalam ketidakutuhan.
Pertanyaanya, mengapa manusia tak pernah jera dengan mispersepsi?
Barangkali kalimat Simon van Booy ini mewakili sebagai jawaban: "Because pride got in between them".
Penulis: Mohamad Burhanudin
Dua tahun berlalu, bersama anaknya yang masih balita, sang istri menemui suaminya yang baru saja kembali dari medan tempur di sebuah barak militer.
Pertemuan syahdu. Mereka menangis bersama, lalu beranjak pulang.
"Istriku, kebahagiaan ini harus kita syukuri di depan altar leluhur kita. Pergilah ke pasar, belilah dupa dan perlengkapan sembahyang," ujar pria muda itu kepada istrinya.
Sang istri pun patuh. Sore itu dia langsung beranjak ke pasar.
Sembari menunggu istrinya, pria muda itu bermain-main dengan anaknya.
"Anakku, panggilah aku ayah," pinta pria muda.
Namun, sang anak menolak. "Tuan, kamu bukan ayahku. Ayahku seseorang yang lain. Dia mengunjungi kami setiap malam. Ibuku berbicara kepadanya pada setiap malam itu, sampai kemudian menangis," jawab anak itu.
Balita itu melanjutkan, "Dan setiap waktu ibuku duduk, lelaki itu pun duduk. Saat ibuku rebah, dia pun juga merebahkan diri."
Demi mendengar ucapan sang bocah, pria itu tersentak bukan kepalang. Hatinya hancur. Dia merasa dipermainkan oleh istri yang disayanginya.
Tak berapa lama, istrinya tiba. Dengan wajah ceria, dia menghampiri suami dan anaknya.
"Suamiku, semuanya sudah siap. Mari kita segera sembahyang di depan altar leluhur kita untuk kebahagiaan ini," ucap sang istri.
Dengan wajah penuh kekecewaan dan amarah, pria muda itu menghardik istrinya, "Kamu membohongiku. Anak ini bukan anakku."
Dengan gontai, pria itu berlalu pergi meninggalkan istri dan bocah itu. Di sebuah bar, dia menghabiskan malam itu dengan bergelas-gelas minuman keras. Kekecewaan meremukkan hatinya.
Di rumah, sang istri disergap kebingungan atas sikap suaminya. Hatinya pun hancur. Dia sungguh tidak tahu mengapa pria yang dicintainya itu begitu marah dan sedih. Hari-harinya diliputi derita.
Dalam kekalutan dan keputusasaan, perempuan muda itu lalu pergi ke sungai. Dia menceburkan diri. Hanyut dan meninggal. Bunuh diri.
Kabar kematian sang istri akhirnya terdengar oleh pria muda itu. Dia tersentak dan segera berlari ke rumah. Namun, segalanya telah terlambat. Perempuan yang dicintainya itu telah dimakamkan.
Malam tiba, pria muda itu lalu menyalakan lampu kamar istrinya. Tiba-tiba, bocah itu menangis seraya berkata, "Tuan, Tuan. Itu ayahku. Dia pulang." Saat berkata demikian, bocah itu menunjukkan jarinya ke arah bayangan pria muda itu di tembok.
"Anda tahu Tuan? Ayahku datang setiap malam. Ibuku selalu berbicara kepadanya dan terkadang ibuku menangis; dan setiap waktu dia duduk, dan ayahku ikut duduk pula," lanjut bocah itu.
Rupanya, bocah kecil itu selama ini mengira bayangan ibunya di tembok sebagai ayahnya. Karena, tiap kali bayangan itu tiba, ibunya selalu berkata:
"Kekasihku, kamu begitu jauh dariku. Bagaimana aku dapat membesarkan anak kita tanpamu? Bagaimana bisa aku hidup sendiri tanpamu? Pulanglah segera ke kami."
Seiring ucapan tersebut, ibunya menangis dan jatuh terduduk. Seturut itu, sosok bayangan di tembok tersebut ikut terduduk.
Mendengar penuturan sang bocah, pria muda itu runtuh hatinya. Dia telah salah persepsi. Istrinya tak pernah mengkhianatinya. Bahkan, mencintainya lebih dari apapun. Namun, segalanya telah terlambat. Istrinya sudah tiada.
**********
'True Love', begitu penulis asal Vietnam, Thich Nhat Hanh, memberi judul untuk kisah tersebut.
Mispersepsi adalah racun dalam kehidupan. Tak hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam kehidupan sosial yang lebih luas.
Hari-hari ini, mispersepsi bergerak ringan laksana udara dalam kehidupan kita, baik dunia maya maupun nyata. Kita menelan informasi bukan untuk menyelamatkan diri dari dan menerangi gelapnya ketidaktahuan, melainkan sekadar untuk membenarkan kebencian dan fanatisme. Situasi yang sesungguhnya jauh lebih gelap dan jahanam dari mispersepsi yang dialami pria muda dalam kisah 'True Love' itu.
Dalam mispersepsi yang pekat, dengan ringan kita merisak orang yang berbeda, menghujamkan olokan, hingga memfitnah buta.
Dalam hidup yang semakin tak pernah mudah, penuh kecurigaan, dan terkotak-kotak, tragedi mispersepsi itu terjadi dengan sangat telanjang: seorang pria dibakar hidup-hidup atas tuduhan yang dia tak sempat sangkal. Celakanya, bencana mispersepsi itu tak berhenti sampai di situ.
Tragedi senja hari di sudut kota Planet Bekasi itu bergulir menjadi serpihan-serpihan informasi yang mengeruh bersama persepsi dan kebencian. Hingga, tragedi yang semestinya terbahasakan dalam renungan dan introspeksi itu justru menjelma sebagai bola liar saling silang ejekan dan penyudutan antar fanatikus.
Mispersepsi serupa setan yang bisa kapan saja datang. Maka, Islam pun menuntun tentang krusialnya tabayyun. Sementara, Budha mengingatkan, hal terdekat dalam hidup kita yang perlu disikapi sangat hati-hati adalah persepsi dalam kepala kita. Salah persepsi awal penderitaan diri dan orang lain..
Entah berapa banyak tragedi di dunia ini yang bermula dari mispersepsi. Bahkan, pembunuhan pertama dalam kisah kehidupan manusia--tragedi Habil (Abel) dan Qabil (Cain)-- pun berangkat dari kesalahan persepsi. Entah brrapa banyak pasangan suami-istri harus terpisah tersebab mispersepsi, hingga meninggalkan generasi yang tumbuh dalam ketidakutuhan.
Pertanyaanya, mengapa manusia tak pernah jera dengan mispersepsi?
Barangkali kalimat Simon van Booy ini mewakili sebagai jawaban: "Because pride got in between them".
Penulis: Mohamad Burhanudin
0 Response to "Pride"
Post a Comment