Jangan Ulangi Kesalahan yang Sama
Tuesday, August 15, 2017
Add Comment
Artikel ini saya tulis setelah membaca status salah seorang jurnalis senior yang saya hormati karena integritasnya yakni Budisantoso Budiman pada 15 Agustus 2017. Dalam statusnya dia menulis “Kota Metro Lampung dihuni warga yang progresif dan kreatif terutama kalangan anak mudanya. Mustinya birokrasinya menopang semua itu biar efektif tersalurkan untuk memajukannya.”
Jurnalis senior ini baru saja mengunjungi muridnya untuk berdiskusi. Ia mengungkapkan keinginannya untuk mengambil studi dan berbagi ilmunnya di kampus. Kami larut dalam diskusi dan concernya soal bagaimana Metro dikembangkan. Meski berbeda generasi, ilmu dan pengalaman, ia tak sungkan berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Saya merefleksikan diskusi dan masukan-masukannya tentang bagaimana iklim dan kosmologi komunitas di Metro dengan kota kelahiran saya yakni Bandung. Kota kecil bernama Metro ini memang memiliki banyak sumber daya manusia yang kreatif. Beberapa ditopang dari anak-anak muda yang tumbuh dalam iklim kreatif di Jawa dan kemudian kembali ke Metro.
Komunitas-komunitas tumbuh subur mulai dari kesamaaan hoby, inovasi, diskusi hingga yang berbasis ilmu pengetahuan dan pengalaman. Biasanya menjelang even-even politik komunitas-komunitas baru bertumbuhan menjawab kebutuhan para politisi yang haus dengan citra dekat dengan anak muda dan komunitas. Paska even politik ada yang bertahan dan ada juga yang tenggelam.
Satu soal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membangun iklim dan kosmologi kreatif tersebut sehingga mampu berkembang secara alamiah dan berkontribusi pada perkembangan peradaban kota ini. Tentu kita tak ingin potensi-potensi ini hanya berakhir sebagai even organiser saja, lebih tragis lagi menjadi alat para politisi, birokrasi dan kelompok kepentingan lainnya.
Satu hal mendasar yang harus perlahan diubah adalah cara berpikir komunitas dan cara berpikir birokrasi itu sendiri. Model berpikir “makan di restoran” pesan sesuai menu dan harga harus diubah oleh keduanya. Baik oleh komunitas sebagai pencipta aneka kreatifitas maupun birokrasi atau politisi sebagai pengguna jasa sesuai keperluan.
Pendeknya kalo cuma mengerjakan sesuatu dengan dana yang telah disediakan, itu tak perlu kreatifitas, tukang tak sekolahpun bisa melakukannya. Tapi memecahkan kendala ditengah keterbatasan, itulah kreatifitas.Bukan disuapi tapi bagaimana berpikir agar warga bisa mandiri dan tumbuh berkembang sebagai sebuah entitas yang ikut membangun perkembangan dan peradaban kota.
Model berpikir bekerja bersama itulah yang membuat Bandung tumbuh sebagai kota yang penuh denga kreatifitas. Komunitas tidak berharap pada urusan jangka pendek seperti kerjaan , project tapi lebih kepada perluasan akses dan dukungan fasilitas. Demikian juga pemerintah yang menyadari bahwa komunitas adalah modal sosial yang penting untuk membangun peradaban kota di tengah keterbatasan yang dimiliki. Keduanya adalah mitra sejajar yang bekerja , tumbuh dan besar bersama.
Lalu apa yang harus dilakukann pemerintah?Bukan membiayai komunitas-komunits tertentu untuk menggelar acara. Tapi bagaimana menumbuhkan iklim yang mendukung perkembangan kreatifitas komunitas dan warga. Sebagai contoh menyediakan fasilitas-fasilitas yang mendukung pengembangan kreatifitas, mempromosikan dan membuka jalan. Mempromosikan produk-produk komunitas sebagai marchandise sebagaimana dilakukan Banyuwangi.
Lalu apakah komunitas harus terpisah atau berhadap-hadapan dengan penguasa Ada adagium kekuasaan terbatas kreatifitas tidak terbatas. Bekerjasa sama dengan pemerintah tidak selalu harus dimaknai dalam cara berpikir yang usang. Komunitas yang bekerja sama juga belajar mengubah cara berpikir kerjasama dengan pemerintah menguntungkan. Tumbuhlah dalam satu perjalanan bersama yang saling menguatkan dan menguntungkan. Soal pilihan politik hanya kita Tuhan dan kotak suara yang tau pasti.
Bentuknya bisa dengan mendirikan pusat-pusat kreatifitas yang berisi berbagai fasilitas yang mampu mendukung keterbatasan komunitas. Mempermudah proses perizinan usaha dan even-even yang digelar dan membuka ruang diskusi serta agenda kerja bersama.
Kita juga bisa belajar bagaimana Pemkot Bandung mendirikan pusat-pusat promosi seperti yang dilakukan Bandung dengan membuka stand little Bandung di berbagai negara yang disi oleh berbagai produk komunitas. Disitulah kreatifitas akan berkontribusi pada pengembangan wisata sebuah kota. Mempromosikan kota yang penuh dengan kreatifitas adalah sebuah strategi pemasaran kota yang tak memiliki potensi destinasi wisata alam.
Perjalanan kota ini dan juga perjalanan komunitas yang tumbuh selama sepuluh tahun terakhir hendaknya membuat kita semakin dewasa dan tidak mengulang judul lagu Kerispatih “Kesalahan yang Sama”.
Penulis: Oki Hajiansyah Wahab
Jurnalis senior ini baru saja mengunjungi muridnya untuk berdiskusi. Ia mengungkapkan keinginannya untuk mengambil studi dan berbagi ilmunnya di kampus. Kami larut dalam diskusi dan concernya soal bagaimana Metro dikembangkan. Meski berbeda generasi, ilmu dan pengalaman, ia tak sungkan berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Saya merefleksikan diskusi dan masukan-masukannya tentang bagaimana iklim dan kosmologi komunitas di Metro dengan kota kelahiran saya yakni Bandung. Kota kecil bernama Metro ini memang memiliki banyak sumber daya manusia yang kreatif. Beberapa ditopang dari anak-anak muda yang tumbuh dalam iklim kreatif di Jawa dan kemudian kembali ke Metro.
Komunitas-komunitas tumbuh subur mulai dari kesamaaan hoby, inovasi, diskusi hingga yang berbasis ilmu pengetahuan dan pengalaman. Biasanya menjelang even-even politik komunitas-komunitas baru bertumbuhan menjawab kebutuhan para politisi yang haus dengan citra dekat dengan anak muda dan komunitas. Paska even politik ada yang bertahan dan ada juga yang tenggelam.
Satu soal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membangun iklim dan kosmologi kreatif tersebut sehingga mampu berkembang secara alamiah dan berkontribusi pada perkembangan peradaban kota ini. Tentu kita tak ingin potensi-potensi ini hanya berakhir sebagai even organiser saja, lebih tragis lagi menjadi alat para politisi, birokrasi dan kelompok kepentingan lainnya.
Satu hal mendasar yang harus perlahan diubah adalah cara berpikir komunitas dan cara berpikir birokrasi itu sendiri. Model berpikir “makan di restoran” pesan sesuai menu dan harga harus diubah oleh keduanya. Baik oleh komunitas sebagai pencipta aneka kreatifitas maupun birokrasi atau politisi sebagai pengguna jasa sesuai keperluan.
Pendeknya kalo cuma mengerjakan sesuatu dengan dana yang telah disediakan, itu tak perlu kreatifitas, tukang tak sekolahpun bisa melakukannya. Tapi memecahkan kendala ditengah keterbatasan, itulah kreatifitas.Bukan disuapi tapi bagaimana berpikir agar warga bisa mandiri dan tumbuh berkembang sebagai sebuah entitas yang ikut membangun perkembangan dan peradaban kota.
Model berpikir bekerja bersama itulah yang membuat Bandung tumbuh sebagai kota yang penuh denga kreatifitas. Komunitas tidak berharap pada urusan jangka pendek seperti kerjaan , project tapi lebih kepada perluasan akses dan dukungan fasilitas. Demikian juga pemerintah yang menyadari bahwa komunitas adalah modal sosial yang penting untuk membangun peradaban kota di tengah keterbatasan yang dimiliki. Keduanya adalah mitra sejajar yang bekerja , tumbuh dan besar bersama.
Lalu apa yang harus dilakukann pemerintah?Bukan membiayai komunitas-komunits tertentu untuk menggelar acara. Tapi bagaimana menumbuhkan iklim yang mendukung perkembangan kreatifitas komunitas dan warga. Sebagai contoh menyediakan fasilitas-fasilitas yang mendukung pengembangan kreatifitas, mempromosikan dan membuka jalan. Mempromosikan produk-produk komunitas sebagai marchandise sebagaimana dilakukan Banyuwangi.
Lalu apakah komunitas harus terpisah atau berhadap-hadapan dengan penguasa Ada adagium kekuasaan terbatas kreatifitas tidak terbatas. Bekerjasa sama dengan pemerintah tidak selalu harus dimaknai dalam cara berpikir yang usang. Komunitas yang bekerja sama juga belajar mengubah cara berpikir kerjasama dengan pemerintah menguntungkan. Tumbuhlah dalam satu perjalanan bersama yang saling menguatkan dan menguntungkan. Soal pilihan politik hanya kita Tuhan dan kotak suara yang tau pasti.
Bentuknya bisa dengan mendirikan pusat-pusat kreatifitas yang berisi berbagai fasilitas yang mampu mendukung keterbatasan komunitas. Mempermudah proses perizinan usaha dan even-even yang digelar dan membuka ruang diskusi serta agenda kerja bersama.
Kita juga bisa belajar bagaimana Pemkot Bandung mendirikan pusat-pusat promosi seperti yang dilakukan Bandung dengan membuka stand little Bandung di berbagai negara yang disi oleh berbagai produk komunitas. Disitulah kreatifitas akan berkontribusi pada pengembangan wisata sebuah kota. Mempromosikan kota yang penuh dengan kreatifitas adalah sebuah strategi pemasaran kota yang tak memiliki potensi destinasi wisata alam.
Perjalanan kota ini dan juga perjalanan komunitas yang tumbuh selama sepuluh tahun terakhir hendaknya membuat kita semakin dewasa dan tidak mengulang judul lagu Kerispatih “Kesalahan yang Sama”.
Penulis: Oki Hajiansyah Wahab
0 Response to "Jangan Ulangi Kesalahan yang Sama"
Post a Comment