Merdeka Ala Dangdut Koplo

Perjalanan Jogja-Surabaya atau sebaliknya yang biasa ditempuh dengan waktu 8-9 jam via Bus itu memiliki cerita sendiri. Jika ingin santai dan damai ya naiknya Bus Eka, diiringi tembang kenangan, musik-musik slow, dengan jok yang nyaman dan AC yang sejuk terukur, kita akan cepat terlelap dan tiba-tiba terbangun di Bungur Asih atau Giwangan. Berbeda jika kita ingin berpetualangan, berkendaralah bersama Grup Sumber atau Mira adiknya Eka itu adalah jawabnya. Bus Ekonomi AC ini akan membawa kita melewati track-track seru nan menegangkan. Dan satu lagi dentuman dangdut koplo menjadi bonus spesial untuk menemani sepanjang perjalanan kita.

Suatu ketika dalam perjalanan;
N: “Numpak opo enak e?”, tanya temenku di warung soto Bungur Asih.
R: “Baseng, seng penting cepet”. Jawab ku, lalu kami berjalan di peron bus, kebetulan Sumber akan diberangkatkan.
N: “Wes Sumber wae”, “Wah alamat rai so turu” (Udah Sumber Saja), (Alamat nggak bisa tidur). Celetuknya.
R: “Dinikmati wae Asolole ne”, hentakan kaki pertama kami ke tangga Bus di sambut oleh bunyi-bunyi gemerincing dan gendang kuda kepang yang atraktif. Serta sholawatan Syi’ir Tanpo Waton nya Gus Dur, oleh Eni Sagita dengan balutan busana muslimah yang rapat. Tapi tidak ketinggalan Asolole dan icik-icik nya. Dan terus nomor-nomor lagu lain menemani perjalanan kami.

Siapa yang tidak mengenal Ratna Antika dengan tembang-tembang spesialnya, bergabungnya ia dengan Monata besutan Kang Sodiq menjadikan artis ini dikenal secara under ground oleh masyarakat lapisan bawah, menengah hingga atas. Konon ada Fans Club Ratna Antika dan sudah menyetak merchandise untuk di sebar dan dijual sebagai sekedar oleh-oleh atau tanda fans. Belum lagi Eni Sagita, Via Valen atau Rena KDI yang sudah meng-Indonesia, juga dereten nama-nama populer lain dalam dunia per-dangdutan ini. Kaset-kaset bajakan bertabur dengan lagu-lagu mereka, di copy dan dipindah ke flasdisk juga memori eksternal. Dibunyikan di rumah-rumah, di pesta-pesta nikahan ala kadarnya, di orgen tunggal syukuruan khitanan, di gubuk-gubuk sawah, di mobil-mobil pribadi, di study tour para Mahasiswa Dosen serta Guru Besar, juga teman saat gotong royong bersih-bersih lingkungan di RT, semua berdendang, semua senang, semua bahagia, semua bergembira. Bahkan orang larut tenggelam dalam hentakan ketipung gendang lagu “Oplosan” sambil pegang leher botol dan menenggak minuman keras, padahal notabene lagu itu mengajak untuk tidak minum-minuman keras. Kontradiktif memang, tapi itulah cara mudah untuk masuk mengajak orang menuju kebaikan dengan bahasa Dangdut Koplo yang sesuai dengan frekuensi mereka. Bisa jadi pelan-pelan mereka menyadari bahwa oplosan itu minum air setan, minuman yang merusak tubuh, minuman yang merusak akal, jiwa dan sayangilah tubuhmu.

Gejala ini menjadi unik, karena semua tidak malu-malu untuk juga ikut berdendang dengan gaya musik ini. Bagaimana mungkin dengan koleksi 60-70-80 sampai 90an yang jika sudah di sentuh oleh tangan dingin pemusik Monata atau Sagita ia menjadi musik-musik kekinian ala kampung yang pinggiran serta menjadi ramai peminat. Mungkin Almarhumah Nike Ardila akan bahagia ketika mendengar lagu-lagu tahun 90an nya di gubah menjadi lagu koplo, dan tentu ia tidak akan meminta royalti karena ia disebar bebas tanpa lebel. Juga musik khas Pance F Pondang, Pambres, D-Loyd, bahkan Ebiet G AD, yang jika sudah disentuh oleh genre musik ini akan membuat orang lupa bahwa pada hakikatnya musik ini adalah musik melow yang tidak mungkin bisa mengajak orang untuk jingkrak-jingkrak di atas panggung pementasan.

Kemerdekaan para komposer musik koplo ini menurut saya perlu di abadikan. Mengapa demikian, unsur musik yang sudah melenceng dari akarnya, yaitu Dangdut Soneta mahakarya peradaban milik Bung Haji Rhoma Irama ini yang konon adalah sebuah master peace Indonesia yang tidak dimiliki oleh siapapun di dunia ini. Balutan musik yang berpadu dari unsur modern hingga unsur tradisional, dengan orkestrasi tangan dingin Bung Haji, dibalut syair-syair nada dan dakwah, menjadikan musik ini sebagai musik yang genuine dan layak jika bung Haji di anugerahi Doktor Honoris Causa, ataupun Profesor Honoris Causa pun tidak menjadi soal. Karena jelas ribuan karyanya, yang mampu menghipnotis mereka penikmat dangdut dari Sabang sampai Merauke, di desa-desa, di kota-kota semua orang mengenalnya. Lalu bagaimana dengan dangdut koplo ini? Karena ini adalah kekayaan hak cipta yang semestinya menjadi kekayaan intelektual anak bangsa, juga menurut saya harus diikut diabadikan. (hiyaa).

Dulu sekali, Bung Haji harus menulis syair sendiri, menentukan melodi, irama, nada dengan sendiri. Menerjemahkan dengan tim, latihan bersama memadukan unsur-unsur musiknya, dari gitar melodi, bass, ritme, saksofon, seruling sampai gendang. Sudah oke dari lagu ke lagu menjadi 1 album, lalu di rekam di dapur rekaman, dengan segala macam rumitnya hingga akhirnya menjadi gulungan-gulungan kaset. Lalu di jual dari dapur rekaman tentu harus melalui proses macam-macam, dan akhirnya terjual. Dan Bung Haji baru mendapat yang namanya royalti, di tambah dengan konser-konsernya yang mengantarkan orang untuk membeli kaset edisi terbarunya. Maka wajar jika dulu yang namanya kaset bajakan adalah barang haram yang tidak boleh disentuh oleh mereka yang tau betapa berharganya sebuah karya.

Lalu bagaimana dengan Dangdut Koplo? Saya sepakat dengan pendapat “Aku dibajak. Aku ditanggap”. Para praktisi musik ini tidak perlu harus bersusah payah mencipta lagu, walau ada juga yang mencipta lagu sendiri. Mereka cukup mengaransemen musik-musik lawas, sentuhan khas paduan saksofon dan gendang dengan hentakan khas “Buka Sitik Joos”, tidak peduli musik dasarnya syahdu atau nge-reff. Asal selama solmisasinya jelas, dan cord gitarnya masih dari kunci G sampai G baik kress atau mayor, sangat pantas dan wajar saja jika dapat digubah oleh peramu dangdut koplo ini. Di bawakan pula oleh biduan-biduan yang aduhai ala-ala Indonesia, disorot oleh lampu-lampu warna panggung orkestra, dipentaskan dari kampung ke kampung, kota ke kota. Jauh dari hinggar bingar televisi nasional yang terkemuka. Mereka meng-Indonesia bak jamur di musim hujan, dunia musik semakin menjadi tidak menarik dengan rekaman formal yang melahirkan kaset-kaset sebagai produk primer untuk mendapat pundi-pundi rupiah. Konon, satu kali manggung mereka cuplik lagu per-lagu, diupload di youtube, selain mereka sudah Go-Internasioanal, mereka juga mendapatkan dolar selama ada orang mengklik. Dan mari lihat berapa dolar yang bisa di raup dengan pengungjung sampai jutaan orang seperti lagu Asolole, Kangen, atau Kelayung-layung versi Monata dan Soneta.

8-9 jam kemudian.
Kernet Bus: Janti-janti-janti.. (Kami turun dari bus)
N: “Cen, Asolole tenan ogg..”, ucap teman ku
R: “Wah, wes apal”. Haha. #Plaakkk
Belum 12 jam kami di dalam bus, slogan-slogan dan celetukan dalam komponen dangdut ini membuat kami terhegemoni, terbuai dan terdoktrinasi. Mungkin ini bisa menjadi alat doktrinasi masa kini dalam menyampaikan pesan-pesan ideologi. #Halaah

Menurut saya, Dangdut Koplo ini adalah genre musik baru yang sangat merdeka. Berbeda dengan kelas musik lain semacam jazz, keroncong, pop, dan lainnya yang sepertinya mereka memiliki AD/ART sebagai pakem dia untuk bermusik. Saya harus angkat topi walau saya juga terkadang harus sedih dengan mereka yang men-down great musik-musik syahdu nan sakral mahakarya Bung Haji Rhoma Irama. Mereka tidak terjebak pada dimensi formalitas musik, nggak ada urusan dengan konstitusi, dan untungnya pemerintah nggak turut mengatur ukuran musik dan jenis musik macam apa yang harus dimainkan. Lalu bantuan copy paste di rental-rental komputer dan foto kopian yang memberi mereka rating tinggi di masyarakat, hentakan-hentakan dalam musik ini akhirnya menjadi pilihan para pelayan tamu di acara hajatan kampung. Juga mudahnya akses internet dengan youtube yang semua mudah mengaksesnya, orang semakin dekat dan lebih mengenal bintang-bintang kenamaan ini.

Dangdut koplo telah mengatakan pada kita bahwa fase distrubtif ini menjadikan kita harus dan wajb hukumnya melakukan kreatifitas. Lengah sedikit saja kita akan hancur dan tergilas, lalu menjadi sejarah dan masa lalu yang akan di kenang dalam catatan rekor MURI. Banyak akhirnya raksasa-raksasa perusahaan besar yang hancur dan tumbang, mereka jatuh dan tergilas oleh zaman, karena mereka tetap berfikir bahwa zaman ada pada genggaman dan pikirannya. Padahal saat ini dengan maraknya toko virtual kita bisa berjualan tanpa harus membangun gedung, efeknya berapa banyak pelapak dan tukang grosir partikelir yang terbantu dagangannya terjual. Belum lagi dengan aplikasi ojek online, harus disadari dan diakui, selain sebagai sarana transportasi murah, ia juga menjadi penolong para ter-PHK dengan tidak perlu daftar kerja, asal bisa mengendarai motor, berbekal aplikasi dengan hp smartphone, ia sudah bisa mengais rejeki yang cukup untuk bekal hidup hari per hari.

Para pemusik dangdut ini adalah orang-orang merdeka yang tau pasti akan kebutuhan masyarakat kebanyakan. Bahwa mereka butuh hiburan murah dan dengannya dapat membuat mereka lupa beban hidup yang menghimpit. Kita harus mampu melakukan inovasi yang dengannya kita tau bahwa akan ada banyak yang terselamatkan dan terbantukan. Pun dalam dunia industri, perbankan, kesahatan, politik, hukum dan segala macam sektor kebutuhan masyarakat, tidak ada pilihan lain untuk dapat terus berekspansi selain melakukan inovasi dan inovasi.

Namun menurut saya, hanya ada 1 jenis musik saja yang saat ini sudah melompat mendunia dengan karakter Indonesia, yaitu Gamelan Kyai Kanjeng, dia mampu memadukan unsur tanda nada solmisasi yang mainstream itu, dengan slendro dan pelog yang fenomenal. Segala macam jenis musik dalam gamelan ini dapat di besut, dari mulai jaz, pop, hingga dangdut koplo. Dan popularitas musik ini tidak kalah populer dengan musik-musik modern yang ada. Akhirnya segala macam dan hal yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kreatif, dibekali dan disertai oleh bacaan arah zaman yang presisi, ia akan menjadi arus baru yang terus hidup dan menghidupkan. Tapi satu hal yang pasti, semua boleh melakukan inovasi, khususnya dangdut koplo. Tapi tolong bener tolong, Soneta jangan ikut-ikutan menjadi koplo karena ikut membaca arah zaman. Sungguh saya tidak ikhlas dunia akhirat, biarkan Soneta tetap dengan sonetanya saja. Hehe

Ditulis di peringatan hari kemerdekaan 2017 dengan merdeka, gk urusan sama editor, diiringan tembang kenangan masa SMA tahun 2000-an (Bukan dangdut koplo), hehe.

Penulis: Robert Edy Sudarwan

0 Response to "Merdeka Ala Dangdut Koplo"

Post a Comment