Dunia Intelektual: Egaliter dalam Gagasan, Hegemonik dalam Tindakan
Monday, September 11, 2017
Add Comment
Satu waktu, saya diminta oleh salah seorang peneliti senior untuk menggantikannya menjadi pembicara di sebuah forum diskusi. Salah satu panitia yang mengajukan kemudian bertanya, "Siapa Dia (Wahyudi)?" Melalui email, dengan polos, saya lalu melampirkan Curriculum Vitae (CV). Dengan CV dan informasi yang tertera terkait dengan sejumlah tulisan dan pengalaman, saya pikir dapat menguatkan panitia untuk mengenal saya lebih dalam, ternyata tidak. Saya tidak bisa menggantikan senior saya. Saya tidak tahu alasannya apa
Kedua kalinya, peneliti senior ini juga berhalangan dan merasa tidak mampu untuk terlibat diskusi mengenai Film dan Agama, ia lalu menyodorkan nama saya dan memberitahui saya sebelumnya apakah bersedia untuk menjadi menjadi pembicara atau tidak. Saya mengiyakan. Namun, hingga seminggu undangan juga belum ada. Tiba-tiba saya melihat di lini masa media sosial bahwa ada pengumuman terkait dengan diskusi tersebut. Tentu saja bukan nama saya yang tercantum di sana. Lagi-lagi ini membuat saya bertanya-tanya dalam hati.
Saat pertama kali mengirimkan tulisan di media online, saya kaget bahwa ternyata mendapatkan honor. Namun, saya menjadi lebih kaget ternyata honor yang saya dapatkan itu berbeda dengan teman yang juga mengirimkan artikel dan dimuat seperti saya. Bahkan, teman itu juga tidak produktif menulis seperti saya di media online tersebut. Tulisan terakhir dimuat ini baru honor tulisan saya berubah menjadi dua kali lipat.
Dari tiga contoh di atas, saya mulai mengerti bahwa dunia intelektual, gagasan yang didiskusikan dan ide yang dibicarakan itu memang memuat narasi keadilan, imajinasi keberpihakan, dan semangat egalitarian. Namun, dalam praktik, di balik layar, untuk mencapai pada forum-forum seperti itu dan mendapatkan tempat layak sehingga kita bisa diundang tidak mungkin tanpa adanya unsur pertemanan, keterkenalan sebuah nama, diajak oleh orang, dan ataupun masuk dalam radar intelektual yang sudah terbentuk sebelumnya. Untuk masuk ke dalam irisan ini, kita memerlukan waktu yang panjang, mulai dari sering menulis opini agar terus-menerus masuk radar, sering nongkrong oleh geng-geng intelektual semacam itu, dan jika tidak, kita mengajaknya untuk menjadi pembicara di proyek-proyek kita.
Padahal, kehadiran internet, munculnya situs-situs bajakan yang memuat ribuan buku, dan media sosial memungkinkan setiap orang untuk menjadi "pintar" melalui bidang yang ditekuninya, tidak terkecuali ilmu sosial. Dari perspektif, mereka juga tidak kalah dengan orang-orang intelektual yang selama ini dianggap mapan. Pengetahuannya dalam membaca data dan informasi dengan dukungan software tertentu memudahkan pembaca untuk membaca secara lebih tepat. Muda secara usia ini juga memungkinkannya untuk bisa mengantisipasi dan masuk dalam gelombang zaman yang dihidupinya.
Sementara itu, dalam dunia akademis, meskipun memiliki irisan yang saya sebutkan di atas, di bawah payung konferensi, baik nasional maupun internasional, setiap orang memiliki momentum yang setara. Seorang profesor dunia bisa saja masuk dalam panel saya karena tertarik untuk mendengarkan isu yang dibicarakan dalam panel tersebut. Kita juga bisa datang tiba-tiba dalam panel atas isu yang memang tidak kita kuasai dan bisa bertanya di sana. Dengan tema dan ide yang sama, seorang peneliti junior bisa saja bekerjasama dengan profesor tersohor untuk mengerjakan satu proyek riset atau menulis artikel jurnal.
Dalam konteks penulisan jurnal, di bawah aturan proses reviews, setiap orang, seberapapun hebatnya dirinya, harus tunduk melalui proses ini; dikritisi, dikomentari, diedit, dan bahkan siap-siap untuk tidak diterima apabila karyanya tidak layak untuk jurnal yang dikirimkannya. Proses blind review ini berlaku juga saat kita mengirimkan satu abstrak untuk konferensi, baik nasional ataupun internasional. Proses prosedural standar yang terdapat dalam jurnal inilah yang membuat orang-orang yang sudah terkenal secara nama enggan untuk mengirimkan karena harus mengikuti prosedur yang sama dengan mereka yang baru memulai dalam dunia akademik.
Ya, itu sejumlah pengalaman pribadi saya saja selama berkarir "hidup" di Jakarta sejak tahun 2010. Pengalaman personal yang belum tentu sesuai dengan konteks yang dialami oleh orang lain. Namun, pengalaman yang saya ceritakan ini sekedar bekal pengetahuan bahwa sekuat apapun dunia intelektual, itu bukanlah suatu yang netral, ada irisan kekuasaan, pertemanan, senioritas, dan penyeleksian orang terkait dengan dimensi keterkenalannya. Karena itu, ungkapan Pram bahwa "seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran" itu harus dibuang jauh-jauh apabila kita mau masuk dalam rimba pengetahuan di Indonesia.
Penulis: Wahyudi Akmaliah (Researcher at Research Center for Culture and Society, LIPI)
Kedua kalinya, peneliti senior ini juga berhalangan dan merasa tidak mampu untuk terlibat diskusi mengenai Film dan Agama, ia lalu menyodorkan nama saya dan memberitahui saya sebelumnya apakah bersedia untuk menjadi menjadi pembicara atau tidak. Saya mengiyakan. Namun, hingga seminggu undangan juga belum ada. Tiba-tiba saya melihat di lini masa media sosial bahwa ada pengumuman terkait dengan diskusi tersebut. Tentu saja bukan nama saya yang tercantum di sana. Lagi-lagi ini membuat saya bertanya-tanya dalam hati.
Saat pertama kali mengirimkan tulisan di media online, saya kaget bahwa ternyata mendapatkan honor. Namun, saya menjadi lebih kaget ternyata honor yang saya dapatkan itu berbeda dengan teman yang juga mengirimkan artikel dan dimuat seperti saya. Bahkan, teman itu juga tidak produktif menulis seperti saya di media online tersebut. Tulisan terakhir dimuat ini baru honor tulisan saya berubah menjadi dua kali lipat.
Dari tiga contoh di atas, saya mulai mengerti bahwa dunia intelektual, gagasan yang didiskusikan dan ide yang dibicarakan itu memang memuat narasi keadilan, imajinasi keberpihakan, dan semangat egalitarian. Namun, dalam praktik, di balik layar, untuk mencapai pada forum-forum seperti itu dan mendapatkan tempat layak sehingga kita bisa diundang tidak mungkin tanpa adanya unsur pertemanan, keterkenalan sebuah nama, diajak oleh orang, dan ataupun masuk dalam radar intelektual yang sudah terbentuk sebelumnya. Untuk masuk ke dalam irisan ini, kita memerlukan waktu yang panjang, mulai dari sering menulis opini agar terus-menerus masuk radar, sering nongkrong oleh geng-geng intelektual semacam itu, dan jika tidak, kita mengajaknya untuk menjadi pembicara di proyek-proyek kita.
Padahal, kehadiran internet, munculnya situs-situs bajakan yang memuat ribuan buku, dan media sosial memungkinkan setiap orang untuk menjadi "pintar" melalui bidang yang ditekuninya, tidak terkecuali ilmu sosial. Dari perspektif, mereka juga tidak kalah dengan orang-orang intelektual yang selama ini dianggap mapan. Pengetahuannya dalam membaca data dan informasi dengan dukungan software tertentu memudahkan pembaca untuk membaca secara lebih tepat. Muda secara usia ini juga memungkinkannya untuk bisa mengantisipasi dan masuk dalam gelombang zaman yang dihidupinya.
Sementara itu, dalam dunia akademis, meskipun memiliki irisan yang saya sebutkan di atas, di bawah payung konferensi, baik nasional maupun internasional, setiap orang memiliki momentum yang setara. Seorang profesor dunia bisa saja masuk dalam panel saya karena tertarik untuk mendengarkan isu yang dibicarakan dalam panel tersebut. Kita juga bisa datang tiba-tiba dalam panel atas isu yang memang tidak kita kuasai dan bisa bertanya di sana. Dengan tema dan ide yang sama, seorang peneliti junior bisa saja bekerjasama dengan profesor tersohor untuk mengerjakan satu proyek riset atau menulis artikel jurnal.
Dalam konteks penulisan jurnal, di bawah aturan proses reviews, setiap orang, seberapapun hebatnya dirinya, harus tunduk melalui proses ini; dikritisi, dikomentari, diedit, dan bahkan siap-siap untuk tidak diterima apabila karyanya tidak layak untuk jurnal yang dikirimkannya. Proses blind review ini berlaku juga saat kita mengirimkan satu abstrak untuk konferensi, baik nasional ataupun internasional. Proses prosedural standar yang terdapat dalam jurnal inilah yang membuat orang-orang yang sudah terkenal secara nama enggan untuk mengirimkan karena harus mengikuti prosedur yang sama dengan mereka yang baru memulai dalam dunia akademik.
Ya, itu sejumlah pengalaman pribadi saya saja selama berkarir "hidup" di Jakarta sejak tahun 2010. Pengalaman personal yang belum tentu sesuai dengan konteks yang dialami oleh orang lain. Namun, pengalaman yang saya ceritakan ini sekedar bekal pengetahuan bahwa sekuat apapun dunia intelektual, itu bukanlah suatu yang netral, ada irisan kekuasaan, pertemanan, senioritas, dan penyeleksian orang terkait dengan dimensi keterkenalannya. Karena itu, ungkapan Pram bahwa "seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran" itu harus dibuang jauh-jauh apabila kita mau masuk dalam rimba pengetahuan di Indonesia.
Penulis: Wahyudi Akmaliah (Researcher at Research Center for Culture and Society, LIPI)
0 Response to "Dunia Intelektual: Egaliter dalam Gagasan, Hegemonik dalam Tindakan"
Post a Comment