Komedo Jihad, Komando Jihad Jaman Now
Wednesday, October 11, 2017
Add Comment
Setelah sukses memperalat NU demi menghemat peluru dalam pemberantasan PKI dalam rangka membuka jalan untuk Freeport, maka misi Suharto kemudian adalah menekan kebangkitan Islam paska musnahnya komunis. Islam perlu ditekan sebab tentu saja ia bakal menjadi musuh baru bagi kapitalisme; karena toh ekonomi syariah juga bertentangan dengan kapitalisme seperti halnya komunis. Selain itu dalam era paska kolonialis-imperialis, ada paham yang ana sebut sebagai Hukum Kekekalan Permusuhan: segala apa kekuatan baru yang muncul selepas matinya monster hari kemarin, itulah musuh baru. Mau Islam kek, MLM kek, Bayern Munchen kek; siapa besar dialah musuh. Musuh harus selalu ada dan diadakan, supaya rakyat tetap melihat kamu gagah; secara kamu kan ndak pinter, modalmu gagah thok. Maka begitulah.
Diantara format-format yang dipakai Suharto untuk menekan gerakan dan tokoh-tokoh Islam, satu yang paling terbilang efektif adalah gagasan Ali Moertopo yang masyhur dikenal dengan judul Proyek Komando Jihad, yang mulai digulirken awal 1970an.
Pada dasarnya Komando Jihad itu gerakan intelijen yang pura-pura mau membangkitkan NII/DI/TII. Prakteknya dengan cara merekrut eks-eks mujahid NII/DI/TII, memberi dana lewat tangan ketiga, dan membiarkan mereka mengadakan konsolidasi ulang anggota-anggotanya yang selama itu dalam pelarian. Dibikinlah ormas seperti Lemkari, awalnya di bawah Golkar, yang kemudian menjadi LDII. Dibukakan pintu kontak dengan kelompok-kelompok radikal di timur tengah, khususnya di Libya. Difasilitasi untuk bikin pelatihan militer.
Tujuannya sederhana : daripada capek-capek mengejar, mending dipancing keluar. Setelah pada muncul ke permukaan, tinggal dibantai saja. Hasilnya, ratusan kader Neo NII plus rakyat jelata diciduk, dipenjarakan, dan mayoritas dibantai sepanjang '70an dan '80an. Modusnya berupa provokasi terhadap komunitas-komunitas pengajian, yang lalu memancing aksi-aksi militan, yang direspon dengan menyebut aksi dimaksud sebagai gerak'an makar/subversif, yang kemudian digulung dengan cepat. Konkritnya seperti peristiwa Tanjung Priok 1984 pimpinan Amir Biki dan Talangsari 1989 pimpinan Abdullah Sungkar.Efek bonusnya adalah penanaman rasa takut di benak rakyat; jasbotak, jangan sekali-sekali berniat memberontak. Tentu tidak semuanya dibantai; sebagian dibiarkan berkeliaran sambil diawasi, ada yang keluar-masuk penjara tapi ndak dibunuh-bunuh. Iya lah mosok mata kail dipanggang. Ikannya dong. Temannya yang habis dibunuhi, dianya segar terus, produktif terus bawa datang ikan-ikan baru untuk dibantai setjara berkesinambungan.
Orang-orang ini bahkan ada yang masih aktif sampai sekarang; misalnya Abubakar Ba'asyir.
Rehenerasi pun jalan terus. Sepeninggal Ba'asyir ada Rizieq Shihab. Sepengabur Rizieq masih banyak bibit-bibit baru; yang formatnya ndak perlu harus sebagai agen negara yang taqiyah memancing teroris keluar; bisa juga sebagai jihadis lugu yang pede merasa dirinya sebagai anak ideolohis Ba'asyir, padahal dibuntuti BIN terus macam pelacur yang dilepas di kandang ahlul fustun.
Ini barang masih jalan sampai sekarang; rezim boleh berganti, tapi intelijen tidak pernah mati. Apalagi kalau formatnya maknyus macam Komedo Jihad ini; tentu jalan terus siapapun presidennya. Kalau perlu jalan tanpa ijin.Dana bisa dicari; berhubung alumninya sudah mandiri, sudah pada pinter bikin proposal. Yang nanggap juga ndak habis-habis, tiap pileg pilkada pilpres ada terus kebutuhan akan pengacau serba guna ini.
Kembali ke awal '70an. Sampai di mana kita tadi. Di urusan bantai-membantai ya. Urusan bantai-membantai dan ringkus-meringkus, urusan lapangan, tentu sudah bukan urusan Ali Moertopo lagi. Diserahkan ke polisi, Jendral Soemitro; kemudian saat pak Mitro harus disingkirkan menyusul peristiwa Malari 1974, proyek dialihkan ke tentara; Jenderal Lazarus Benjamin Moerdani alias L.B. Moerdani alias Benny Moerdani. Benny khususnya kemudian dikenal di kalangan Neo DI/TII, khususon anak-anak kandung maupun anak ideolohis eks mujahid, misalnya Abdullah Gymnastiar, sebagai "musuh Islam" - hanya karena Benny yang kebagian tugas mengotori tangan di lapangan. Harto tetap dianggap bersih, bahkan dirindukan. Saking gobloknya rakyat. Padahal bagi tokoh-tokoh Islam non-radikal seperti Gus Dur misalnya, Benny justru penyelamat : beberapa kali Gus Dur diselamatkan Benny dari usaha pembunuhan oleh Ali Moertopo.
Suharto memang tidak sepenuhnya percaya pada Benny. Gaya Suharto dari dulu hantam rata, semua yang dianggap musuh harus dihabisi; kalau ada yang boleh disisakan maka itu kroco-kroconya saja, bukan biangnya. Saat musuhnya Islam, maka semua yang Islam dan besar harus dipangkas sehingga menjadi kerdil, ramping, ompong, sehingga tidak membahayakan arah kebijakan kapitalisme negara; sambil tetap terlihat masih cukup banyak jumlahnya dan cukup pantas menyandang sebutan negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia. Dengan begitu dunia tetap berdecak kagum; wah muslimnya paling banyak tapi kok ndak ada yang radikal, pada manis-manis so sweet semua.
Sementara Benny sendiri mengenal Gus Dur, sehingga tentu tidak sepaham dengan prinsip Harto bahwa Gus Dur wajib dihabisi. Benny paham bahwa Gus Dur bukan ancaman bagi bangsa; ancaman bagi Harto memang; tapi bukan bagi bangsa.
Pada akhirnya kelak Suharto menyingkirkan Benny. Namun sudah terlambat; Gus Dur dan NU sudah menjadi terlalu besar, sehingga kelak saat Harto tidak punya pilihan lain selain merangkulnya, yang mana artinya merangkul Islam, lewat manuver naik haji sekaligus ganti nama pada 1991, keadaannya sudah terlanjur morat-marit. Keadaan dunia sudah berubah; komunisme tumbang, sehingga Harto kehilangan kambing hitam pemersatu bangsa, Amerika kehilangan musuh besarnya, sehingga terpaksa mengambil Islam sebagai musuh baru.
Pada saat lengsernya Harto tidak bisa dihindari lagi, Gus Dur lah yang menuai buah suksesi seiring tumbangnya Orde Baru. Para alumni Komedo Jihad yang mendadak pada muncul pake jas pada waktu itu tidak kuasa menafikan kekuatan NU. Mereka hanya bisa mengintai macam burung bangkai, mengambil peluang atas kelurusan Gus Dur yang tanpa kompromi sehingga menghasilkan ekses-ekses yang walaupun di mata rakyat adalah manfaat namun di mata politik adalah blunder.
Walaupun berhasil melengserkan Gus Dur, laskar Komedo Jihad belum pernah berhasil mereguk tampuk kekuasaan. Mereka sempat berdamai dengan kapitalis, saat dirangkul dan dijamu oleh SBY dalam koalisi nirkerja; namun sepeninggal SBY hingga sekarang mereka terpaksa harus berjuang mempertahankan kelangsungan hidupnya yang tidak pernah ada kepastian dari jum'at ke jum'at.
Sekarang anak-anak ideolohis Gus Dur sedang berkuasa; dan Komedo Jihad makin lemah hari demi hari. Kedoknya juga makin lama makin terkuak; dan sungguh perih mereka rasa saat kedok terkuak rakyat bukannya marah malah menertawakan. Dalam tiga tahun terakhir ada mereka tempuh satu ikhtiar, sekedar menambal kedok yang sudah robek sana-sini dengan plester seadaanya. Dengan cara menelikung pandangan mata rakyat ke arah saudara tua mereka - sesama eks pemberontak yang juga tidak dibunuh semua, ditampung sebagian untuk rencana cadangan Harto yang ternyata tidak pernah sempat dipakai : PKI.
Namun malang buat laskar Komedo, rakyat jaman now tidak lagi kurang gizi macam 5 tahun lalu saat stok ikan nasional cuma 2 juta ton. Sekarang sudah 6 kali lipatnya. Rakyat sudah pinter; sudah banyak makan ikan segar, bukan lagi ikan asin.
Rakyat tau, pada djaman dahulu kala memang komunis pernah dipakai untuk bungkus radikalisme; tapi sekarang sembarang tukang Gojek juga tau apa yang jadi bungkus radikalisme di mana-mana, apa yang lagi laris manis dipakai buat alasan orang baku sembelih di mana-mana.
Komunis? Bah, orang lebih percaya kalo ente bilang ada bahaya laten poligami. Soale beda dengan poligami a la Rasululah, poligami jaman now itu bahaya sekali; dia bisa bikin perempuan yang aslinya santun anggun sholihuwwwah jadi kelihatan kayak lonte.
Jadi Komedo Jihad sekarang boleh dibilang nasibnya di ujung tanduk. Patut disayangkan, kalau saja mereka ini mujahid beneran, bukan kawe tigabelas, niscaya mereka bisa buktikan intehritasnya tanpa banyak cingcong. Ledakkan diri saja di penjara Sukamiskin, misalnya.
Niscaya harum namamu. Kalau yang beginian ada yang ajukan jadi pahlawan nasional, ana mau paraf petisinya.
Sayangnya ya Komedo Jihad ini pada takut mati.
Jadi begitulah, rakyat cuma perlu menguap dengar mereka cuap-cuap koar-koar sampai satu demi satu kabur ke Saudi pada waktunya.
Diantara format-format yang dipakai Suharto untuk menekan gerakan dan tokoh-tokoh Islam, satu yang paling terbilang efektif adalah gagasan Ali Moertopo yang masyhur dikenal dengan judul Proyek Komando Jihad, yang mulai digulirken awal 1970an.
Pada dasarnya Komando Jihad itu gerakan intelijen yang pura-pura mau membangkitkan NII/DI/TII. Prakteknya dengan cara merekrut eks-eks mujahid NII/DI/TII, memberi dana lewat tangan ketiga, dan membiarkan mereka mengadakan konsolidasi ulang anggota-anggotanya yang selama itu dalam pelarian. Dibikinlah ormas seperti Lemkari, awalnya di bawah Golkar, yang kemudian menjadi LDII. Dibukakan pintu kontak dengan kelompok-kelompok radikal di timur tengah, khususnya di Libya. Difasilitasi untuk bikin pelatihan militer.
Tujuannya sederhana : daripada capek-capek mengejar, mending dipancing keluar. Setelah pada muncul ke permukaan, tinggal dibantai saja. Hasilnya, ratusan kader Neo NII plus rakyat jelata diciduk, dipenjarakan, dan mayoritas dibantai sepanjang '70an dan '80an. Modusnya berupa provokasi terhadap komunitas-komunitas pengajian, yang lalu memancing aksi-aksi militan, yang direspon dengan menyebut aksi dimaksud sebagai gerak'an makar/subversif, yang kemudian digulung dengan cepat. Konkritnya seperti peristiwa Tanjung Priok 1984 pimpinan Amir Biki dan Talangsari 1989 pimpinan Abdullah Sungkar.Efek bonusnya adalah penanaman rasa takut di benak rakyat; jasbotak, jangan sekali-sekali berniat memberontak. Tentu tidak semuanya dibantai; sebagian dibiarkan berkeliaran sambil diawasi, ada yang keluar-masuk penjara tapi ndak dibunuh-bunuh. Iya lah mosok mata kail dipanggang. Ikannya dong. Temannya yang habis dibunuhi, dianya segar terus, produktif terus bawa datang ikan-ikan baru untuk dibantai setjara berkesinambungan.
Orang-orang ini bahkan ada yang masih aktif sampai sekarang; misalnya Abubakar Ba'asyir.
Rehenerasi pun jalan terus. Sepeninggal Ba'asyir ada Rizieq Shihab. Sepengabur Rizieq masih banyak bibit-bibit baru; yang formatnya ndak perlu harus sebagai agen negara yang taqiyah memancing teroris keluar; bisa juga sebagai jihadis lugu yang pede merasa dirinya sebagai anak ideolohis Ba'asyir, padahal dibuntuti BIN terus macam pelacur yang dilepas di kandang ahlul fustun.
Ini barang masih jalan sampai sekarang; rezim boleh berganti, tapi intelijen tidak pernah mati. Apalagi kalau formatnya maknyus macam Komedo Jihad ini; tentu jalan terus siapapun presidennya. Kalau perlu jalan tanpa ijin.Dana bisa dicari; berhubung alumninya sudah mandiri, sudah pada pinter bikin proposal. Yang nanggap juga ndak habis-habis, tiap pileg pilkada pilpres ada terus kebutuhan akan pengacau serba guna ini.
Kembali ke awal '70an. Sampai di mana kita tadi. Di urusan bantai-membantai ya. Urusan bantai-membantai dan ringkus-meringkus, urusan lapangan, tentu sudah bukan urusan Ali Moertopo lagi. Diserahkan ke polisi, Jendral Soemitro; kemudian saat pak Mitro harus disingkirkan menyusul peristiwa Malari 1974, proyek dialihkan ke tentara; Jenderal Lazarus Benjamin Moerdani alias L.B. Moerdani alias Benny Moerdani. Benny khususnya kemudian dikenal di kalangan Neo DI/TII, khususon anak-anak kandung maupun anak ideolohis eks mujahid, misalnya Abdullah Gymnastiar, sebagai "musuh Islam" - hanya karena Benny yang kebagian tugas mengotori tangan di lapangan. Harto tetap dianggap bersih, bahkan dirindukan. Saking gobloknya rakyat. Padahal bagi tokoh-tokoh Islam non-radikal seperti Gus Dur misalnya, Benny justru penyelamat : beberapa kali Gus Dur diselamatkan Benny dari usaha pembunuhan oleh Ali Moertopo.
Suharto memang tidak sepenuhnya percaya pada Benny. Gaya Suharto dari dulu hantam rata, semua yang dianggap musuh harus dihabisi; kalau ada yang boleh disisakan maka itu kroco-kroconya saja, bukan biangnya. Saat musuhnya Islam, maka semua yang Islam dan besar harus dipangkas sehingga menjadi kerdil, ramping, ompong, sehingga tidak membahayakan arah kebijakan kapitalisme negara; sambil tetap terlihat masih cukup banyak jumlahnya dan cukup pantas menyandang sebutan negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia. Dengan begitu dunia tetap berdecak kagum; wah muslimnya paling banyak tapi kok ndak ada yang radikal, pada manis-manis so sweet semua.
Sementara Benny sendiri mengenal Gus Dur, sehingga tentu tidak sepaham dengan prinsip Harto bahwa Gus Dur wajib dihabisi. Benny paham bahwa Gus Dur bukan ancaman bagi bangsa; ancaman bagi Harto memang; tapi bukan bagi bangsa.
Pada akhirnya kelak Suharto menyingkirkan Benny. Namun sudah terlambat; Gus Dur dan NU sudah menjadi terlalu besar, sehingga kelak saat Harto tidak punya pilihan lain selain merangkulnya, yang mana artinya merangkul Islam, lewat manuver naik haji sekaligus ganti nama pada 1991, keadaannya sudah terlanjur morat-marit. Keadaan dunia sudah berubah; komunisme tumbang, sehingga Harto kehilangan kambing hitam pemersatu bangsa, Amerika kehilangan musuh besarnya, sehingga terpaksa mengambil Islam sebagai musuh baru.
Pada saat lengsernya Harto tidak bisa dihindari lagi, Gus Dur lah yang menuai buah suksesi seiring tumbangnya Orde Baru. Para alumni Komedo Jihad yang mendadak pada muncul pake jas pada waktu itu tidak kuasa menafikan kekuatan NU. Mereka hanya bisa mengintai macam burung bangkai, mengambil peluang atas kelurusan Gus Dur yang tanpa kompromi sehingga menghasilkan ekses-ekses yang walaupun di mata rakyat adalah manfaat namun di mata politik adalah blunder.
Walaupun berhasil melengserkan Gus Dur, laskar Komedo Jihad belum pernah berhasil mereguk tampuk kekuasaan. Mereka sempat berdamai dengan kapitalis, saat dirangkul dan dijamu oleh SBY dalam koalisi nirkerja; namun sepeninggal SBY hingga sekarang mereka terpaksa harus berjuang mempertahankan kelangsungan hidupnya yang tidak pernah ada kepastian dari jum'at ke jum'at.
Sekarang anak-anak ideolohis Gus Dur sedang berkuasa; dan Komedo Jihad makin lemah hari demi hari. Kedoknya juga makin lama makin terkuak; dan sungguh perih mereka rasa saat kedok terkuak rakyat bukannya marah malah menertawakan. Dalam tiga tahun terakhir ada mereka tempuh satu ikhtiar, sekedar menambal kedok yang sudah robek sana-sini dengan plester seadaanya. Dengan cara menelikung pandangan mata rakyat ke arah saudara tua mereka - sesama eks pemberontak yang juga tidak dibunuh semua, ditampung sebagian untuk rencana cadangan Harto yang ternyata tidak pernah sempat dipakai : PKI.
Namun malang buat laskar Komedo, rakyat jaman now tidak lagi kurang gizi macam 5 tahun lalu saat stok ikan nasional cuma 2 juta ton. Sekarang sudah 6 kali lipatnya. Rakyat sudah pinter; sudah banyak makan ikan segar, bukan lagi ikan asin.
Rakyat tau, pada djaman dahulu kala memang komunis pernah dipakai untuk bungkus radikalisme; tapi sekarang sembarang tukang Gojek juga tau apa yang jadi bungkus radikalisme di mana-mana, apa yang lagi laris manis dipakai buat alasan orang baku sembelih di mana-mana.
Komunis? Bah, orang lebih percaya kalo ente bilang ada bahaya laten poligami. Soale beda dengan poligami a la Rasululah, poligami jaman now itu bahaya sekali; dia bisa bikin perempuan yang aslinya santun anggun sholihuwwwah jadi kelihatan kayak lonte.
Jadi Komedo Jihad sekarang boleh dibilang nasibnya di ujung tanduk. Patut disayangkan, kalau saja mereka ini mujahid beneran, bukan kawe tigabelas, niscaya mereka bisa buktikan intehritasnya tanpa banyak cingcong. Ledakkan diri saja di penjara Sukamiskin, misalnya.
Niscaya harum namamu. Kalau yang beginian ada yang ajukan jadi pahlawan nasional, ana mau paraf petisinya.
Sayangnya ya Komedo Jihad ini pada takut mati.
Jadi begitulah, rakyat cuma perlu menguap dengar mereka cuap-cuap koar-koar sampai satu demi satu kabur ke Saudi pada waktunya.
0 Response to "Komedo Jihad, Komando Jihad Jaman Now"
Post a Comment