Berperang dengan Tulisan


Penulis: Ririn Erviana

"Menulis adalah manifestasi berpikir, penyampaian pendapat, transformasi sosial, dan wujud perang serta perlawanan yang dapat mengubah dunia. Bukan hanya masa sekarang, tetapi untuk masa mendatang pula. Mari berperang dengan pena, tinta, rasa dan karsa"


Rasulullah bersabda :”Pemuda Masa sekarang adalah pemimpin masa depan.” Sudah menjadi keniscayaan bahwa intelektual muda yang digembleng dengan berbagai ilmu selalu digadang-gadang menjadi tokoh ideal yang memberdayakan masyarakat.  Banyak sekali bukti terdahulu yang mengindikasikan peran pemuda menduduki posisi penting. Kita dapat menghela napas sambil menelusur ingatan pada sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Indonesia memperoleh kemerdekaan dengan melibatkan kaum muda, peruntuhan orde lama menjadi orde baru akibat inisiasi para pemuda, dan peruntuhan orde baru berhijrah era reformasi juga turut menjadi referensi kuat bahwa pemuda pada waktu itu.  Keterangan “Pada waktu itu” mengindikasikan suatu pendiskreditan masa kini yang penulis sengaja ungkapkan. Maksudnya, bagaimana dengan pemuda masa kini? Bagaimana pemuda yang menyandang status mahasiswa? Bagaimana pemuda yang setiap harinya duduk berkutat dengan buku dan teori-teori ilmiah? Bagaimana peran mereka terhadap lingkungan sosial selama ini?

Kemunduran peran pemuda saat ini telah memunculkan kekhawatiran yang cukup pelik. Produktivitas pemuda rasanya belum kentara sejauh mata memandang pada lingkungan sosial. Beberapa waktu lalu penulis menjumpai aksi solidaritas yang dilakukan sekelompok mahasiswa pada sebuah institusi perguruan tinggi di Metro. Pembaca boleh mengira bahwa apa yang terungkap pada tulisan ini tidak benar atau hanya bersifat subjektif, tapi itu fenomena yang penulis tatap dengan mata kepala. Pada aksi itu ada sejumlah tuntutan yang harus dipenuhi pejabat tinggi instansi, tuntutan merupakan wujud kepekaan sekelompok mahasiswa terhadap tranparansi kebijakan pejabat instansi. Namun, hal itu bukanlah permasalahan utamanya, sebab wajar sekali jika pemuda memiliki jiwa kritis dan menuntut keterbukaan atas suatu kebijakan, baik yang dilakukan pemerintah daerah maupun pejabat tinggi instansi tertentu. Yang menjadi perhatian penulis adalah cara penyampaian orasi,  dengan lantangnya orator menggunakan bahasa tubuh yang menurut penulis kurang sopan. Sebut saja dengan “Menunjuk-nunjuk” , merupakan gesture yang seharusnya tidak dilakukan seseorang terhadap orang yang lebih tua darinya.

Barangkali cerita tersebut  menjadi indikasi yang jelas, sumber daya pemuda telah mengalami degradasi moral. Nilai-nilai etika dan moral sudah tidak menjadi rujukan utama dalam bertindak tanduk atau berperilaku. Sudah menjadi perbincangan umum, masalah moral pemuda yang semakin tidak karuan kini mencapai titik kulminasinya. Ibarat penyakit, fenomena itu sudah ditetapkan “kronis”. Menanggapi kronisnya umat pemuda-pemudia konsep akidah sebagai pedoman hidup dan akhlak sebagai tataa tertib moral sudah selayaknya menjadi bagian integral dalam pembentukan karakter.

Lantas jika muda-mudi tidak leluasa menghujat orang-orang di atas karena usianya lebih tua, bagaimana menuntut transparansi? Adakah cara mengingatkan mereka dengan cara yang berakhlak? Apakah kaum muda hanya bisa sendiko dawuh saja supaya tidak terjadi degradasi moral? Tentu saja pertanyaan yang membuat sesak napas itu dapat terjawab dengan kalimat singkat dan tegas. “Pasti Ada caranya.” Kaum intelektual bisa mengungkapkan gagasannya tanpa perlu berteriak dan ber-gesture yang  kurang beretika. Melalui apa? Melalui pena. Betapa hebatnya kekuatan pena yang bahkan dapat lebih tajam dari samurai. Betapa mengerikannya kertas A4 yang berisi gagasan brilian mengalahkan ledakan bom.

Sayang sekali pemuda yang menyandang gelar mahasiswa itu ternyata tak se-ideal yang kita harapkan. Mahasiswa yang sehari-harinya mengerjakan tugas kepenulisan nyatanya hanya berorientasi pada nilai A, B, C dan seterusnya. Bagi mereka menulis hanyalah penggugur kewajiban dan prasyarat pemerolehan gelar. Padhal menulis adalah cara terhebat menuai gagasan, cara terindah mengungkapkan gagasan, cara paling berwibawa dalam mengingatkan, dan cara paling lembut mengubah dunia. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh penulis legendaris Almarhum Pamoedya Ananta Toer “Sepandai apapun seseorang, selama dia tidak menulis, maka kepandaiannya kurang terkenang dan terwarisi generasi berikutnya.” Seperti halnya aksi solidaritas yang dilakukan sekelompok mahasiswa di atas, bisa saja gagasan yang terlontar dalam aksi itu mengubah keadaan, tapi lambat laun akan termakan waktu. Selama gagasan itu hanya disampaikan secara lisan, maka waktu akan memakan habis gagasan itu. Begitupun sebaliknya, Pramoedya Ananta Toer telah tiada, namun karyanya masih berdengung dan memiliki andil dalam dunia akademisi. Gagasannya masih tersimpan dan menjadi rujukan generasi sekarang. Bahkan seseorang yang tak pernah menemui Pramoedya Ananta Toer semasa hidupnya dapat terkagum hanya dengan meembaca karyanya.

Sebenarnya keengganan dalam menulis bukan hanya disebabkan tidak adanya konsep, ide atau gagasan, melainkan berbagai stigma negatif yang menggelayuti perasaan sehingga menjadi paranoid. Padahal menulis akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan ketika menjadikan kegiatan menulis selalu dinikmati pernuh rasa dan karsa. Ketidakproduktivitasan menulis di kalangan mahasiswa lebih banyak disebabkan karena tidak adanya kemauan dan motivasi. Kemudian kemalasan dalam membaca buku turut mengiringi aktivitas mereka sebagai mahasiswa. Karena sejatinya penulis hebat dilahirkan dari proses membaca yang tekun. Dengan membaca wawasan dan cakrawala akan tebuka, sehingga mudah untuk menuangkan ide atau gagasan mengenai fenomena tertentu.

Tak jarang pula, mahasiswa mengeluh bahwa manulis itu sulit, dan merepotkan. Padahal saat dia tahu bahwa menulis itu memberi kebahagiaan niscaya dia tak akan sudi beranjak dari dunia kepenulisan. Sampai suatu hari penulis menjumpai beberapa rekan yang bertanya mengenai cara menulis. Pertanyaan itu bukan sulit untuk dijawab, tetapi tidak ada jawabannya. Kemahiran menulis dapat tumbuh sesuai jam terbang, artinya semakin sering menulis maka semakin mahir dan bagus tulisannya. Sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang pemula yang ingin menekuni dunia kepenulisan hanyalah kemauan dan motivasi. Sebuah karya yang dihasilkan dari kerelaan hati penulis yang dibumbui dengan perasaan akan menjadi karya yang indah. Berbeda dengan karya yang dibuat hanya untuk mendapatkan sesuatu, misalnya menulis makalah hanya untuk mendapat nilai A, maka hasil karyanya tidak akan maksimal.

Sebagai pemuda yang menyandang gelar mahasiswa, ber-ideologi-kan pancasila, menjunjung tinggi sumpah pemuda serta berbahasa satu jua. Memperbaiki akidah dan akhlak adalah tugas mendasar pemuda, sementara menulis adalah manifestasi berpikir, penyampaian pendapat, transformasi sosial, dan wujud perang serta perlawanan yang dapat mengubah dunia. Bukan hanya masa sekarang, tetapi untuk masa mendatang pula. Mari berperang dengan pena, tinta, rasa dan karsa yang terangkai menjadi tulisan.

0 Response to "Berperang dengan Tulisan"

Post a Comment