Anasir dan Mistifikasi“Kiai” Berpolitik
Saturday, November 11, 2017
1 Comment
Penulis: Buyung Syukron (Dosen IAIN Metro)
“Netralitas yang harusnya dijunjung tinggi sebagai sosok pemuka agama, seakan terabaikan oleh para “kiai” yang justru terbuai oleh zat “aditif” yang dimunculkan oleh berbagai kenikmatan politik itu sendiri, “Kiai” terkesan menjadi kebablasan.”
Frase Politik itu “jorok”, Politik itu “kotor”,Politik itu “Jahat”, Politik itu “kejam”, dan masih banyak frase-frase lainnya yang menggambarkan betapa politik dengan segala fenomena yang ada di dalamnya, masih diasumsikan sebagai sebuah aktifitas, gerakan ataupun kontestasi yang berkonotasi negatif. Ya, itulah kalimat yang selalu terdengar kurang “merdu” ketika mengomentari perilaku politik yang tidak terpuji atau bahasa kerennya politik yang tidak beretika. Popularitas kalimat tersebut begitu familiar, sehingga siapapun tidak akan merasa asing mendengarnya, apalagi apabila sudah mendekati proses kontestasi, entah itu Pemilu ataupun Pemilukada. Seperti halnya “kiai” yang terjun dalam dunia politik. Kita semua sudah memahami bahwa peran seorang“kiai” demikian strategis dan dianggap sangat sentral. Kompleksitas kiprahnya tidak bisa dianggap remeh dan ringan dalam menentukan warna sekaligus dinamika perpolitikan kita saat ini.Penulis melihat dari berbagai fenomena dan politik yang terjadi di Negeri ini, “kiai” senantiasa dijadikan referensi“persona” dalam hal ketauladanan yang dimilikinya. Kelebihan atau dalam bahasa lainnya ke”khas”annya inilah yang menjadikan seorang “kiai” memiliki elektabilitas tinggi yang dipercayai sebagai sosok yang mampu memberikan kontribusi besar dalam setiap alur dan ritme politik yang terjadi. “Kiai” dipercaya sebagai sosok yang mampu menjadi “irisan” yang dianggap ampuh dan mujarab dalam membangun opini politik publik untuk memilih dan menentukan pilihannya. Bahkan ada istilah “Silaturahmi politik” dengan para “kiai” adalah menjadi sesuatu yang niscaya.
Preposisi Penulis di atas tentu saja bukanlah tanpa bukti dan realitas. Kita ambil contoh yang paling terbaru tentang Pilkada Gubernur Jawa Timur. Salah seorang kandidat calon Gubernur menyerahkan sepenuhnya kepada Tim 9 yang dibentuk dan diisi oleh para “Kiai” dan dipimpin oleh seorang “Kiai” ternama dan menjadi pimpinan salah satu Pondok Pesantren tertua di Provinsi tersebut. Tugas dari Tim 9 (Tim “Kiai”) ini adalah memilih dan merekomendasikan sosok wakil Gubernur yang akan mendampingi sang kandidat Calon Gubernur. Sangat nampak, prerogatifitas yang dimiliki para “Kiai” tersebut nyata-nyata mampu mengalahkan prerogatifitas yang dimiliki oleh koalisi partai politik yang mengusung sang Gubernur tersebut. Penampakan prerogatifitas para “Kiai” tersebut terlihat dari proses penjaringan, aktifitas politik yang sangat eksklusif, melakukan survey, sampai terpilihnya sosok Wakil Gubernur yang memenuhi kriteria kapabilitas, integritas, bisa bekerja sama dengan cagub, didukung oleh semua partai pengusung, dan terakhir bisa menjadi pendulang suara untuk pasangan yang diusung. (Kompas.com, 20 Oktober 2017)
Boleh saja memang kalau seandainya ada yang beranggapan tentang keterlibatan langsung seorang ataupun sekelompok “Kiai” dalam aktifitas politik dalam rangka memperbaiki perkembangan dan sistem politik kita yang saat ini tidak lagi berlandaskan pada nilai-nilai dan moralitas. Ada juga yang berlindung dibalik sebagai sebuah upaya “ndandani” politik yang katanya sudah terlanjur buruk kultur dan citranya. Semua argumentasi yang dikemukakan ini menurut Penulis adalah argumentasi subyektif yang bersifat justifikasi semata. Karena sejatinya ranah politik adalah ranah partai dan politisi, bukan ranah “kiai”. Ranah “Kiai” adalah ranah Agama.
Dengan kata lain, ketika seorang atau sekelompok“kiai” berpolitik,tentu saja normatifitas berfikir yang harus dibangun menurut penulis adalah kontruksi status yang menempatkan “kiai" menjadi individu yang memiliki integritas moral dan selalu memiliki pengikut, kontruksi status yang seperti ini menjadikan kiai menempati posisi elit di dalam masyarakat. Eksistensi “kiai” pada posisi bergengsi disini dapat difahami dan sudah menjadi hukum sosial akan kebutuhan tokoh sentral (elit) dalam setiap masyarakat. Elit dalam tindakan politik misalnya, dapat diimplikasikan pada sebuah perubahan politik, dimana keberadaan elit politik tidak cukup diukur dengan kecakapan, ketrampilan dan kelihaian, tetapi dilihat dari sisi moralitas dan konsekuensi perjuangannya. Dan ini semua dapat dilakukan melalu sebuah proses pendekatan terhadap sosok seorang “kiai”.
Kiai dan pusaran politik
Politik atau siasah merupakan bahagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan setiap manusia, maka berpolitik di dalam Islam sangat dianjurkan bahkan diutamakan bagi seseorang yang yakin mampu mengembani amanah-amanah dalam dunia politik tersebut. Mengaitkan politik dengan ibadah selaras dengan makna ibadah secara umum yaitu sebuah kewajiban manusia kepada Allah SWT, dalam hal mematuhi, menaati, melaksanakan dan menjalankannya dengan penuh ketundukan pada Allah sebagai bukti pengabdian dan rasa terima kasih kepadaNya. Dengan demikian, visi Politik jika dikaitkan dengan ibadah akan menumbuhkan sikap, jiwa, dan prilaku yang selalu menjunjung tinggi misi ajaran islam yang selalu diperintahkan agar beribadah kepada-Nya dalam keadaan apapun. Jika merujuk pada pemahaman bahwa politik bahagian dari ibadah, maka disinilah “Kiai” memiliki peran yang strategis, sebagaimana yang penulis uraikan di atas. Akan tetapi, permasalahan yang muncul terkait politik sebagai ibadah yang melibatkan “kiai” di dalamnya, tidak jarang kita menemukan “kiai” yang begitu asik dan larut dalam permainan politik itu sendiri. Sangat nampak “kiai” mirip dengan politisi. Netralitas yang harusnya dijunjung tinggi sebagai sosok pemuka agama, seakan terabaikan oleh para “kiai” yang justru terbuai oleh zat “aditif” yang dimunculkan oleh berbagai kenikmatan politik itu sendiri, “Kiai” terkesan menjadi kebablasan.
Tidak bisa dipungkiri, geliat politik yang menampilkan beragam dinamika salah satunya disebabkan oleh “kran” demokratisasi yang terbuka lebar. Adanya ruang yang lebih luas bagi bagi orang-orang termasuk “kiai”, menjadikan kompetisi yang terjadi dalam dunia politik menjadikan “kiai” dengan figur, kultur, jaringan dan modal sosial yang dimilikinya, menjadi sosok primadona yang diharapkan memainkan pengaruhnya dalam mencapai tujuan politik dimaksud.Kiai, menurut Clifford Geertz dalam esainya The Javanese Kijaj : The Changing Role of A Cultural Broker (1960), berperan sebagai agen perantara kultural dalam masyarakat, melalui simbol-simbol agama yang melekat pada dirinya. Loyalitas masyarakat terhadap “kiai”, menjadikan posisi “kiai” menjadi alat tawar menawar politik (political bargaining). Karena itu, dalam ruang lingkup dan perspektif politik, “kiai” acapkali dimanfaatkan sebagai salah satu “kendaraan” dengan agenda besar kalkulasi dan akumulasi kekuasaan.
Gerrtz melihat posisi “kiai” dalam politik tidaklah sepenuhnya dapat dipersalahkan. Karena “kiai” sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles adalah makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon). Kalaupun “kiai” harus berpolitik, maka peran “kiai” jangan sampai melunturkan kewajiban moralnya sebagai pencerah ummat. Keyword nya: “Kiai” jangan sampai terlibat dalam proses politik praktis. Dalam konteks peran “kiai”, penulis melihat “kiai” harus mampu mengejawantahkan sikap ke”kiai”annya dengan cara menanamkan sikap kritis melalui suguhan informasi yang bermakna edukasi politik ketimbang bermain politik. Makna edukasi politik yang disuguhkan “kiai” harus mampu mendehumanisasi kekotoran, kejorokan, atau kekejaman yang selama ini terkonotasi negatif pada politik. Dalam perspektif yang lebih panjang, upaya “kiai” tersebut akan mampu memberikan penilaian yang objektif terhadap semua mekanisme, proses dan hasil yang diperoleh melalui sebuah gerakan politik itu sendiri. Sekali lagi, hak para “kiai” untuk berpolitik, tapi jangan sampai larut dalam pusaran politik dimaksud, sehingga mereka lupa akan sosok ketauladanan, fungsi dan eksistensi ke”kiai”an mereka sendiri.
Mistifikasi politik dan karakteristik “kiai”
Berbicara politik dalam bingkai “kiai”, Penulis melihat ada yang menarik sebagaimana yang dikemukakan oleh Musta’in Syafi’i (Pondok Pesantren Tebu Ireng) Jombang, yang mengklasifikasikan “kiai” kedalam 3 kelompok. Pertama, Kiai yang memiliki kejernihan dalam melihat berbagai persoalan berdasarkan kacamata Ketuhanan (al-‘ain al-bashirah) nya lebih kuat dibandingkan mata duitan (al-‘ain al-bisyarah) nya. “Kiai” dengan tipe seperti ini, mempunyai pandangan jauh ke depan atau “kiai” yang visioner. al-‘ain al-bisyarah Jiwanya bersih dan memiliki kelurusan prilaku pada segala dimensi. Kedua, “kiai” al-‘ain al-bisyarahnya lebih kuat ketimbang al-‘ain al-bashirah nya. “Kiai” dengan tipikal seperti ini membiarkan segala konotasi negatif politik, tetapi membiarkannya, bahkan terkesan pura-pura tidak tahu. Ada kepentingan tersembunyi dan tersendiri, sehingga “kiai” model ini lebih memilih jalur yang aman untuk mencapai kepentingan dimaksud. Ada konstruksi dan manipulasi hukum (hilah) yang dijadikan sebagai dalil justifikasi yang sebenarnya tidak murni dan sangat diragukan legalitas dan keabsahannya. Orientasi “kiai” tipe yang kedua ini biasanya murni masalah materi dan memanen keuntungan untuk kepentingan pribadi. Ketiga, “kiai’ yang al-‘ain al-bashirahdan al-‘ain al-bisyarah nya sama-sama tidak jelas. Salih, tapi memiliki kecondongan untuk kepentingan dirinya sendiri. Tidak memiliki perhatian apapun terhadap apa yang terjadi pada dunia disekitarnya, alias “kiai” cuek.
Idealnya, kita sangat mendambakan sosok “kiai” tipe pertama, walaupun pengaruh dan efek yang dibawa politik, ternyata lebih memunculkan dan memberikan dominasi warna pada tipe “kiai” yang kedua. Ketokohan yang dimiliki atas peran strategis dan posisi penting seorang “kiai”, harusnya tidak sampai memunculkan mistifikasi politik yang pada akhirnya merugikan posisi “kiai” sebagai orang yang seharusnya melawan sistem politik yang salah dalam rangka menegakkan keadilan demi kepentingan rakyat. Dan ekspektasinya tentu saja mudah-mudahan ini semua bisa terwujud. Terkait hal ini, penulis tentu berharap jangan sampai “kiai” sebagai asset agama justru menjadi aktor pemeran utama yang memiliki “syahwat politik” melebihi para politisi yang ending nya malah menjadi ruang pemanfaatan bagi para petualang politik yang sebenarnya untuk membeli fatwa-fatwa keulamaan yang sudah menjadi simbol dan melekat pada diri seorang “kiai”. Dan jangan sampai terjadi fatwa keulamaan tersebut bermetamorfosis menjadi fatwa politik. Kalau sampai ini yang terjadi, maka pilihan politik tidak lagi berangkat dari sebuah pilihan yang rasional dan masuk akal, pilihan politik menjadi “binal”, “liar”, tanpa ada lagi yang mampu mengendalikannya, karena para “kiai” sudah ikut dan larut bermain di dalamnya.
Patronisasi kyai dan politik
Kekuatan patron kyai atas para umatnya, termasuk dalam domain politik, harus benar-benar didayagunakan untuk kemaslahatan dan kebaikan umat dalam pengertian yang komprehensif. Political bargaining bukan semata untuk kesejahteraan kerajaan masing-masing “kiai”. Dengan kata lain, Para kyai dengan otonomisasi yang dimilikinya dalam memimpin jama’ah, tetap dalam koridor ketentuan dan tujuan besar jam’iyah.Jika ini tidak dilakukan dalam membangun kekuatanpolitik yang bermartabat, maka dunia politik akan selamanya menjadi sistem politik tradisional yang meminjam istilah romo Subangun, selalu menjadi cacah (kelompok jelata) yang selalu kalah dalam pertarungan politik kontemporer. Bagaimanapun “kiai” adalah representasi dari ummat Islam secara keseluruhan (supreme body of Ummah).
Jangan sampai apa yang menjadi kritik Ahmad Tohari (2008) terbukti. Meski sudah puluhan tahun hidup sebagai tokoh sentral dan memiliki peran yang penting, dalam analisa dia, “kiai” belum juga mampu membangun diri sebagai sebuah persona yang mampu membangun dan mencerahkan sistem politik menjadi sebuah sistem yang jam’iyah, tetapi tetap saja bertahan sebagai sistem politik yang jama’ah. Persona “kiai” justru menjelma menjadi mistifikasi politik yang justru membuat ummat dan demokrasi kita semakin bingung dan berada di persimpangan jalan. Patronisasi “Kiai” harus mampu berpolitik tanpa “politik”. Maksud dari Politik Tanpa “Politik” disini adalah bahwa “kiai” harus kembali pada peran dan fungsi tertingginya sebagai pelindung umat, sebagai jam’iyah yang menghadirkan cara pandang dan solusi yang selalu segar di setiap fase politik apapun yang berkembang.[]
Keren. :)
ReplyDelete