Warganet dan Edukasi Literasi

Penulis: Julianto Nugroho
Berdasarkan data Direktorat Siber Bareskrim Polri yang ternyata juga melakukan patroli selama 24 jam penuh di dunia maya, setidaknya ada 3 kasus besar yang mendominasi yaitu diantaranya adalah Hate Speech, Hoax, dan penyebaran fitnah baik itu melalui akun media sosial maupun konten-konten dalam portal maupun website.

Belakangan ramai terdengar seorang musisi terjerat kasus terkait cuitannya yang mengandung ujaran kebencian di media sosial miliknya. Well hal ini menambah daftar panjang public figur yang menjadi lakon dalam dunia maya, tidak usah membahas siapa, siapa dan siapa yang jelas hal ini menunjukan satu fenomena penting saat ini.

Fenomena tersebut disebut dengan Pseudo-Literasi. Bagaimana tidak, di zaman yang semakin cepat dalam segala hal ini ternyata berdampak terhadap pemahaman literasi masyarakat. Sebagai contoh adalah penggunaan internet dan media sosial, tidak dapat dinafikan bahwa saat ini masyarakat sudah lebih “nyaman” dengan dunia maya dibandingkan dengan kehidupan di dunia nyata.

Warganet kini sama sekali tidak perlu bersusah payah mencari informasi, melalui internet, informasi bisa didapatkan dengan sangat cepat akan tetapi sudah menjadi hukum alam bahwa kecepatan tidak selalu dibarengi dengan akurasi yang tepat. Hal tersebutlah yang membuat kebanyakan orang menelan mentah-mentah informasi yang mereka dapat tanpa berpikir harus mengklarifikasi terlebih dahulu.

Berdasarkan data Direktorat Siber Bareskrim Polri yang ternyata juga melakukan patroli selama 24 jam penuh di dunia maya, setidaknya ada 3 kasus besar yang mendominasi yaitu diantaranya adalah Hate Speech, Hoax, dan penyebaran fitnah baik itu melalui akun media sosial maupun konten-konten dalam portal maupun website.

Selain itu, ternyata ada korelasi antara konten-konten terkait ujaran kebencian, SARA dan lain sebagainya dengan event-event tertentu yang sarat akan politik seperti Pilkada dan lain-lain. Pemerintah sebenarnya sudah mulai melakukan tindakan sebagai bentuk pedoman dan kontrol untuk bijak menggunakan media sosial melalui UU ITE. Namun apakah dengan adanya regulasi ini cyber crime akan serta merta berhenti?

Di sisi lain Kominfo melalui Dirjen Komunikasi dan Informasinya mengatakan bahwa tahun 2016 Kominfo sudah berhasil memblokir lebih dari 800.000 baik itu akun media sosial, website dan portal yang mengandung konten-konten SARA dan ujaran kebencian. Padahal tindakan memblokir ini bisa dianalogikan seperti orang yang sakit lalu kemudian diberi obat, suatu saat orang tersebut bisa sakit lagi.

Maka dari itu yang terpenting saat ini adalah harus adanya edukasi literasi dari semua pihak yang bertanggung jawab untuk menanggulangi “wabah” Pseudo-Literasi ini. Keberadaan UU ITE memang sedikit banyak akan berdampak, akan tetapi perlu ada instrumen lain yang mampu mendorong warganet untuk lebih bijak dalam berselancar atau sekedar membuat kata-kata yang tidak mengandung unsur-unsur sentimentil.

Tercatat dalam data aduan kasus kejahatan di internet di tahun 2017 setidaknya ada 1561 kasus yang ironisnya 594 kasus adalah tentang ujaran kebencian. Data tersebut sejatinya menunjukan kepada kita betapa mirisnya warganet yang ternyata masih gemar memaki, mengejek, mengolok atau bahkan memfitnah orang lain lewat media sosial.

Belum lagi maraknya berita-berita bohong atau Hoax yang juga sebenarnya sangat membahayakan keberlangsungan harmoni ekonomi, sosial, budaya dan agama di khalayak ramai. Bagaimana tidak, penyebaran Hoax tersebar secara merata dan sporadis di media sosial apabila hal ini dibaca oleh warganet yang masih awam dan tidak memiliki edukasi literasi memadai maka akan dipercayai begitu saja.

Edukasi literasi memang seyogyanya dimulai dari diri sendiri. Misalnya untuk mencegah melakukan ujaran kebencian di media sosial harus dimulai dari kemampuan untuk menempatkan diri. Ya, bersikap bijak dalam menggunakan media sosial adalah kuncinya. Pada dasarnya warganet bukanlah orang-orang yang bodoh, justru sebaliknya mereka adalah orang-orang yang pintar (dibandingkan dengan mereka yang bukan warganet) akan tetapi mereka hanya kurang bijak.

Ketidakbijakan mereka biasanya dikarenakan oleh keberpihakan terhadap seseorang, kelompok, atau aliran tertentu yang membuat mereka bersikap tendensius terhadap orang lain yang tidak satu visi dengan mereka. Dari sinilah biasanya akan muncul ujaran kebencian sebagai bentuk diskriminasi maupun intimidasi yang nantinya akan bermuara di samudera perselisihan. Miris!

Pun demikian dengan Hoax, warganet juga harus lebih pandai dan bijak dalam mengkonsumsi informasi yang didapatkan atau disebarkan di media sosial mengingat bahwa transfer informasi melalui internet adalah komunikasi satu arah, jadi kebenarannya harus di klarifikasi terlebih dahulu.

Ada ciri-ciri informasi yang biasanya identik dengan Hoax yaitu bisa menimbulkan kecemasan, membuat emosi, sumber tidak jelas dan minta untuk disebarkan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh warganet untuk membuktikan keaslian informasi yang didapatkan tersebut diantaranya dengan mengunjungi website resmi Kominfo yang telah menyediakan ruang komunikasi publik.

Pembiaran terhadap penyebaran Hoax merupakan tindakan yang sangat tidak bijak, mengingat tulisan-tulisan didalamnya sarat akan hal-hal yang bersifat sentimen dan diskriminatif sehingga sangat mampu menimbulkan perpecahan dalam tataran sosial masyarakat. Maka dari itu biasakan saring sebelum sharing informasi.

Media sosial dan juga media mainstream juga tidak boleh diam melihat fenomena ini. Sebagai wadah, mereka juga memiliki peran yang sangat penting untuk memberikan edukasi literasi kepada warganet. Media sosial dan media mainstream harus tetap menjaga kredibilitasnya guna menyebarkan informasi yang valid dan benar.

Mengapa Media sosial dan juga media mainstream tidak memberikan segmen khusus di laman online mereka terkait, “Ini loh daftar berita Hoax hari ini” tanpa beritikad untuk menyebarkannya melainkan menginformasikan kepada warganet bahwa berita-berita yang masuk dalam laman khusus tersebut adalah berita bohong yang tidak perlu dipercayai, dengan demikian warganet akan teredukasi dan lebih selektif mencari informasi. Tabik![]

0 Response to "Warganet dan Edukasi Literasi"

Post a Comment