Pluralisme Transaksional, Sebuah Harapan Palsu

Pagi itu seorang santri lari tergopoh-gopoh, seakan akan ia mengejar sesuatu yang sangat penting. Seketika ia sampai di depan pintu kelas, tak jauh dari santri itu sang ustadz yang berpakaian biasa, baju koko lengkap dengan sarung, Ustadz Mahdi begitulah ustadz itu dipanggil biasanya. Ustadz mahdi pun menyapa sang santri yang tengah sibuk merapikan sarung yang agak kedodoran gara-gara ia lari karena terlambat masuk kelas tadi.

Ketika ustadz Mahdi memulai pelajaran di pagi tersebut ia menuliskan sebuah pepatah arab yang di papan tulis, pepatah itu jika diterjemahkan berarti kurang lebih “Janganlah kalian menghina seseorang, karena setiap orang pasti memiliki kelebihan”. Kami pun disuruh untuk melapalkannya beramai-ramai beberapa kali, hingga kami bukan hanya lancar tapi juga hampir bisa menghapalkannya. Itulah kegiatan kami saat di salah satu sekolah swasta dulu.

Namun penjelasan dari ustadz Mahdilah yang bikin santri yang bernama Ayub itu bisa memahami dari pepatah diatas, yang mana ustadz Mahdi menjelaskan bahwa kita janganlah menghina apalagi sampai berperilaku tidak adil kepada orang lain tanpa membedakan ras, suku, dan agama. Dengan sedikit bercanda ustadz Mahdi pun kita tidak boleh saling menghina hanya karena beda klub bola favorit. Ayub yang sudah terkenal di kalangan santri sebagai pengemar salah satu klub bola dari Inggris pun tertawa terbahak-bahak.

Itulah pengalaman yang diceritakan Ayub kepada saya, kata -kata yang diingat dan membekas di hati seorang Ayub yang berbeda suku dengan kebanyakan teman-teman santrinya yang lain. Tapi saat mendapatkan penjelasan dari sang ustadz Mahdi, Ayub menjadi tenang dan paham bahwa Islam yang dia anut selama ini adalah agama yang ramah terhadap perbedaan dan malah menjaga perbedaan sebagai sebuah rahmat.

Cerita di atas hanyalah sebagian cerita-cerita dari pengalaman masyarakat kita dalam belajar untuk menerima perbedaan yang hidup di sekitar mereka. Masyarakat kita kebanyakan hidup dalam kehidupan yang kosmopolit, karena hampir tak ada kehidupan yang kita jalani yang tidak bersentuhan dengan orang lain yang berbeda dengan kita. Namun juga tak sedikit kasus-kasus konflik horizontal yang terjadi di masyarakat kita.

Dari kasus-kasus konflik horisontal yang terjadi di masyarakat kita, Agama menjadi salah satu yang paling banyak menyebabkan konflik itu terjadi. Bahkan berdasarkan beberapa penelitian yang dilaksanakan beberapa lembaga, memperlihatkan data yang cukup mencengangkan karena potensi konflik agama cukup tinggi. Sejak politik pencitraan menjadi kiblat bagi perpolitikan Indonesia, agama menjadi salah satu komoditas bisa dimanfaatkan oleh beberapa calon penguasa di Indonesia.

Pluralisme Tulus Vs Pluralisme Transaksional

Indonesia dalam kenyataannya amat beraneka ragam dalam banyak hal. Semboyan negara kita adalah ”Bhinneka Tunggal Ika.”  Bangsa atau negara Indonesia mengakui fakta keanekaragaman. Keanekaragaman di Indonesia sungguh amat kompleks. Terdapat banyak suku bangsa di Indonesia. Aneka bahasa merupakan kenyataan yang tak dapat ditampik. Agama-agama di Indonesia berkembang dengan maraknya. Upacara-upacara ritual agama dan kebudayaan dapat disaksikan oleh khalayak luas, yang juga dapat dijadikan sebagai upaya untuk menarik para wisatawan baik domestik maupun dari manca negara.

Pluralitas suku, ras, etnis hingga agama tak terbantahkan dan bahkan terhindarkan. Oleh karena itu sikap dan cara pandang pluralisme sdah niscaya, walau ada banyak perdebatan yang mengiringinya. Pluralisme adalah paham yang mulai disebar oleh para pemikir semacam Cak Nur atau Nurchalis Madjid hingga Gus Dur atau Abdurrahman Wahid. Mereka berdua menganggap bahwa paham inilah yang akan mengawal rakyat Indonesia menuju kedamaian.

Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi pluralism adalah : "In thesocial sciences, pluralism is a frame work of interaction in which groups show sufficien trespectand tolerance of each other, that they fruitfully coexistand interact without conflic to rassimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."

Pluralisme kemudian menyebar di kalangan kampus, lewat diskusi-diskusi dan seminar-seminar di berbagai tempat. Pluralisme mulai mendapatkan tempat yang cukup istimewa di rakyat Indonesia. Banyak penelitian yang dikaitkan dengan bagaimana bangsa Indonesia membangun kehidupan yang damai ini. Kemudian mulai menjamurlah lembaga swadaya masyarakat atau komunitas yang mengangkat isu pluralisme dan toleransi agama dalam program utama mereka.

Merekalah yang mensosialisasikan isu-isu keragaman dan kedamaian ini di masyarakat kita, dengan berbagai macam cara dari hidup bersama, kemah anak muda antar iman dan lain-lain. Negara pun tak ketinggalan dalam mengusung tema pluralisme dengan membentuk FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) di berbagai kota di Indonesia. Namun pendirian FKUB tak lantas menyelesaikan masalah kerukunan umat beragama dengan hadirnya Negara lewat FKUB.

Sekarang ini urusan kerukanan dan toleransi antar umat beragama, mulai mendapatkan porsi yang besar setelah dugaan penistaan Alquran yang dituduhkan kepada Basuki Tjahja Poernama atau Ahok. Ahok dituduh menistakan Alquran melalui pidatonya di pulau Pramuka daerah Kepulauan Seribu, yang mengutip surah alMaidah ayat 51 soal kepemimpinan dalam Islam.

Reaksi yang massif pun terjadi digawangi oleh Habib Rizieq Syihab melalui FPI yang berkolaborasi dengan ormas-ormas Islam yang lainnya seperti HTI dan FUI, yang kemudian bergabung membentuk Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau yang disingkat dengan GNPF MUI. Gerakan ini mulai terbentuk sejak MUI mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keberagamaan yang disebut-sebut pihak MUI lebih tinggi dari fatwa.

GNPF MUI menjalankan aksi massa yang diikuti banyak sekali dari umat muslim yang kemudian dinamakan dengan Aksi Bela Islam. Aksi ini beberapa kali atau jilid, aksi yang yang pertama cukup mendapat dukungan banyak orang digelar pada 4 Oktober 2016 atau dikenal dengan aksi bela islam jilid 2 yang yang kedua aksi bela islam jilid 3 dilaksanakan pada 2 Desember 2016. Aksi ini kemudian lebih dikenal dengan nama Aksi 411 dan 212.

Klaim dari penyelenggara aksi pada dua aksi tersebut ada jutaan manusia yang hadir. Di daerah-daerah selain Jakarta aksi serupa juga banyak berlangsung. Nama Habib Rizieq Syihab meroket dan hasilnya dalam beberapa isu beliau diusulkan sebagai imam besar umat Islam di Indonesia. Pro dan kontra soal aksi bela Islam ini menjalar ke mana-mana dari sosial media hingga media mainstream, semuanya hampir selalu bicara soal aksi bela Islam ini.

Pemerintah pun tak kalah sigap setelah aksi 212, Ahok pun ditetapkan sebagai tersangka dalam waktu yang relatif singkat bahkan ada yang menyebutnya tergesa-gesa. Namun yang menarik bagi saya adalah penetapan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama ini masih bisa diperdebatkan. Apalagi kasus yang menjerat Ahok ini masih belum bisa dikatakan sebagai penistaan terhadap Alquran apalagi ulama seperti yang dituduhkan kepada Ahok.

GNPF MUI seakan-akan sudah menyatakan Ahok bersalah dan harus dihukum seberat-beratnya, karena menurut mereka yang disandarkan kepada Pendapat dan Sikap Keberagamaan MUI. Permintaan maaf dari Ahok pun tak digubris, apalagi pendapat-pendapat lain soal kasus ini. Mereka sudah menguasai wacana dan bahkan berani mengatakan bahwa inilah pendapat umat Islam sehingga logikanya menentang aksi ini sama dengan menentang umat Islam.

Pertanyaan besarnya kemudian Apakah kita sebagai orang yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan ini harus bersikap seperti apa? Apakah cuma berdiam saja tidak melakukan apa-apa karena menganggap aksi-aksi tersebut tidak akan menjadi preseden buruk bagi toleransi dan demokrasi kita? Atau ketidak setujuan kita hanyalah sebuah gumaman yang beredar di kalangan kita atau cuma kita sendiri?

NU dan Muhammadiyah seakan-akan tenggelam dalam merespon dan tak mampu mengatasi hal ini. Padahal tak sedikit orang-orang yang merasakan terancam setelah aksi-aksi tersebut dilakukan apalagi mereka juga mulai merasa di atas angin dan berhak melakukan apa saja atas nama umat Islam. Semisal aksi sweeping mereka terhadap topi santa sudah membuat teman-teman kita dari agama lain merasa ketakutan akan ada aksi-aksi yang lain.

Namun sayang seribu sayang, tak banyak organisasi yang memberikan reaksi penolakan atas aksi-aksi tersebut bahkan dari kalangan yang mengusung tema-tema pluralisme dan kerukunan pun, tak banyak yang bergerak dan menyuarakan pendapatnya. Padahal secara teori dan pengetahuan sudah seharusnya kita beraksi membela mereka yang tertindas.

Sedangkan dari kalangan Islam Progresif, mereka memberikan beberapa catatan dan kritik keras terhadap aksi-aksi tersebut. Ini diantaranya tawaran dari mereka, Alih-alih menjadi pembela umat yang tersingkir (mustadhafin), sebagaimana spirit Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, Islam Politik masih lebih banyak mengangkat isu-isu identitas dan sentimen sektarian.Ini menjadi problem serius bagi Islam Politik di Indonesia yang indikatornya dapat dilhat pada menguatnya berbagai organisasi Islamis pasca-reformasi. Artinya, konsepsi Islam sebagai agama pembebasan kaum tertindaspun belum menjadi wajah dari berbagai organisasi Islam maupunIslam Politik secara keseluruhan.(Iqra Anugerah dan Fathimah Fildzah Izzati, 2017: 52)

Farid Esack dari Afrika Selatan yang dikenal sebagai pejuang kesetaraan dan demokrasi di Afrika Selatan. Pernah menuliskan “Saya ingin sedikit merenung soal sifat alamiah dari politik dan juga ‘berada di atas nya kaum agamawan dalam rangka memahami hubungan antara politik dan keimanan. Saya juga tidak ingin  terjebak bertele-tele soal manipulasi terhadap agama untuk kepentingan politik sesaat-sesuatu yang nyata-nyata ada dan bertentangan dengan semangat sosial: saya ingin sedikit beranjak melampaui masalah penyalahgunaan terhadap agama kita yang kasat mata ini dan beralih kemasalah lebih menyentuh kita, kepercayaan kita, pemahaman teologi kita, kompleksitas permasalahan kita hingga tanggung jawab kita.”

Farid Esack menegaskan setiap keberagamaan yang gagal melihat melihat adanya keterkaitan antara kemiskinan dan struktur sosial yang melahirkan dan mempertahankan kemiskinan serta ketidakadilan, lalu bergerak untuk membantu para korban itu, maka keberagamaan itu tak lebih baik dengan struktur social tadi. Karena ia terlibat dalam kejahatan tersebut.

Terkait dengan itu, mobilisasi massa pada aksi 411 lalu pun lebih banyakmenyuarakan tuntutan yang tidak berkaitan langsung dengan persoalanpembebasan umat dari belenggu permasalahan aktual keseharian yang mencekiknya. Namun sekarang kita lah yang mana mau berpihak ke mana? Apakah kita berdiam dengan berbagai alasan yang kebanyakan dibuat-buat, dan itu sama saja kita member angin terhadap ketidakadilan tersebut?

Yang kita bela itu bukanlah sosok Ahok sebagai pemegang kekuasan yang sering menggusur dan bergerak atas perintah pemodal, tapi hak seseorang mendapatkan keadilan di depan hokum dan hak dia untuk dipilih sebagai warganegara yang mencalon.Kalau kita mau mengalahkan Ahok dalam pencalonannya di pilkada DKI Jakarta, haruslah dengan sikap-sikap yang fair secara politik dan hukum.

Rasa pluralisme yang ada dalam diri bukanlah alat tukar yang bias ditukarkan dengan apa yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, namun ini adalah kerja bersama bukan kerja masing-masing, begitulah Farid Esack menegaskan, dalam bukunya On Being A Muslim. Inilah yang harus kita lakukan yaitu membela teman-teman kita yang sedang merasakan ketidakadilan atau keterancaman dalam menjalankan  ibadah mereka.[]

Supriansyah

 

0 Response to "Pluralisme Transaksional, Sebuah Harapan Palsu"

Post a Comment