I love Gus Dur dan Kalian Semua, Gusdurian!

Pada sebuah malam tasyakuran di Pesantren Raudhatut Thalibien, Rembang, Abah Gus Mus mengundang banyak sekali seniman. Para tamu undangan yang berpentas malam itu mulai dari presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri, Kiai Zawawy Imron, Sudjiwo Tedjo, Kirun, dan masih banyak lagi. Sebagai penutup adalah Pak dhe Prie GS, yang saya ingat-ingat betul pidatonya.

Intisarinya begini, malam kesenian seperti itu, cuma manusia seperti Gus Mus yang bisa bikin. Sutardji yang segala kata hingga gerak panggungnya adalah rumus syair, bisa satu panggung dengan Sudjiwo tedjo yang berkesenian tanpa rumus. Memang Gus Mus itu serba bisa, termasuk bisa jadi mertuanya Mas Ulil (kelakar itu kemudian disambut tawa). Kenapa bisa? Ya karena Gus Mus menjadi manusia yang menerima semua. Menyatukan semua.

Setelah malam itu, saya angen-angen, iya juga ya. Saya percaya, memang begitu apa yang Rasul ajarkan. Rasul juga manusia biasa yang sehari-harinya tidak hanya bermandikan ayat-ayat. Ayat-ayatnya yang lain termanifestasi ketika beliau bercanda, bersyair, bergaul dengan banyak orang. Gus Mus menulis puisi, membaca puisi dan melukis. Gus Dur adalah mantan pegiat DKJ. Gus Dur tidak hanya menulis soal keIslaman dan kebangsaan, ia menulis kesenian, musik, sastra dan sepakbola. Abah Habib Luthfi bersuara duhai merdunya dan bermain banyak alat musik.

Keteladanan semacam itu kupikir penting sebab tak jarang, akhir-akhir ini, aku sering mendapat lontaran pertanyaan bodoh seperti: kok mau sih Mbak bergaul dengan si A? Lho, Mbak hadir di forumnya si B?. Betapa menyedihkan menjadi orang yang penuh rasa curiga. Sekadar berkawan kan tak lantas harus sama. Ikut membaca dan mendengar juga tak lantas harus sepakat. Tapi, banyak orang hari ini buru-buru bikin sekat. Mereka, sederhananya, memang tak ingin mengenal dan sekadar berkasih sayang.

Sebagai seorang biasa yang memiliki akses serba terbatas untuk banyak hal, tentu cara saya memandang karakter dan kiprah seseorang adalah seperti orang kebanyakan.

Cara paling mudah untuk menilai seorang tokoh, salah satunya adalah lewat media massa. Kita menyaksikan cara mereka menyampaikan pendapat di ruang-ruang publik, menilai kalimat-kalimat yang mereka lontarkan ketika diwawancarai pewarta lalu disiarkan di televisi, radio juga diterbitkan lewat media cetak.

Sejarah kadang-kadang memberitahu kita bahwa cara itu tak sepenuhnya tepat. Di masa lalu, buktinya, ada seorang jenderal yang suka tersenyum tapi ternyata menjadi dalang penjagalan jutaan manusia Indonesia. Tak kurang pula contoh mereka yang gemar membicarakan ayat suci tapi gemar menyakiti perempuan dan menipu komunitasnya.

Tetapi, akhir-akhir ini, entah kenapa semua hal semakin tampak tanpa metafora. Ketika menyaksikan cara berdebat dan gelagat para tokoh di ILC, misalnya, tak sulit bagi kita untuk membuktikan bahwa orang yang menyebalkan di televisi itu ternyata juga menyebalkan ketika bercuit di twitter. Belakangan, ada sebentuk paket lengkap, mereka ternyata juga orang-orang yang punya banyak kasus dan memang tak layak jadi contoh.

Mereka yang menyebalkan itu biasanya berkarakter sama: jika ngaku ulama, dia kaku, ekslusif, gemar marah-marah. Jika ngaku pejabat, berita kemewahan dan tamaknya lebih nyaring daripada kinerjanya.

Pada akhirnya, saya tetap meyakini bahwa kedewasaan untuk membawa diri sendiri di depan publik tetap penting. Bayangkan saja jika komposisi ILC itu semuanya adalah orang-orang yang suka memaki-maki di twitter dengan kalimat yang dipenuhi jungkir balik logika yang sulit kita nalar, betapa menyedihkannya.

Mereka yang intelek, rendah hati, berhati baik dan bisa menjaga wibawa dengan memberikan impresi yang baik buat semua orang adalah kesatuan yang amat mahal hari ini. Perempuan dalam gambar ini, yang disebut anak si buta ini, adalah salah satu dari yang mahal itu.

Penulis: Kalis Mardiasih

0 Response to "I love Gus Dur dan Kalian Semua, Gusdurian!"

Post a Comment