Teknologi dan Masa Depan Pendidikan
Monday, October 2, 2017
Add Comment
Saat ini kita berada di tengah masyarakat yang tidak bisa lepas dari teknologi. Masyarakat modern yang erat dengan internet dan media sosial. Sebuah masyarakat baru yang muncul bukan sebagai suatu kebetulan atau dalam istilah Pierre Bourdieu "Cultural Capital". Sebuah kondisi dimana kita tak hanya sekadar bergantung pada teknologi, tapi bisa jadi teknologi juga telah menguasai kita.
Suatu kenyataan objektif teknologi yang otonom ini, menurut F. Budi Hardiman dalam bukunya yang bertajuk: "Melampaui Positivisme dan Modernitas", terbuka digunakan oleh siapa saja, tetapi juga bersifat koersif karena mengandung tuntutan prosedural dalam pengoprasiannya. Artinya, lanjut F. Budi Hardiman, sesudah kesadaran menjadi teknologi, sekarang berganti memerintah kesadaran.
Kini dengan mudah kita bisa mengakses apapun yang kita inginkan hanya dengan satu kotak kecil ajaib yang akrab kita sebut gawai. Maka di sinilah kita sampai pada sebuah titik permasalahan besar abad modern: betapa teknologi semakin menjadi tuan. Bahkan, meminjam istilah Karl Marx, menjadi "Warenfetisj" dimana manusia memberhalakan benda tak berwujud yang dianggap memiliki kekuasaan. Saya membayangkan abad pertengahan dimana filsafat, misalnya, masih diwarnai "mysticism-spirituality", dalam hal ini, meminjam istilah Jostein Gaarder “mengikuti perintah kitab” , secara tekstual dan dibumbui kekuatan iman sehingga sesuatu yang maya mudah diyakini keberadaan dan kebenarannya.
Kita tahu, teknologi seperti dua sisi mata uang: bisa berdampak negatif dan positif. Di satu sisi merupakan peluang bagi kemajuan, di lain sisi kita tak bisa mengelak dari fakta bahwa teknologi dapat menjelma sebuah ancaman.
****
Teknologi kini telah merangsek ke dunia pendidikan. Beberapa tahun lalu, misalnya, salah satu media massa ternama memberitakan ihwal kampus cerdas versi Telkom. Beberapa kampus bonafit dinobatkan sebagai kampus cerdas.
Mendengar kabar itu terlintas rasa penasaran di benak saya. Apakah kampus cerdas bisa menghasilkan mahasiswa yang cerdas pula?
Saya kira, definisi kampus cerdas di sini-- boleh jadi saya keliru-- bukan berarti seluruh pengajar cerdas, atau proses pembelajarannya bisa menyemai kecerdasan mahasiswa. Smart Campus menyoal seputar pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi pada proses pendidikan di sebuah perguruan tinggi. Kampus dinilai cerdas bila mempunyai semua fasilitas yang lengkap. Dengan teknologi informasi itu dapat memudahkan dosen dan mahasiswa beraktivitas.
Kampus, tentu tidak semua, berlomba-lomba memberikan wahana baru bagi para dosen dan mahasiswa seperti wifi, website, digital library, e-journal, paper repository, berbagai layanan informasi akademik dan terutama pembelajaran berbasis teknologi informasi yang menjadi nilai jual tersendiri di kampus cerdas.
Lantas, apakah kelengkapan fasilitas tersebut sudah dimanfaatkan secara optimal, baik oleh dosen atau mahasiswa? Atau jangan-jangan fasilitas tersebut akhirnya hanya bersifat asesoris; sebatas media pencitraan atau promosi saja.
Faktanya, tidak sedikit mahasiswa memanfaatkan wifi hanya sekadar untuk berbagi keluh kesah di Facebook; berswafoto dengan teman sejawat kemudian diunggah ke Instagram; mencari bahan makalah dengan cara salin-tempel dengan bermodal wifi gratis. Sudah jamak pula para dosen keasyikan memanfaatkan teknologi hanya untuk bersenda gurau bahkan yang lebih parah lagi mempromosikan dagangannya.
Menyoroti kealpaan mahasiswa bukan berarti dosen juga telah suci dari dosa akademik. Sesama pengguna teknologi, keduanya menghadapi risiko yang sama.
Tampaknya, teknologi telah membengkokkan paradigma berfikir kita. Kita seolah tidak siap dengan segala fasilitas itu. Niat kampus untuk terlihat cerdas dengan mengejawantahkan fasilitas ratusan juta ujungnya sia-sia belaka. Dengan kata lain, teknologi tidak mengubah "maqam" kekhusyukan ibadah akademik kita.
Dari kasus yang terjadi hampir di semua kampus ini, apakah teknologi mampu menciptakan atmosfer akademik di kampus?
Masih mungkinkah sejenak menikmati suasana kampus tanpa teknologi digital? melupakan gawai sesaat saja, dosen dan mahasiswa bertemu di ruang kelas, mendiskusikan buku, melazimkan membaca lalu menumpahkan isi bacaannya dalam tulisan?
Ingatan saya kemudian meluncur pada sebuah Novel anggitan Okky Madasari: "Kerumunan Terakhir". Sepotong kisah tentang kegagapan manusia di tengah zaman yang berubah cepat, yang tak memberi kesempatan setiap orang untuk diam dan mengenang, berhenti dan kembali ke belakang. Dari satu kerumunan ke kerumunan lainnya, dalam kebisingan dan keasingan, generasi zaman ini berbondong-bondong meninggalkan masa lalu menuju masa depan.
Tapi, seperti apakah "masa depan" itu?
Penulis: M Ridho Kholid (Dosen IAIN Raden Intan Lampung)
Suatu kenyataan objektif teknologi yang otonom ini, menurut F. Budi Hardiman dalam bukunya yang bertajuk: "Melampaui Positivisme dan Modernitas", terbuka digunakan oleh siapa saja, tetapi juga bersifat koersif karena mengandung tuntutan prosedural dalam pengoprasiannya. Artinya, lanjut F. Budi Hardiman, sesudah kesadaran menjadi teknologi, sekarang berganti memerintah kesadaran.
Kini dengan mudah kita bisa mengakses apapun yang kita inginkan hanya dengan satu kotak kecil ajaib yang akrab kita sebut gawai. Maka di sinilah kita sampai pada sebuah titik permasalahan besar abad modern: betapa teknologi semakin menjadi tuan. Bahkan, meminjam istilah Karl Marx, menjadi "Warenfetisj" dimana manusia memberhalakan benda tak berwujud yang dianggap memiliki kekuasaan. Saya membayangkan abad pertengahan dimana filsafat, misalnya, masih diwarnai "mysticism-spirituality", dalam hal ini, meminjam istilah Jostein Gaarder “mengikuti perintah kitab” , secara tekstual dan dibumbui kekuatan iman sehingga sesuatu yang maya mudah diyakini keberadaan dan kebenarannya.
Kita tahu, teknologi seperti dua sisi mata uang: bisa berdampak negatif dan positif. Di satu sisi merupakan peluang bagi kemajuan, di lain sisi kita tak bisa mengelak dari fakta bahwa teknologi dapat menjelma sebuah ancaman.
****
Teknologi kini telah merangsek ke dunia pendidikan. Beberapa tahun lalu, misalnya, salah satu media massa ternama memberitakan ihwal kampus cerdas versi Telkom. Beberapa kampus bonafit dinobatkan sebagai kampus cerdas.
Mendengar kabar itu terlintas rasa penasaran di benak saya. Apakah kampus cerdas bisa menghasilkan mahasiswa yang cerdas pula?
Saya kira, definisi kampus cerdas di sini-- boleh jadi saya keliru-- bukan berarti seluruh pengajar cerdas, atau proses pembelajarannya bisa menyemai kecerdasan mahasiswa. Smart Campus menyoal seputar pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi pada proses pendidikan di sebuah perguruan tinggi. Kampus dinilai cerdas bila mempunyai semua fasilitas yang lengkap. Dengan teknologi informasi itu dapat memudahkan dosen dan mahasiswa beraktivitas.
Kampus, tentu tidak semua, berlomba-lomba memberikan wahana baru bagi para dosen dan mahasiswa seperti wifi, website, digital library, e-journal, paper repository, berbagai layanan informasi akademik dan terutama pembelajaran berbasis teknologi informasi yang menjadi nilai jual tersendiri di kampus cerdas.
Lantas, apakah kelengkapan fasilitas tersebut sudah dimanfaatkan secara optimal, baik oleh dosen atau mahasiswa? Atau jangan-jangan fasilitas tersebut akhirnya hanya bersifat asesoris; sebatas media pencitraan atau promosi saja.
Faktanya, tidak sedikit mahasiswa memanfaatkan wifi hanya sekadar untuk berbagi keluh kesah di Facebook; berswafoto dengan teman sejawat kemudian diunggah ke Instagram; mencari bahan makalah dengan cara salin-tempel dengan bermodal wifi gratis. Sudah jamak pula para dosen keasyikan memanfaatkan teknologi hanya untuk bersenda gurau bahkan yang lebih parah lagi mempromosikan dagangannya.
Menyoroti kealpaan mahasiswa bukan berarti dosen juga telah suci dari dosa akademik. Sesama pengguna teknologi, keduanya menghadapi risiko yang sama.
Tampaknya, teknologi telah membengkokkan paradigma berfikir kita. Kita seolah tidak siap dengan segala fasilitas itu. Niat kampus untuk terlihat cerdas dengan mengejawantahkan fasilitas ratusan juta ujungnya sia-sia belaka. Dengan kata lain, teknologi tidak mengubah "maqam" kekhusyukan ibadah akademik kita.
Dari kasus yang terjadi hampir di semua kampus ini, apakah teknologi mampu menciptakan atmosfer akademik di kampus?
Masih mungkinkah sejenak menikmati suasana kampus tanpa teknologi digital? melupakan gawai sesaat saja, dosen dan mahasiswa bertemu di ruang kelas, mendiskusikan buku, melazimkan membaca lalu menumpahkan isi bacaannya dalam tulisan?
Ingatan saya kemudian meluncur pada sebuah Novel anggitan Okky Madasari: "Kerumunan Terakhir". Sepotong kisah tentang kegagapan manusia di tengah zaman yang berubah cepat, yang tak memberi kesempatan setiap orang untuk diam dan mengenang, berhenti dan kembali ke belakang. Dari satu kerumunan ke kerumunan lainnya, dalam kebisingan dan keasingan, generasi zaman ini berbondong-bondong meninggalkan masa lalu menuju masa depan.
Tapi, seperti apakah "masa depan" itu?
Penulis: M Ridho Kholid (Dosen IAIN Raden Intan Lampung)
0 Response to "Teknologi dan Masa Depan Pendidikan"
Post a Comment